Sutan Nan Garang adalah sebuah Cerita Rakyat yang dibawakan dalam seni teater tradisional Kuantan Singingi, yaitu Randai Kuantan. Berikut ini adalah sebuah makalah tentang Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi yang ditulis oleh Yulita Fitriana
1.PENGANTAR
Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor. Cerita ini hidup dan tersebar di dalam masyarakat melalui penceritaan secara lisan dari generasi ke generasi. Menurut William R. Bascom (Danandjaja, 1984:50) cerita rakyat tersebut dapat berbentuk mite, legenda, atau cerita dongeng. Sementara tokohnya dapat berupa manusia dan juga binatang, seperti pada cerita fabel.
Di dalam penyampaiannya, cerita rakyat dapat diceritakan tanpa persyaratan tertentu. Cerita dapat disampaikan oleh siapapun yang mengetahui cerita tersebut, kepada siapapun, dalam situasi apapun tanpa diiringi oleh alat apapun. Akan tetapi, ada pula cerita rakyat yang ditampilkan ke hadapan penikmatnya dengan cara tertentu dan dengan dukungan alat-alat tertentu. Salah satu bentuk penyampaian cerita yang ada di Kuantan Singingi adalah randai.
Menurut Hamidy (1980:7) randai berasal dari kata berandai-andai, yang berarti ‘yang diumpamakan’ atau ‘yang dimisalkan’. Pendapat tersebut didasari pada bentuk permainan randai yang para pemainnya mengandaikan sebagai orang lain.
Randai adalah bentuk tradisi lisan yang berasal dari Minangkabau. Melalui daerah Kampar, randai ini berkembang sampai ke Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Di daerah ini randai mengalami perkembangan yang kemudian memperlihatkan adanya perbedaan dengan randai di tempat asalnya, seperti penggantian unsur pakaian dan unsur tarian yang berasal dari silat ke tarian joget. Randai di Kuantan pun sudah mempunyai cerita yang berasal dari cerita rakyat setempat dan juga cerita yang dikarang kemudian.
Unsur utama di dalam randai adalah cerita. Pada randai Kuantan, cerita itu dapat berasal dari kaba yang ada dalam masyarakat Minangkabau (Cindur Mato, Bujang Paman), dari cerita rakyat masyarakat Kuantan Singingi (Sutan Nan Garang dan Pinang Baribuik), syair (Siti Zubaidah), novel (Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Salah Asuhan), dan ada pula cerita yang dibuat kemudian oleh pemain-pemain randai (Sikum dan Panjek-Panjek Tabilusuar). Beberapa cerita randai yang terkenal di Kuantan Singingi adalah Cindur Mato, Bujang Paman, Siti Zubaidah, Sikum, dan Sutan Nan Garang.
Sebagai sebuah tradisi lisan, suatu pertunjukan randai tidak pernah sama persis dengan pertunjukan lainnya walaupun dengan cerita yang sama dan dilakukan oleh kelompok yang sama. Walaupun demikian, randai menampakkan adanya suatu komposisi yang sama dan berulang dari setiap pertunjukan randai, walau dengan dibawakan terhadap peristiwa yang berbeda.
Finnegen (1992:94—120) mengemukakan tiga aspek penyajian dalam tradisi lisan, yaitu (1) komposisi, yaitu suatu proses penggubahan bentuk-bentuk lisan dengan pertimbangan hubungan-hubungan antara tradisi dengan kreasi individu yang mampu mengembangkannya dalam dimensi yang berbeda karena adanya budaya dan genre yang beragam, seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi, dan ciri penyajian,(2) transmisi yang merupakan proses regenerasi atau proses penyeleksian terhadap individual yang akan mewarisi tradisi lisan, dan (3) audiens yaitu unsur penikmat atau penonton yang dianggap dapat menentukan kesuksesan pertunjukan.
Danandjaja (melalui Yudiaryani) menganggap teater rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkap masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut, kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif, ketiga, sebagai alat seseorang menegur orang lain yang melakukan kesalahan, keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan, dan kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah. Sementara Bascom (melalui Danadjaja, 1984: berpendapat bahwa fungsi folklor ada empat, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif; (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak; (d) sebagai alat pemaksa pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
2. CERITA “SUTAN NAN GARANG” DALAM RANDAI KUANTAN DAN FUNGSINYA DI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU KUANTAN SINGINGI
2.1 CERITA “SUTAN NAN GARANG”
Cerita “Sutan Nan Garang” merupakan cerita yang berasal dari cerita rakyat Kuantan Singingi. Cerita ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Sutan Nan Garang yang mempunyai wajah yang sangat tampan dan juga sakti.
Ketampanan Sutan Nan Garang ini membuat para perempuan di kampung itu tergila-gila padanya. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada gadis-gadis, tetapi juga pada perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga. Jika Sutan Nan Garang berjalan-jalan di kampung, banyak perempuan yang tidak sadarkan diri. Seorang ibu yang sedang memandikan anaknya di sungai, terlena sehingga anaknya tenggelam di sungai. Para perempuan yang sedang menumbuk padi terpekik karena tangannya tertumbuk alu. Perempuan yang sedang menampi beras sampai membuang berasnya dari tempayan karena terpesonanya terhadap Sutan Nan Garang.
Keadaan yang demikian membuat masyarakat di kampung itu tidak menyukai Sutan Nan Garang, terutama kaum laki-laki. Mereka menanggap Sutan Nan Garang bertanggung jawab terhadap kekacauan di kampung itu. Akhirnya mereka bersepakat untuk melenyapkan Sutan Nan Garang dari kampung mereka.
Mereka meminta Sutan Nan Garang membunuh seekor babi yang buas dan sakti. Babi itu dijuluki manso barantai karena di lehernya terdapat rantai yang mempunyai kekuatan gaib. Lalu Sutan Nan Garang melaksanakan tugas itu.
Perkelahian antara Sutan Nan Garang dengan manso barantai berjalan dengan seru. Keduanya sama-sama sakti. Namun akhirnya Sutan Nan Garang dapat memperdaya manso barantai dan berhasil mengambil rantai yang ada di leher babi itu. Kekuatan babi yang terletak pada rantai itu hilang. Babi itu pun berhasil dibunuh oleh Sutan Nan Garang. Akan tetapi, Sutan Nan Garang juga terluka parah sehingga tidak berapa lama, dia pun meninggal.
Seperti sebagian besar teater rakyat, tidak ada skenario yang dibuat secara rinci, seperti halnya dalam drama atau film. Induk randai (semacam sutradara) hanya memberikan garis besar cerita yang hendak dimainkan. Kemudian pemain yang diminta berimprovisasi terhadap peran yang dimainkannya dalam pertunjukan itu. Biasanya hanya beberapa bagian saja dari dialog itu yang dihapal oleh pemain, misalnya dialog yang terdiri atas pantun-pantun. Dengan demikian, ketika tampil pemain randai adalah juga komposer cerita.
Pertunjukan randai mempunyai skema. Sebuah cerita akan dibagi atas beberapa episode. Setiap episode terdiri atas cerita dan lawakan. Setiap episode akan diselingi dengan nyanyian yang diiringi musik dan anak randai yang berjoget.
Pertunjukan randai diawali dengan nyanyian yang diiringi musik. Seorang penyanyi dan beberapa pemain musik akan mengiringi para anak randai yang berjoget. Setelah itu, episode pertama dari cerita itu dimulai. Setelah episode pertama berakhir, kembali ditampilkan lagu, musik, dan joget sebelum menampilkan episode kedua. Hal itu terus berulang sampai pertunjukan berakhir. Sementara unsur lawakan ada di dalam cerita pada episode-episode itu, walaupun tidak setiap episode mengandung unsur lawakan.
2.2 PEMAIN
Sebagaimana yang disampaikan oleh Yudiaryani dalam tulisannya “Pemanfaatan Tradisi Lisan di dalam Pertunjukan Teater Indonesia”, pemain teater rakyat adalah anggota masyarakat atau komunitas yang bersangkutan. Hal tersebut berlaku pula pada randai. Pemain randai adalah masyarakat Kuantan Singingi khususnya masyarakat yang ada di kampung yang mempunyai kelompok randai tersebut. Para pemain randai ini hanya kaum laki-laki. Namun, kadangkala secara spontan, penonton dapat terlibat dalam pertunjukan randai, misalnya sebagai penari dan penyanyi. Dalam keadaan demikian, sekarang ini kadangkala perempuan dapat ikut berjoget.
Organisasi randai dapat dibagi dua, yaitu para pengurus dan anak randai. Para pengurus ini mempunyai tugas mengurusi kebutuhan kelompok, misalnya memperbincangkan tawaran untuk bermain randai, membagi hasil, membeli perlengkapan randai, seperti lampu dan alat-alat musik. Sementara anak randai dapat dibagi lagi menjadi induk randai (pemimpin) dan anak randai. Induk randai ini dapat dianggap seperti sutradara dalam drama atau teater, walau kadang dia juga ikut menjadi pemain. Adapun anak randai adalah pemain-pemain di dalam randai yang jumlahnya bisa mencapai puluhan orang.
Di antara anak randai ini, ada beberapa orang yang mempunyai peran penting karena menjadi tokoh utama di dalam sebuah cerita. Jumlah tokoh utama ini tergantung pada cerita yang dimainkan. Di dalam cerita “Sutan Nan Garang” pemain utamanya adalah Sutan Nan Garang dan juga pemain yang memerankan tokoh manso barantai yang di dalam bahasa Melayu dialek Kuantan berarti ‘babi berantai’.
Sementara anak-anak randai lainnya bermain sebagai tokoh-tokoh tambahan, misalnya tokoh-tokoh perempuan yang terpesona kepada Sutan Nan Garang. Tokoh-tokoh perempuan ini diperankan oleh laki-laki yang berpakaian seperti perempuan. Anak randai lainnya, baik yang mendapat peran sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan, maupun yang tidak mendapat peran dalam cerita, akan menjadi penari (pejoget), penyanyi, atau pemain musik.
Seperti yang disampaikan sebelumnya, pemain randai tidak menghapal dialog yang akan diucapkannya ketika tampil. Dia hanya diberitahu atau mengetahui cerita dan cara penampilan secara garis besar. Selebihnya, tergantung pada kemampuan anak-anak randai tersebut.
Di Kuantan Singingi pemain randai bukan merupakan profesi utama. Randai lebih sering hanya sebagai tempat bersosialisasi dan juga bersenang-senang. Oleh karena itu, mereka tidak berlatih secara rutin dan tidak pula terlalu berharap dengan honor yang mereka terima.
2.3 WAKTU DAN TEMPAT
Biasanya randai dipentaskan pada malam hari, dimulai pada pukul 08.00 WIB dan berakhir pada pukul 01.00 WIB. Waktu ini dipilih tampaknya berkenaan dengan kegiatan anak-anak randai. Pada siang hari anak-anak randai bekerja sesuai dengan mata pencahariannya masing-masing, misalnya sebagai petani, penyadap karet, dan pencari ikan. Demikian pula dengan masyarakat yang menjadi penonton pertunjukan tersebut.
Dewasa ini, walaupun kerap dilaksanakan pada malam hari dengan waktu sekitar lima jam, pertunjukan ini juga dapat menyesuaikan diri dengan permintaan masyarakat yang mengundang mereka. Terkadang mereka menggelar pertunjukan randai pada siang dengan waktu hanya sekitar dua jam. Akan tetapi, pertunjukan pada malam hari tetap dominan.
Dengan jumlah pemain yang cukup banyak, randai memerlukan tempat yang luas. Biasanya randai digelar di sebuah lapangan dengan luas sekitar 20 x 30 meter. Para pemain membentuk lingkaran yang di tengah-tengahnya terdapat pemain-pemain musik dan lampu yang menerangi pertunjukan itu. Sekarang ini, pertunjukan randai sudah pula ditampilkan di dalam gedung dan atau di atas sebuah pentas.
2.4 BUSANA
Di Kuantan Singingi, pada awalnya pakaian yang dikenakan pemain randai adalah pakaian sehari-hari, yaitu kemeja atau baju kaos dengan celana panjang. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian yang dikenakan diseragamkan menjadi pakaian kemeja putih dengan celana hitam atau warna gelap. Dewasa ini pakaian yang dipakai biasanya pakaian teluk belanga dengan kain yang dikenakan sebatas atau sedikit di bawah lutut.
Pakaian yang demikian dipakai oleh anak-anak randai yang tidak mendapatkan peran tokoh tertentu di dalam cerita yang dilakonkan. Sementara bagi mereka yang menjadi tokoh tertentu akan mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan tokoh yang dilakonkannya, misalnya tokoh raja akan menggunakan pakaian teluk belanga dan kain. Tokoh petani menggunakan pakaian petani, dan sebagainya.
Dalam pemakaian pakaian ini, yang istimewa adalah orang yang menjadi tokoh perempuan. Orang ini menggunakan pakaian perempuan, seperti kebaya, kain panjang, rok, gaun, selendang, dan sebagainya sesuai dengan peran yang dimainkannya. Keistimewan yang dimaksud karena tokoh yang memainkannya adalah laki-laki yang diberi pakaian perempuan atau yang biasa disebut bujang gadi.
2.5 NYANYIAN, ALAT-ALAT MUSIK, DAN JOGET
Unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pementasan randai adalah nyanyian, berbagai alat musik, dan joget. Setelah kata sambutan dari pimpinan randai dan juga kadang dari pemuka masyarakat atau tuan rumah yang mengundang, randai akan dimulai dengan menyanyikan sebuah lagu yang diiringi oleh alat musik, seperti biola, gendang, seruling, dan kadang juga harmonika, dan rebana. Lagu ini dapat berasal dari lagu-lagu daerah Melayu dan Minang. Lagu Melayu yang dibawakan di antaranya Hitam Manis, Sri Langkat, Serampang 12, dan Pulau Kampai. Sementara lagu-lagu Minang yang biasa dinyanyikan, misalnya Tabiang Malereng, Mudiak Arau, dan Singgalang Rayo. Terkadang para pemain juga menulis lagu yang disesuaikan dengan cerita, misalnya Tolak Jatua Corai Ndak Sudah, Cigak Bugial, dan Tadayuak (Hamidy, 1980:99).
Berbeda dengan randai Minang, randai di Kuantan Singingi tidak lagi menggunakan unsur silat dalam tarian yang dibawakannya. Sebagai gantinya, tarian silat itu diubah menjadi joget yang berasal dari daerah di Selat Malaka dan Medan. Untuk joget ini, tidak ada gerakan yang baku. Anak randai dapat menari sesuai dengan keinginannya. Gerakan kaki dan tangan dapat digerakkan sehendak hati, walaupun adakalanya suatu nyanyian diikuti gerakan tertentu yang diikuti semua anak randai. Adakalanya juga anak-anak randai menepukkan tangan ke pahanya sehingga menimbulkan bunyi. Untuk memandu gerakan ini atau perubahan ke gerakan yang lain, salah seorang anak randai akan meniupkan peluit. Hal yang perlu diperhatikan dalam berjoget adalah mereka harus tetap bergerak dalam lingkaran yang mereka bentuk. Pada umumnya anak randai bergerak ke samping kanan dengan badan tetap mengarah ke dalam lingkaran.
2.6 LAWAKAN
Di dalam pertunjukan randai, lawak merupakan bagian dari cerita, walaupun di dalam cerita yang menjadi rujukan, misalnya dalam cerita rakyat “Sutan Nan Garang” ini, unsur lawak ini tidak ada. Dewasa ini, unsur lawak menjadi unsur yang sangat penting. Bahkan, unsur ini menjadi bagian yang sangat disukai penonton sehingga seringkali unsur lawak ini menjadi alasan bagi pengundang untuk memilih kelompok randai yang hendak mereka undang.
Lawakan diimplementasikan di dalam bentuk pakaian (kostum) yang digunakan, tingkah laku, dan bahasa yang digunakan. Di dalam cerita “Sutan Nan Garang” penggunaan kostum manso ‘babi’ dapat menjadi bahan tertawaan karena kostum yang dipakai hanya selembar kain sarung yang menutupi tubuh tokoh tersebut. Ketika berkelahi kain sarung itu dapat saja terlepas atau sengaja dilepas oleh tokoh yang memerankan manso. Tokoh yang seharusnya berkarakter seram ini dapat saja melakukan tingkah-tingkah konyol, misalnya berpura-pura menyeruduk penonton yang sedang menonton. Unsur lucu dapat pula dihasilkan oleh bahasa atau dialek yang digunakan anak-anak randai, misalnya penggunaan bahasa yang seperti bahasa Cina (walaupun sesungguhnya tidak) atau penggunaan dialek daerah setempat, atau ungkapan-ungkapan yang kadang terasa kasar dengan maksud berolok-olok. Pada umumnya tidak ada yang merasa sakit hati karena bahasa atau dialeknya diperolok-olokkan seperti itu, termasuk orang-orang Cina yang juga berdiam di Kuantan Singingi. Menurut Hamidy (1980:92) unsur ini juga didapat dengan penyimpangi cerita yang sebenarnya. Sebagai penggantinya, dimasukkan cerita-cerita yang dekat atau hal-hal yang aktual dalam kehidupan masyarakat. Walaupun masalah yang diangkat merupakan masalah yang menyedihkan atau menyulitkan, tetapi semua itu disampaikan melalui lawakan, seperti harga karet turun atau kalau dalam situasi sekarang bisa saja masalah BBM yang melambung tinggi.
2.7 PENONTON
Sebagian besar masyarakat Kuantan Singingi suka menonton randai. Kalaupun ada sebagian masyarakat yang tidak menggemarinya dikarenakan pandangan bahwa randai dianggap tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam. Ketidaksesuaian ini disebabkan di dalam randai terdapat tokoh yang memakai pakaian perempuan padahal di dalam Islam hal itu tidak diperkenankan. Pandangan seperti ini biasanya berasal dari kaum ulama.
Ketika ada pertunjukan randai, penonton tidak mempunyai tempat khusus untuk menonton. Mereka menonton sambil berdiri atau duduk di rerumputan mengelilingi arena pertunjukan yang diterangi cahaya lampu petromaks. Karena tidak menggunakan panggung khusus untuk menampilkannya, tidak ada bagian depan atau belakang dari pertunjukan randai sehingga penonton dapat melihat dari segala penjuru, 360 derajat.
Jarak antara penonton dengan para pemain juga sangat dekat yang memungkinkan mereka berinteraksi. Kadang celetukan penonton akan ditanggapi oleh anak-anak randai yang sedang mengadakan pertunjukan. Selain itu, penonton dapat pula ikut dalam pertunjukan randai, misalnya sebagai penyanyi atau pejoget.
2.8 FUNGSI RANDAI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU KUANTAN SINGINGI
Randai tidak hanya sekadar tradisi kesenian untuk bersenang-senang saja. Seperti juga folklor lainnya, randai mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, yaitu:
1.pemupuk kebersamaan
Randai adalah seni kolektif, di dalamnya terlibat sekumpulan orang. Keberhasilan pertunjukan sangat bergantung pada kerja sama individu-individu yang ada di dalam kelompok itu. Selain itu, pertunjukan randai yang ditonton orang banyak juga memungkinkan adanya interaksi anak randai dengan penonton dan antarpenonton sehingga terjalin kebersamaan. Ajang ini bahkan dapat menjadi kesempatan untuk mencari jodoh.
2. pencerminan masyarakat
Cerita randai sangat beragam. Cerita radai tidak hanya berisi cerita rakyat yang tidak terjadi, tetapi juga cerita mengenai keadaan yang terjadi di dalam masyarakat, misalnya cerita Sikum seorang mata-mata yang memberi tahu keberadaan pejuang-pejuang Indonesia kepada Belanda yang akhirnya dibunuh oleh masyarakat Kuantan. Di dalam randai juga “terekam” kesulitan-kesulitan hidup yang dialami masyarakat Kuantan Singingi sehari-hari.
3.pendidikan
Fungsi lain yang terkandung di dalam adalah fungsi pendidikan. Di dalam cerita randai tersirat nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tema “kebaikan akan menang melawan kejahatan” sangat banyak sehingga secara tidak langsung memberikan pengajaran bagi masyarakat yang menonton pertunjukan randai. Kadangkala, di dalam cerita juga diselipkan penyuluhan terhadap program-program pemerintah.
4. hiburan
Unsur hiburan adalah fungsi yang sangat menonjol di dalam randai. Unsur musik, lagu, dan lawak, misalnya sangat mendukung keberadaan fungsi ini. Menonton, bahkan juga bermain randai dapat menghilangkan kejenuhan dari kesibukan sehari-hari.
3. PENUTUP
Randai Kuantan merupakan pertunjukan rakyat yang berasal dari Minangkabau. Di dalam perkembangannya, randai Kuantan ini memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Di dalam randai unsur utamanya adalah cerita. Unsur cerita ini didukung oleh unsur lainnya seperti lawak, musik, nyanyian, dan joget.
Sebagai bagian dari tradisi lisan, satu pertunjukan randai dengan pertunjukan yang lain tidak pernah benar-benar sama. Namun pada dasarnya randai mempunyai komposisi yang sama yang kemudian dikembangkan (dikomposisikan lagi) oleh masing-masing pemain ketika tampil.Randai juga mempunyai beberapa fungsi di dalam masyarakat Melayu Kuantan Singingi, yaitu pemupuk kebersamaan, pencerminan masyarakat, pendidikan, dan hiburan.
DAFTAR PUSTAKA
Danadjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti Pers.
Finnegen, Ruth. 1992. Oral Traditions and the verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge.
Hamidy, U.U.. 1980. “Randai dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Riau”. Tesis pada Universiti Malaya.
Yudiaryani. “Pemanfaatan Tradisi Lisan di dalam Pertunjukan Teater Indonesia”. dalam situs Tradisi_lisan_dalam_teater_Yudi.pdf
Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/sutan-nan-garang-dalam-randai-kuantan.html