Selasa, 29 November 2011

Pengertian Melayu dan Melayu Riau

Istilah Melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) dan yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada kata Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita Si Kelambai atau Sang Kelambai. Cerita ini mengisahkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni atau disentuh oleh Si Kelambai, semuanya akan mendapat keajaiban. Ini memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang Melayu pada zaman purba itu, telah mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit, di samping kata malay yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang Melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam Sejarah Melayu, Bukit Siguntang Mahameru.

Negeri ini dikenal sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjumya dalam bahasa Jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu, dikenal pula ada sungai Melayu, di antaranya dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat negeri di atas bukit, karena ada pencairan es Kutub Utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam air. Banjir dari es Kutub Utara itu lebih terkenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari banjir itu mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.

Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata Mo-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Jadi, kata melayu menjadi nama sebuah kerajaan dewasa itu. Namun demikian, kerajaan Melayu sudah ada sejak satu milenium pertama sebelum Masehi yang dibuktikan gerabah keramik di Barus di tengah Pulau Sumatera. Nenek moyang orang Melayu itu ternyata juga beragam, baik asalnya yang mungkin dari suku Dravida di India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka juga bergelombang ke Nusantara ini.

Bangsa Melayu sendiri dapat dibedakan atas beberapa kategori atau ketentuan. Pertama, Melayu Tua (proto Melayu) dengan Melayu Muda (deutro Melayu). Disebut Melayu tua karena inilah gelombang perantau Melayu pertama yang datang ke kepulauan Melayu ini. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan datang oleh para ahli arkeologi dan sejarah sekitar tahun 3000-2500 SM. Adapun yang tergolong ke dalam keturunan Melayu Tua itu antara lain orang Talang Mamak, orang Sakai, dan Suku Laut.

Keturunan Melayu tua ini terkesan amat tradisional, karena mereka amat teguh memegang adat dan tradisinya. Pemegang teraju adat seperti Patih, Batin, dan Datuk Kaya, besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas kehidupan. Sementara itu, alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Mereka mempercayai laut, tanjung, tanah, pohon, ikan, burung, dan binatang liar, dihuni atau dikawal oleh makbluk halus, yang kemampuannya melebihi kemampuan manusia. Makhluk halus yang menunggu tanah disebut jembalang, makhluk yang mengawal binatang dan burung disebut sikodi, makhluk halus yang menghuni hutan belantara disebut mambang, sedangkan makhluk halus yang menampakkan dirinya sebagai perempuan cantik disebut peri.

Perkampungan puak Melayu Tua pada masa dulu jauh terpencil dari perkampungan Melayu Muda. Ini mungkin berlaku, karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. Begitu pula dalam nikah-kawin, mereka masih sedikit berbaur dengan Melayu Muda dan suku lainnya. Pembauran dengan Melayu Muda baru terjadi setelah mereka memeluk agama Islam sebagaimana yang terjadi pada Sakai Batin Salapan dan Batin Lima, yang diislamkan oleh para khalifah murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan penganut tarekat Naksyahbandiyah.

Puak Melayu Muda (Deutro Melayu), gelombang kedatangan nenek moyang mereka diperkirakan tiba antara 300-250 tahun sebelum Masehi. Melayu Muda ini cukup besar jumlahnya. Mereka lebih suka mendiami daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan daerah aliran sungai-sungai besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena itu mereka bersifat lebih terbuka dari Melayu Tua, sehingga mudah terjadi nikah-kawin dengan puak atau suku lain, yang membuka peluang pula kepada penyerapan nilai-nilai budaya dari luar.

Pada mulanya, baik Melayu tua maupun Melayu muda sama-sama memegang kepercayaan nenek moyang yang disebut Animisme (semua benda punya roh) dan Dinamisme (semua benda mempunyai semangat). Kepercayaan ini kemudian semakin kental oleh kehadiran ajaran Hindu-Budha. Sebab antara kedua kepercayaan ini hampir tidak ada beda yang mendasar. Keduanya sama-sama berakar pada alam pikiran leluhur, yang kemudian mereka beri muatan mitos, sehingga bermuatan spiritual.

Kehadiran agama Islam ke dalam kehidupan puak Melayu muda, tidak: hanya sebatas menapis adat dan tradisinya, tetapi juga berakibat terhadap bahasa yang mereka pakai. Sebab tentulab suatu hal yang ganjil, jika suatu masyarakat memeluk agama Islam, sedangkan bahasa yang menjadi pendukung potensi budayanya tidak Islami. Karena itu bahasa dan budaya Melayu muda juga mendapat sentuhan dan pengaruh Islam, sehingga hasilnya budaya Melayu menjadi satu di antara lima budaya Islam di dunia ini. Budaya Melayu itu ada disepuh dengan Islam, ada yang mendapat proses islamisasi dan ada pula yang merupakan hasil kreativitas orang Melayu yang Islami. Akibatnya penampilah orang Melayu akan memperlihatkan agamanya (Islam) adat dan resam yang bercitra Islam dan bahasa Melayu yang mengandung lamtan agama Islam. Tentulah atas kenyataan ini orang Cina yang masuk agama Islam disebut oleh kaum kerabatnya masuk Melayu.

Meskipun kita melihat ada perbedaan antara Melayu tua dengan Melayu muda, namun kedua keturunan puak Melayu ini masih mempunyai persamaan kultural. Orang Melayu itu akan selalu menampilkan budaya perairan (maritim). Mereka adalah manusia perairan, bukan manusia pegunungan. Mereka menyukai air, laut, dan suka mendiami daerah aliran sungai, tebing pantai dan rimba belantara yang banyak dilalui oleh sungai-sungai. Sebab itu budaya mereka selalu berkaitan dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang, dan bermacam perkakas penangkap ikan seperti kail, lukah, hingga jala.

Pada penggal kedua, pengertian orang Melayu juga dapat dipakai terhadap pihak yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu tua maupun Melayu muda. Dengan nikah-kawin tentulah pelaku dan keturunannya akan mempunyai tingkahlaku sesuai dengan sistem nilai yang dianut puak Melayu. Dalam hal ini dapat ditemukan bagaimana orang Bugis telah nikah-kawin dengan puak Melayu Riau-Lingga. Keturunan mereka telah mendapat kedudukan dengan jabatan Yang Dipertuan Muda dengan gelar Raja, di bawah keturunan Melayu yang menjabat Yang Dipertuan Besar dengan gelar Sultan. Keadaan yang sama juga berlaku terhadap keturunan Arab yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu keturunan Siak, sehingga mendapat kedudukan sebagai sultan dalam kerajaan itu. Dari 12 orang raja atau sultan kerajaan Siak, 6 orang yang terakhir adalah keturunan Arab.

Perantau Banjar (Kalimantan) di Inderagiri, juga telah diterima dengan baik oleh kerajaan itu. Akibatnya keturunan mereka juga menjadi bagian masyarakat dan kerajaan. Keturunan Banjar telah diangkat menjadi mufti kerajaan. Seorang di antara mufti kerajaan Inderagiri yang terkenal ialah Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip, yang telah menjadii mufti dari tahun 1907-1939. Tuan Guru ini meninggal 10 Maret 1939, lalu dimakamkan di Parit Hidayat dekat kota kecil Sapat, Kuala Inderagiri.

Sejumlah romusha (pekerja paksa oleh Jepang) asal Jawa, juga telah nikah-kawin dengan puak Melayu Kampar di perhentian Marpuyan Pekanbaru. Keturunan mereka telah kehilangan jejak budaya Jawa, lalu tarnpil dengan budaya puak Melayu Kampar.

Pada penggal ketiga, dalam rentangan yang lebih panjang mungkin saja seseorang atau suatu keluarga menyebut dirinya orang Melayu, karena telah begitu lama menetap di kampung orang Melayu. Mereka walaupun belum melakukan nikah-kawin dengan salah satu puak Melayu tadi, tetapi karena dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budaya Melayu atau mendapat peranan dalam sistem sosial dan sistem nilai orang Melayu, akhirnya merasa diri mereka sebagai bagian dari masyarakat Melayu di mana mereka tinggal. Mereka meninggalkan orientasi budaya negeri asalnya, lalu memakai bahasa dan baju budaya Melayu. Contoh yang paling baik dalam hal ini ialah Lebai Wahid (ayah sastrawan asal Riau Soeman Hs) dengan keluarganya. Lebai Wahid merantau ke Bengkalis, lalu mendapat kedudukan sebagai lebai (ulama) dalam masyarakat Melayu Bengkalis, suatu kedudukan yang dipandang mulia oleh orang Melayu. Kemudian Soeman Hs lahir di Bengkalis tahun 1904, lalu dibesarkan dalam lingkungan budak-budak Melayu di situ. Walaupun Pak Soeman, masih memakai Hs (Hasibuan) di ujung namanya, itu hanya sekadar kenang-kenangan agar tidak rnengingkari sejarah. Namun begitu, tidak sedikitpun dia merasa dirinya sebagai orang Batak. Bahkan selama umurnya yang mencapai 96 tahun, tak pernah dia rindu untuk melihat kampung halaman ibu-bapaknya, Penampilannya malah terkesan lebih Melayu lagi daripada orang Melayu yang bermukim di Riau.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Pengertian Melayu dan Melayu Riau

Minggu, 27 November 2011

Sejarah Asal Kata RIAU

Nama Riau menurut Hasan Junus, setidaknya ada tiga kemungkinan asal usul penyebutannya. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang berarti sungai. Kedua, tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila menyebut "riahi" untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika terbentuknya Provinsi Riau. Ketiga, diambil dari kata rioh atau riuh yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh atau riuh merupakan hal yang paling sangat mendasar penyebutan nama Riau.

Nama Riau yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari suatu peristiwa ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk jadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira seperti teks seperti di bawah ini.

Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid (ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan amh. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, "di mana tempat orang-orang raja mendirikan negeri" mendapat jawaban "di sana di tempat yang rioh" sambil mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke tempat yang dimaksud, jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab, "mau ke rioh".

Pembukaan negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu pada 27 September 1673, diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677) kepada Laksamana Abdul Jamil. Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan pada 4 Oktober 1722. Setelahnya, nama Riau dipakai untuk menunjukkan satu di antara 4 daerah utama kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Setelah Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga, sehingga terkenal pula sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan Belanda dan Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah dengan pesisir Timur Sumatera.

Pada zaman kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi seperti saat ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi Provinsi Riau saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya yakni Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913).

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Sejarah Asal Kata RIAU

Jumat, 25 November 2011

Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern

Berdasarkan bentuk dan proses penciptaannya, seni budaya Melayu di Riau dapat dikelompokkan ke dalam seni-seni tradisional dan seni-seni modern. Dalam bentuk aslinya, seni-seni tradisional hadir bersahaja, merespon lokalitas lingkungan (sosial dan alam), dan memenuhi keperluan-keperluan praksis komunitas petani subsistem serta perdagangan terbatas yang menjadi ciri utama masyarakat Riau masa lampau. Keterbukaan wilayah Riau terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat di kawasan ini mengalami interaksi yang relatif intensif dengan orang-orang dan gejala-gejala kebudayaan luar. Intensitas interaksi dengan gejala dari dunia luar tersebut mengakibatkan perubahan dan dinamika internal yang lebih rancak (cepat) secara sosio-kultural pada masyarakat Melayu di rantau ini, yang pada gilirannya mempengaruhi pula perkembangan bentuk, struktur, dan kuantitas kosa (vocabulaire) seni tradisional Melayu tersebut.

Perkembangan bentuk dan struktur yang timbul akibat interaksi sosial-budaya dengan dunia luar adalah hal yang lazim dalam setiap sejarah kesenian Riau. Oleh karena kesenian tradisional adalah produk kolektif masyarakat, dan berakar tunjang pada masyarakat yang menghasilkannya, maka perubahan-perubahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat pendukungnya akan menyebabkan bentuk dan struktur luaran kesenian tersebut juga berkembang dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesenian Melayu tradisional Riau, perubahan bentuk dan struktur tersebut merupakan respon terhadap perubahan sosial-budaya yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat di Riau dari waktu ke waktu. Sering kali pula daya tahan hidup seni tradisional Riau itu justeru ditentukan oleh kemampuannya merespon perubahan sosial-budaya tersebut.

Sebagai contoh, adalah seni pertunjukan tradisional Randai Kuantan. Namanya jelas sama dengan genre pertunjukan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, dan secara historis interaksi antara masyarakat Kuantan dengan Minangkabau pada abad-abad lampau memang berlangsung intensif (Barnard: 2006). Oleh karena itu, cukup banyak orang berpendapat bahwa Randai Kuantan berasal(!) dari Sumatera Barat, dan bukan ‘seni asli’ orang Kuantan. Tetapi belakangan, setidak-tidaknya sejak awal abad ke-20, pilihan lakon dan struktur pengadeganan Randai Kuantan memiliki perbedaan yang mendasar dengan Randai Sumatera Barat. Demikian pula penglibatan khalayaknya: lingkaran pemain Randai di Sumatera Barat adalah bangunan pemisah antara ruang permainan dengan khalayaknya, dan hanya boleh diisi secara eksklusif oleh pemain yang sudah ditentukan; sedangkan pada Randai Kuantan, pemisah itu bersifat inklusif, bisa diisi oleh khalayak yang berminat berjoget(!) di celah yang menghubungkan dua adegan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan pergeseran ruang dan intensitas interaksi masyarakat rantau Kuantan, dari kebudayaan Minangkabau di hulu, dengan masyarakat dan fenomena kebudayaan Melayu di hilir (Selat Melaka dan tanah semenanjung). Lakon, struktur adegan, dan perangkat teknis perpindahan latar kejadian dalam lakonan dalam bentuk musik, nyanyi, dan joget bergeser ke ‘hilir’ yang Melayu. Manakala musik dangdut meluas, elemen-elemen musikalitas pada Randai Kuantan ikut pula mengadopsi fenomena tersebut, sehingga sampai kini Randai relatif berjaya mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat Kuantan.

Lain lagi dengan fenomena seni Barzanji, Zapin, dan lain-lain yang sangat luas dikenal di Alam Melayu. Seni-seni ini muncul setelah Islam mengalami interiorisasi di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di Riau. Artinya, penerimaan orang Melayu terhadap Islam bukan hanya penerimaan keyakinan-keyakinan dogmatis-keagamaan, tapi juga sebagai sumber bagi pemerkayaan khasanah kebudayaan Melayu itu sendiri.

Dengan demikian, semakin terbuka kawasan dan masyarakat Riau, semakin subur interaksinya dengan dunia luar, semakin berkembang jenis kesenian tradisionalnya, dan semakin rancak (capat) pula perubahan bentuk dan struktur kesenian tradisional tersebut. Sementara itu, di kawasan pedalaman yang relatif kurang tersentuh perubahan, jenis dan bentuk-bentuk seni upacara dan/atau ritual tetap bertahan. Upacara pengobatan Belian pada suku asli Petalangan dan Talang Mamak atau Bedewo (Bonai) dan Bedikei (Sakai, Hutan, dan Akit), misalnya, relatif masih bertahan dengan bentuk dan struktur aslinya, karena kawasan tempat hidup para pendukungnya berada di pedalaman dan kurang berpeluang mengakses dan berinteraksi dengan dunia luar. Hal-hal seperti ini merupakan kekayaan Riau dan memberikan peluang untuk dikaji dalam pelbagai aspek.

Genre yang relatif sama fungsinya (untuk pengobatan) juga terdapat dalam kehidupan masyarakat Melayu di kampung-kampung, yang antara lain disebut Bedukun. Tetapi strukturnya lebih padat, terutama karena ritual perjalanan pelaku utamanya (kemantan atau gemantan) tidak lagi menelusuri kompleksitas ruang vertikal menuju dunia dewa-dewa, melainkan lebih bersifat penjelajahan simbolik untuk mencari dan menemukan kuasa luar biasa di dunia horisontal yang dipercaya bermukim pada diri makhluk tertentu (manusia, harimau atau buaya penunggu, misalnya). Teratak, dusun-dusun, dan kampung adalah ruang yang menengahi kecepatan dan kelambatan perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi. Dalam konteks Bedukun, hal itu dikesankan oleh pemendekan upacara (kesadaran praksis tentang waktu, yang dialirkan oleh interaksi dengan dunia luar) dan pergeseran ruang ke dunia horisontal-mitis (kesadaran tauhid bahwa puncak kuasa tertinggi itu adalah tunggal).

Demikianlah, bentuk-bentuk seni Melayu tradisional di Riau hakikatnya tak pernah tetap dan tak mungkin dikunci dalam ruang kedap udara perubahan. Bersama waktu, hakikat ruang Alam Melayu yang terbuka dari segala penjuru, cepat atau lambat, senantiasa akan menyusupkan interaksi sebagai determinan perubahannya. Oleh karena itu, kata kunci tradisionalitas seni-seni Melayu di Riau bukanlah terletak pada dikotomi asli atau tidak asli, tetapi terletak pada proses kewujudan dan perkembangan yang membabitkan khalayaknya. Seni-seni tradisional yang berubah dari waktu ke waktu, bersama seni-seni pedalaman yang relatif tetap, merupakan khasanah yang kekayaannya melebihi apa yang dimiliki oleh kawasan Alam Melayu lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Di kedua kawasan ini, akselerasi pembangunan yang memberi berkah pada kesejahteraan masyarakat tidak diikuti dengan pemeliharaan alamiah bentuk-bentuk seni tradisional setempat. Akhir-akhir ini, upaya pemeliharaan (rekonstruksi dan revitalisasi) memang giat dilakukan di kedua negara tersebut, sebagian di antara proyek-proyek rekonstruksi itu meminjam khasanah yang ada di Riau, dan hasilnya mengalami proses modifikasi dalam kaidah-kaidah industri seni.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern

Rabu, 23 November 2011

Kesenian Riau adalah kehidupan itu sendiri Tapak Lapan

Bagaimana melihat keterkaitan kesenian dengan sistem mata pencaharian masyarakat Riau “Tapak Lapan” tersebut? Memadailah ringkasan berikut ini. Sumber pendapatan orang Melayu Riau itu berasal dari pekerjaan (1) berladang (pertanian), (2) beternak (peternakan), (3) menangkap ikan (perikanan), (4) beniro (menetek enau dan kelapa), industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (5) mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut (perhutanan), (6) berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan (perkebunan), (7) bertukang, dan (8) berniaga (perdagangan).

Dalam konsep seperti itu, masyarakat Melayu Riau tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya apabila waktu pagi mereka berkebun, sorenya mereka menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun mereka mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro (mengambil air nira). Ketika musim hujan dan tidak bisa memotong karet, maka orang Melayu melakukan kegiatan berkebun atau bertani, seterusnya ketika kemarau berkepanjangan maka saatnya orang Melayu meramu hasil hutan.

Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Ini juga merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, mereka bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. Tujuan lainnya adalah upaya orang Melayu Riau dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan, menghindari krisis tersebut untuk mencukupi dengan melakukan penggantian pekerjaan dengan pekerjaan yang lebih tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Delapan macam mata pencaharian ini, juga memperlihatkan betapa Melayu di Riau mempunyai khazanah budaya yang panjang. Budaya masyaraka Melayu tersebut adalah budaya perairan, laut (maritim), pesisir, aliran sungai, niaga (dagang), dan bandar (pelabuhan). Budaya Melayu dengan paradigma yang demikian, telah membentuk mentalitas mereka menjadi manusia yang independen, pragmatik, mudah bergerak ke mana-mana (mobil) bila bersaing, memperlihatkan kualitas teknis serta punya harga diri yang tinggi.

Dari sistem ekonomi “Tapak Lapan” tersebut, melekat peristiwa kesenian, mulai dari mitos, legenda, pantun, syair, randai hingga ke pertunjukan, dan ritual serta upacara-upacara adat. Pekerjaan berladang ada ritual dan upacara menanam padi hingga pasca menuai, antara lain betobo. Pada peristiwa menangkap ikan orang angkan bersyair seperti syair Rantau Kopa (Rokan) dan Mararuah (Rantau Kuantan). Pekerjaan beniro dimulai dengan ritual dan mantera-mantera. Pekerjaan mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut serta berkebun dimulai dengan ritual Menetau Tanah dan upacara turun ke laut. Pekerjaan bertukang juga didahului oleh menetau rumah. Begitu pula dengan berniaga orang akan menonjolkan budi bahasa.

Posisi kesenian sebagai inti dengan demikian sangat ditentukan oleh unsur lain dalam kebudayaan, seperti reliji, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Unsur seni ukir yang terdapat di ornamen-ornamen rumah Melayu eksistensinya ditentukan oleh ketersediaan alam menyediakan kayu-kayan sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian, hutan (alam) menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi terbinanya seni ukir Melayu. Hal yang sama dapat pula dihubungkan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, dan sistem pengetahuan.

Punahnya rimba kepungan sialang dan hutan pada umumnya menyebabkan terancam dan hilangnya pencaharian pengambil madu dan peladang. Seiring dengan itu, maka unsur-unsur kesenian yang melekat pada siklus pekerjaan tersebut juga ikut menghilang, karena tidak lagi dipraktekkan sebagaimana biasanya. Syair-syair dan mantera-mantera yang dilantunkan pada siklus pengambilan madu (menumbai) tak akan bisa dilantunkan lagi bila pekerjaan mengambil madu tersebut tidak lagi menjadi sistem mata pencaharian orang-orang Melayu. Upacara-upacara ritual yang melekat pada siklus kehidupan peladang, tidak akan dilakukan lagi bila orang-orang Melayu tidak menjadikan berladang sebagai sistem mata pencahariannya.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Kesenian Riau adalah kehidupan itu sendiri Tapak Lapan

KESENIAN RIAU sebagai Permulaan

KESENIAN RIAU - Riau menjadikan kesenian sebagai titik memulai (starting point) dengan memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan lingkar inti. Sebagai inti, kesenian Riau dapat dipandang sebagai spirit terhadap siklus kehidupan orang-orang Melayu, karena unsur-unsur seni menyusup dan menghiasi hampir semua tatanan kehidupan orang-orang Melayu. Unsur seni dapat ditemukan berhubung-kait dengan sistem religius (kepercayaan). Setiap seni bagi orang Riau adalah produk gagasan, dan gagasan selalu bersumbu pada keyakinan akan sesuatu yang mutlak. Seni-seni Melayu adalah seni-seni yang terikat kepada kepercayaan ketuhanan, dan untuk sebagian besar kewujudannya bahkan mengekspresikan sekaligus memperteguh kepercayaan itu, seperti tergambar dalam sejumlah syair dan hikayat didaktik-religius Islam yang populer di tengah-tengah masyarakat Melayu.


Syair, hikayat, kayat, legenda-legenda, berbagai nyanyian rakyat, dan seluruh kekayaan tradisi lisan dan tertulis Melayu menampilkan unsur seni yang berada dalam siklus (pusaran) bahasa. Sedangkan kaitannya dengan sistem teknologi, terdapat dalam berbagai corak seni-bina (arsitektur), tenunan, dan kerajinan, yang menampilkan ornamen-ornamen serta corak-ragi yang khas. Unsur kesenian yang mengait dengan sistem pengetahuan sebagian besar terbangun dari hubungan dialogis manusia dengan alam (tumbuhan dan hewan), yang telah mengilhami lahirnya pengetahuan orang-orang Melayu Riau tentang ramuan dan obat-obatan, ilmu lebah, ilmu padi, dan sebagainya, yang tampil dalam berbagai bentuk ekspresi seni. Dalam kaitannya dengan sistem organisasi kemasyarakatan, kesenian tampil mengusung tataran nilai-nilai, norma-norma, dan pantang-larang sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Upacara-upacara adat yang menjadi ekspresi ikatan sosial dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut juga hadir dalam wujud yang estetis dan sukar dipisahkan dengan ekspresi-ekspresi seni. Sedangkan dengan sistem mata pencaharian, kesenian terhubung secara erat dengan siklus perekonomian yang digeluti orang Melayu. Melalui berbagai genre seni pertunjukan dan sastra, misalnya, batobo yang hadir sebagai seni fungsional dalam peristiwa ekonomis gotong royong, dan sangat nyata dalam peristiwa ekonomi “Tapan Lapan”. Istilah ini merupakan sebutan khusus untuk menjelaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang Melayu yang menunjukkan jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga Melayu.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - KESENIAN RIAU sebagai Permulaan