Bagaimana melihat keterkaitan kesenian dengan sistem mata pencaharian masyarakat Riau “Tapak Lapan” tersebut? Memadailah ringkasan berikut ini. Sumber pendapatan orang Melayu Riau itu berasal dari pekerjaan (1) berladang (pertanian), (2) beternak (peternakan), (3) menangkap ikan (perikanan), (4) beniro (menetek enau dan kelapa), industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (5) mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut (perhutanan), (6) berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan (perkebunan), (7) bertukang, dan (8) berniaga (perdagangan).
Dalam konsep seperti itu, masyarakat Melayu Riau tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya apabila waktu pagi mereka berkebun, sorenya mereka menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun mereka mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro (mengambil air nira). Ketika musim hujan dan tidak bisa memotong karet, maka orang Melayu melakukan kegiatan berkebun atau bertani, seterusnya ketika kemarau berkepanjangan maka saatnya orang Melayu meramu hasil hutan.
Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Ini juga merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, mereka bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. Tujuan lainnya adalah upaya orang Melayu Riau dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan, menghindari krisis tersebut untuk mencukupi dengan melakukan penggantian pekerjaan dengan pekerjaan yang lebih tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Delapan macam mata pencaharian ini, juga memperlihatkan betapa Melayu di Riau mempunyai khazanah budaya yang panjang. Budaya masyaraka Melayu tersebut adalah budaya perairan, laut (maritim), pesisir, aliran sungai, niaga (dagang), dan bandar (pelabuhan). Budaya Melayu dengan paradigma yang demikian, telah membentuk mentalitas mereka menjadi manusia yang independen, pragmatik, mudah bergerak ke mana-mana (mobil) bila bersaing, memperlihatkan kualitas teknis serta punya harga diri yang tinggi.
Dari sistem ekonomi “Tapak Lapan” tersebut, melekat peristiwa kesenian, mulai dari mitos, legenda, pantun, syair, randai hingga ke pertunjukan, dan ritual serta upacara-upacara adat. Pekerjaan berladang ada ritual dan upacara menanam padi hingga pasca menuai, antara lain betobo. Pada peristiwa menangkap ikan orang angkan bersyair seperti syair Rantau Kopa (Rokan) dan Mararuah (Rantau Kuantan). Pekerjaan beniro dimulai dengan ritual dan mantera-mantera. Pekerjaan mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut serta berkebun dimulai dengan ritual Menetau Tanah dan upacara turun ke laut. Pekerjaan bertukang juga didahului oleh menetau rumah. Begitu pula dengan berniaga orang akan menonjolkan budi bahasa.
Posisi kesenian sebagai inti dengan demikian sangat ditentukan oleh unsur lain dalam kebudayaan, seperti reliji, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Unsur seni ukir yang terdapat di ornamen-ornamen rumah Melayu eksistensinya ditentukan oleh ketersediaan alam menyediakan kayu-kayan sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian, hutan (alam) menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi terbinanya seni ukir Melayu. Hal yang sama dapat pula dihubungkan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, dan sistem pengetahuan.
Punahnya rimba kepungan sialang dan hutan pada umumnya menyebabkan terancam dan hilangnya pencaharian pengambil madu dan peladang. Seiring dengan itu, maka unsur-unsur kesenian yang melekat pada siklus pekerjaan tersebut juga ikut menghilang, karena tidak lagi dipraktekkan sebagaimana biasanya. Syair-syair dan mantera-mantera yang dilantunkan pada siklus pengambilan madu (menumbai) tak akan bisa dilantunkan lagi bila pekerjaan mengambil madu tersebut tidak lagi menjadi sistem mata pencaharian orang-orang Melayu. Upacara-upacara ritual yang melekat pada siklus kehidupan peladang, tidak akan dilakukan lagi bila orang-orang Melayu tidak menjadikan berladang sebagai sistem mata pencahariannya.
Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
Dalam konsep seperti itu, masyarakat Melayu Riau tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya apabila waktu pagi mereka berkebun, sorenya mereka menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun mereka mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro (mengambil air nira). Ketika musim hujan dan tidak bisa memotong karet, maka orang Melayu melakukan kegiatan berkebun atau bertani, seterusnya ketika kemarau berkepanjangan maka saatnya orang Melayu meramu hasil hutan.
Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Ini juga merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, mereka bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. Tujuan lainnya adalah upaya orang Melayu Riau dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan, menghindari krisis tersebut untuk mencukupi dengan melakukan penggantian pekerjaan dengan pekerjaan yang lebih tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Delapan macam mata pencaharian ini, juga memperlihatkan betapa Melayu di Riau mempunyai khazanah budaya yang panjang. Budaya masyaraka Melayu tersebut adalah budaya perairan, laut (maritim), pesisir, aliran sungai, niaga (dagang), dan bandar (pelabuhan). Budaya Melayu dengan paradigma yang demikian, telah membentuk mentalitas mereka menjadi manusia yang independen, pragmatik, mudah bergerak ke mana-mana (mobil) bila bersaing, memperlihatkan kualitas teknis serta punya harga diri yang tinggi.
Dari sistem ekonomi “Tapak Lapan” tersebut, melekat peristiwa kesenian, mulai dari mitos, legenda, pantun, syair, randai hingga ke pertunjukan, dan ritual serta upacara-upacara adat. Pekerjaan berladang ada ritual dan upacara menanam padi hingga pasca menuai, antara lain betobo. Pada peristiwa menangkap ikan orang angkan bersyair seperti syair Rantau Kopa (Rokan) dan Mararuah (Rantau Kuantan). Pekerjaan beniro dimulai dengan ritual dan mantera-mantera. Pekerjaan mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut serta berkebun dimulai dengan ritual Menetau Tanah dan upacara turun ke laut. Pekerjaan bertukang juga didahului oleh menetau rumah. Begitu pula dengan berniaga orang akan menonjolkan budi bahasa.
Posisi kesenian sebagai inti dengan demikian sangat ditentukan oleh unsur lain dalam kebudayaan, seperti reliji, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Unsur seni ukir yang terdapat di ornamen-ornamen rumah Melayu eksistensinya ditentukan oleh ketersediaan alam menyediakan kayu-kayan sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian, hutan (alam) menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi terbinanya seni ukir Melayu. Hal yang sama dapat pula dihubungkan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, dan sistem pengetahuan.
Punahnya rimba kepungan sialang dan hutan pada umumnya menyebabkan terancam dan hilangnya pencaharian pengambil madu dan peladang. Seiring dengan itu, maka unsur-unsur kesenian yang melekat pada siklus pekerjaan tersebut juga ikut menghilang, karena tidak lagi dipraktekkan sebagaimana biasanya. Syair-syair dan mantera-mantera yang dilantunkan pada siklus pengambilan madu (menumbai) tak akan bisa dilantunkan lagi bila pekerjaan mengambil madu tersebut tidak lagi menjadi sistem mata pencaharian orang-orang Melayu. Upacara-upacara ritual yang melekat pada siklus kehidupan peladang, tidak akan dilakukan lagi bila orang-orang Melayu tidak menjadikan berladang sebagai sistem mata pencahariannya.
Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009