Paling kurang ada empat macam konsep adat. Pertama ialah adat yang sebenar adat, adat yang asali. Yakni adat, norma atau hukum yang datang dari Allah yang berlaku terhadap segenap jagat raya ini. Sebagian daripada hukum Allah itu telah wujud sebagai syarak (ajaran Islam). Sebagian lagi menjadi hukum alam itu sendiri.
Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam bentuk hukum-hukum alam, tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia. Dengan kata lain tidak akan dapat diganggu gugat, sehingga dikatakan juga tidak akan layu dianjak tidak akan mati diinjak. Hukum-hukum Allah dan RasuI-Nya sebagai adat yang sebenar adat dalam wujud syarak, jika dirusak oleh manusia, niscaya akan memberi akibat yang fatal, berupa kehancuran kehidupan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya pelaku bid'ah atau perusak hukum Allah dan Rasul-Nya diancam dengan azab yang pedih. Sementara hukum Allah pada jagat raya ini telah memperlihatkan dirinya sebagai sifat-sifat alam semula jadi. Ini disebut juga sunatullah, misalnya adat buluh bermiang, adat tajam melukai, adat air membasahi, adat api hangus, dan seterusnya. Bagi manusia berlakulah hukum alam, adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam.
Kedua ialah adat yang diadatkan. Inilah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperanan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. Meskipun adat yang diadatkan ini merupkan seperangkat norma dan sanksi hasil gagasan leiuhur yang bijaksana, tetapi sebagai karya manusia, tetap rusak (berubah) oleh ruang da.n waktu serta oleh selera manusia dalam zamannya. Itulah sebabnya raeskipun adat rancangan leluhur ini dipelihara dan dilestarikan, tetapi terbuka peluang untuk disisipi, ditambah dan dikurangi, agar tetap dapat menjawab tantangan kehidupan masyarakatnya.
Adapun perancang adat Melayu atau adat yang diadatkan ini, ada beberapa orang yang cukup menarik diperhatikan. Datuk Demang Lebar Daun dan Raja Sang Sapurba telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara Vang berbunyi "Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja". Inilah adat Melayu yang memberi dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi di Riau. Sebab, telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (Raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat).
Datuk Kaya, leluhur Melayu tua Suku Laut, telah membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Dengan cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.
Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah. yakni ‘dua dua satu’. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat pohon sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut. Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.
Datuk Laksamana Raja di Laut, leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku. Pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Akibatnya nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Timbalannya, Datuk Ketumanggungan, membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan). Pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak. Sementara itu Datuk Bisai leluhur Melayu Kuantan Singingi membuat adat beternak dan beladang, sehingga antara peternak dan peladang tidak terjadi persengketaan, tapi menjadi harmonis dan saling menguntungkan.
Dalam jagad Melayu di Riau, adat yang sebenar adat telah menjadi tumpuan dari adat yang diadatkan, sehingga terbentuklah pandangan hidup yang sejati dalam rangkai kata adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Disingkat dalam rangkai kata yang piawai adat bersendi kitabullah. Bingkai ini dapat pula dipandang sebagai paduan antara konsep adat Datuk Perpatih (yang menekankan adat yang diadatkan) dengan asas adat Datuk Ketemenggungan (yang lebih menekankan pada adat yang sebenar adat). Paduan ini amat indah, sebenarnya Datuk Perpatih melihat adat dalam kenyataan kehidupan manusia, sementara Datuk Ketemenggungan melihat adat dari sudut hakekatnya di sisi Tuhan. Bingkai ini memperlihatkan lagi kepiawaian manusia harus berpijak pada panduan Allah dan Rasul-Nya. Sebab manusia yang sejati tidak dapat hidup hanya dengan hukum (adat) buatan manusia saja. Manusia yang sejati adalah manusia yang beragama, yakni yang menyembah Tuhannya.
Bingkai pandangan hidup jagad Melayu di Riau ini hendak menegaskan bahwa hukum buatan manusia tidak bernilai jika tidak bersandar kepada hukum Allah. Sebab hukum sebagai manifestasi kebenaran hendaklah merujuk kepada kebenaran di sisi Allah. Jika tidak akan tertolak, karena kebenaran itu semata-mata datang dari Allah.
Ketiga, konsep adat yang teradat yakni konvensi masyarakat atau keputusan hasil musyawarah yang kemudian dikokohkan menjadi adat atau aturan. Adat yang teradat lebih banyak merupakan aturan budi pekerti sehingga membuat penampilan manusia yang berbudi bahasa. Adat yang teradat telah dipelihara dari zuriat (generasi) kepada zuriat berikutnya, sehingga menjadi resam (tradisi) budi pekerti orang Melayu. Adat yang teradat dapat dikesan dari aturan panggilan dalam keluarga, masyarakat dan kerajaan, seperti misalnya panggilan ayah, bapak, ibu, emak, abang, kakak, puan. tuan, encik, tuan guru, engku, paduka, datuk, nenek, dan nenek moyang.
Etika berkomunikasi juga temasuk pada adat yang teradat. Dalam sopan santun komunikasi paling kurang ada 4 panduan atau aturan, yakni kata mendaki, melereng, mendatar, dan menurun. Kata mendaki, yakni adab bertutur terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Kata-kata yang dipakai hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati.
Kata melereng yaitu adab berbicara dengan orang semenda. caranya tidak boleh langsung begitu saja. Terhadap orang semenda dalam masyarakat adat, di samping dipanggil dengan gelar, juga dipakai gaya berkias atau kata perlambangan. Gunanya untuk menjaga perasaan dalam rangka menghormati orang semenda itu.
Kata mendatar, yakni cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Dalam keadaan ini kita boleh bebas memakai kata-kata dan gaya. Mulai gaya terus terang, jenaka, kiasan bahkan juga saran dan sindiran atau kritik, sesuai dengan ruang, waktu, dan medan komunikasi.
Kata menurun. Inilah medan komunikasi terhadap orang yang lebih muda dari kita, seperti terhadap adik, anak dan kemenakan, serta orang yang berkedudukan sosial lebih rendah dari kita. Kata-kata yang dipakai memberi petunjuk, ajaran, pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia atau bermartabat. Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali diberi gugahan, agar menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras serta memegang amanah dengan teguh, sehingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya.
Keempat, konsep adat istiadat, yaitu berbagai ketentuan atau perilaku yang sebaiknya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat. Karena ketentuan atau adab ini dipandang baik, maka telah dilestarikan pula, sehingga juga menjadi tradisi atau resam Melayu. Adat istiadat atau tradisi telah mengatur hubungan manusia dengan alam. Perhatikanlah beberapa panduannya. Kalau beladang dekat padang ternak, sebaiknya ladang dipagar. Kalau beternak, tradisinya ialah pagi dilepaskan petang dikurung, musim beladang digembalakang atau diikat. Kalau hendak masuk rimba belantara jangan takabur terhadap binatang buas dan binatang berbisa. Harimau dipanggil datuk sedangkan lebah sialang dipangggil cik dayang. Kalau mendirikan rumah bertiang, maka pangkal tiang (kayu) sebelah bawah, ujungnya ke atas. Rumah bertiang sebaiknya pakai sendi. Kalau membuka rimba belantara atau mengambil hasil hutan, maka kayu diambil diganti kayu, hutan ditebang diganti hutan. Maksudnya hutan belantara harus dipelihara, jangan diambil sampai rusak binasa.
Adat yang teradat (dasar-dasar hukum rancangan leluhur) adat yang teradat (adab budi pekerti) dan adat istiadat (tradisi memelihara alam) harus ditapis oleh adat yang sebenar adat, yakni oleh hukum yang sejati dari Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah adat harus bersendi kitabullah, maksudnya, tanpa mengindahkan hukum Allah, semua hukum buatan manusia hanya akan menjadi alat kekuasaan dan pemuas hawa nafsu belaka, sehingga akhirnya akan mendatangkan kehancuran dan malapetaka kepada umat manusia. [tim the real malay]
Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam bentuk hukum-hukum alam, tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia. Dengan kata lain tidak akan dapat diganggu gugat, sehingga dikatakan juga tidak akan layu dianjak tidak akan mati diinjak. Hukum-hukum Allah dan RasuI-Nya sebagai adat yang sebenar adat dalam wujud syarak, jika dirusak oleh manusia, niscaya akan memberi akibat yang fatal, berupa kehancuran kehidupan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya pelaku bid'ah atau perusak hukum Allah dan Rasul-Nya diancam dengan azab yang pedih. Sementara hukum Allah pada jagat raya ini telah memperlihatkan dirinya sebagai sifat-sifat alam semula jadi. Ini disebut juga sunatullah, misalnya adat buluh bermiang, adat tajam melukai, adat air membasahi, adat api hangus, dan seterusnya. Bagi manusia berlakulah hukum alam, adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam.
Kedua ialah adat yang diadatkan. Inilah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperanan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. Meskipun adat yang diadatkan ini merupkan seperangkat norma dan sanksi hasil gagasan leiuhur yang bijaksana, tetapi sebagai karya manusia, tetap rusak (berubah) oleh ruang da.n waktu serta oleh selera manusia dalam zamannya. Itulah sebabnya raeskipun adat rancangan leluhur ini dipelihara dan dilestarikan, tetapi terbuka peluang untuk disisipi, ditambah dan dikurangi, agar tetap dapat menjawab tantangan kehidupan masyarakatnya.
Adapun perancang adat Melayu atau adat yang diadatkan ini, ada beberapa orang yang cukup menarik diperhatikan. Datuk Demang Lebar Daun dan Raja Sang Sapurba telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara Vang berbunyi "Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja". Inilah adat Melayu yang memberi dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi di Riau. Sebab, telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (Raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat).
Datuk Kaya, leluhur Melayu tua Suku Laut, telah membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Dengan cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.
Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah. yakni ‘dua dua satu’. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat pohon sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut. Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.
Datuk Laksamana Raja di Laut, leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku. Pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Akibatnya nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Timbalannya, Datuk Ketumanggungan, membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan). Pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak. Sementara itu Datuk Bisai leluhur Melayu Kuantan Singingi membuat adat beternak dan beladang, sehingga antara peternak dan peladang tidak terjadi persengketaan, tapi menjadi harmonis dan saling menguntungkan.
Dalam jagad Melayu di Riau, adat yang sebenar adat telah menjadi tumpuan dari adat yang diadatkan, sehingga terbentuklah pandangan hidup yang sejati dalam rangkai kata adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Disingkat dalam rangkai kata yang piawai adat bersendi kitabullah. Bingkai ini dapat pula dipandang sebagai paduan antara konsep adat Datuk Perpatih (yang menekankan adat yang diadatkan) dengan asas adat Datuk Ketemenggungan (yang lebih menekankan pada adat yang sebenar adat). Paduan ini amat indah, sebenarnya Datuk Perpatih melihat adat dalam kenyataan kehidupan manusia, sementara Datuk Ketemenggungan melihat adat dari sudut hakekatnya di sisi Tuhan. Bingkai ini memperlihatkan lagi kepiawaian manusia harus berpijak pada panduan Allah dan Rasul-Nya. Sebab manusia yang sejati tidak dapat hidup hanya dengan hukum (adat) buatan manusia saja. Manusia yang sejati adalah manusia yang beragama, yakni yang menyembah Tuhannya.
Bingkai pandangan hidup jagad Melayu di Riau ini hendak menegaskan bahwa hukum buatan manusia tidak bernilai jika tidak bersandar kepada hukum Allah. Sebab hukum sebagai manifestasi kebenaran hendaklah merujuk kepada kebenaran di sisi Allah. Jika tidak akan tertolak, karena kebenaran itu semata-mata datang dari Allah.
Ketiga, konsep adat yang teradat yakni konvensi masyarakat atau keputusan hasil musyawarah yang kemudian dikokohkan menjadi adat atau aturan. Adat yang teradat lebih banyak merupakan aturan budi pekerti sehingga membuat penampilan manusia yang berbudi bahasa. Adat yang teradat telah dipelihara dari zuriat (generasi) kepada zuriat berikutnya, sehingga menjadi resam (tradisi) budi pekerti orang Melayu. Adat yang teradat dapat dikesan dari aturan panggilan dalam keluarga, masyarakat dan kerajaan, seperti misalnya panggilan ayah, bapak, ibu, emak, abang, kakak, puan. tuan, encik, tuan guru, engku, paduka, datuk, nenek, dan nenek moyang.
Etika berkomunikasi juga temasuk pada adat yang teradat. Dalam sopan santun komunikasi paling kurang ada 4 panduan atau aturan, yakni kata mendaki, melereng, mendatar, dan menurun. Kata mendaki, yakni adab bertutur terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Kata-kata yang dipakai hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati.
Kata melereng yaitu adab berbicara dengan orang semenda. caranya tidak boleh langsung begitu saja. Terhadap orang semenda dalam masyarakat adat, di samping dipanggil dengan gelar, juga dipakai gaya berkias atau kata perlambangan. Gunanya untuk menjaga perasaan dalam rangka menghormati orang semenda itu.
Kata mendatar, yakni cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Dalam keadaan ini kita boleh bebas memakai kata-kata dan gaya. Mulai gaya terus terang, jenaka, kiasan bahkan juga saran dan sindiran atau kritik, sesuai dengan ruang, waktu, dan medan komunikasi.
Kata menurun. Inilah medan komunikasi terhadap orang yang lebih muda dari kita, seperti terhadap adik, anak dan kemenakan, serta orang yang berkedudukan sosial lebih rendah dari kita. Kata-kata yang dipakai memberi petunjuk, ajaran, pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia atau bermartabat. Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali diberi gugahan, agar menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras serta memegang amanah dengan teguh, sehingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya.
Keempat, konsep adat istiadat, yaitu berbagai ketentuan atau perilaku yang sebaiknya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat. Karena ketentuan atau adab ini dipandang baik, maka telah dilestarikan pula, sehingga juga menjadi tradisi atau resam Melayu. Adat istiadat atau tradisi telah mengatur hubungan manusia dengan alam. Perhatikanlah beberapa panduannya. Kalau beladang dekat padang ternak, sebaiknya ladang dipagar. Kalau beternak, tradisinya ialah pagi dilepaskan petang dikurung, musim beladang digembalakang atau diikat. Kalau hendak masuk rimba belantara jangan takabur terhadap binatang buas dan binatang berbisa. Harimau dipanggil datuk sedangkan lebah sialang dipangggil cik dayang. Kalau mendirikan rumah bertiang, maka pangkal tiang (kayu) sebelah bawah, ujungnya ke atas. Rumah bertiang sebaiknya pakai sendi. Kalau membuka rimba belantara atau mengambil hasil hutan, maka kayu diambil diganti kayu, hutan ditebang diganti hutan. Maksudnya hutan belantara harus dipelihara, jangan diambil sampai rusak binasa.
Adat yang teradat (dasar-dasar hukum rancangan leluhur) adat yang teradat (adab budi pekerti) dan adat istiadat (tradisi memelihara alam) harus ditapis oleh adat yang sebenar adat, yakni oleh hukum yang sejati dari Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah adat harus bersendi kitabullah, maksudnya, tanpa mengindahkan hukum Allah, semua hukum buatan manusia hanya akan menjadi alat kekuasaan dan pemuas hawa nafsu belaka, sehingga akhirnya akan mendatangkan kehancuran dan malapetaka kepada umat manusia. [tim the real malay]
Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009