Sungai Subayang, Kampar Kiri Hulu - Riau |
Entahlah apa bisa disebut dengan petualangan.
Tetapi akhir minggu yang dihabiskan dengan teman-teman Riau Heritage
kemarin di Desa Gema, Kampar Kiri Hulu, Kampar - Riau weekend kemarin
benar-benar menyenangkan.
Perjalanan yang ditempuh lebih kurang
2.5 jam dari kota Pekanbaru itu tidaklah sia-sia. Lingkungan yang asri
dan masih dikelilingi hutan itu menjadikan udara di desa yang terletak
tak terlalu jauh dari ibu kota provinsi Riau ini masih sangat bersih
untuk dihirup.
Rupanya kawasan ini berada mendekati kaki bukit barisan, itu sih yang dikatakan om Attayaya Yar Zam. Sungai Subayang yang jernih menjadi tempat kami - tiga anak gadis - yang ikut dalam rombongan kemping itu membersihkan diri. Oke, mandi di sungai yang tak mungkin dilakukan di Pekanbaru pastinya mengingat kondisi air sungai yang sangat berbeda dan apa gunanya kamar mandi kalau begitu.
Ternyata tak hanya aku, Febi IndriaMedha dan Amanda DhoLvii yang kegirangan bermain di tepian sungai Subayang tetapi ada sesosok makhluk lagi yang langsung berubah jadi kecebong selama kami kemping disana, Marihot Siregar benar-benar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk bermain air sebanyak yang dia bisa. Dalam satu hari, entah berapa kali dia menceburkan diri ke sungai itu.
Dan ternyatanya lagi (bahasa yg aneh) jauh-jauh datang untuk menginap di Desa Gema itu dimanfaatkan bang Dedi Ariandi untuk melanjutkan rapat #eh entah rapat entah diskusi entah sharing, yaaah itu lah kira-kira. Di malam harinya sambil ditemani dengan kuaci, kacang serta beberapa lampu colok kami membahas pesan dan kesan selama kegiatan "Bulan Pusaka 2014" yang baru saja selesai, divisi bisnisnya RH, kegiatan selama tahun 2014 ini di museum serta beberapa pe-er yang menunggu untuk segera dikerjakan. Banyak? yah lumayan lah.
Menyesal? Jelasnya tidak, karena keesokan harinya kami melanjutkan sesi main air ke Air Terjun Batu Dinding yang bisa dijumpai tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Dengan menyewa sebuah perahu kami menyusuri sungai Subayang menuju ke tempat air terjun yang kami tuju. Dan selama perjalanan kami dimanjakan dengan pemandangan hijau yang lagi-lagi tidak kami lewatkan untuk selfie sepuasnya. Kiri-kanan dikelilingi hutan yang lebat dan perkampungan yang ternyata masih ada beberapa bangunan tua yang lagi-lagi kata om Yar seperti bangunan khas Belanda (semoga aku tak salah dengar) *bangunan itu lebih tepatnya rumah warga yang menghadap ke arah sungai.
Mencapai Air Terjun Batu Dinding ternyata harus melalui track yang cukup bikin kaki pegel (hasil nya kaki kakak punzel sakit setiba di Pekanbaru). Dengan beberapa korban gigitan pacet selama perjalan. Dan lagi-lagi si kecebong dadakan heboh luar biasa setiap kali melihat air mengalir.
Menceburkan diri tak dapat dielakkan setibanya di air terjun tersebut yah itulah yang terjadi, sayang nya bang Djemari Ijal ngga ikutan, dia lebih memilih memuaskan rasa kantuknya untuk tidur karena malamnya dia begadang dengan SuHendra SaPutra untuk memancing.
Setelah puas heboh-hebohan di Air Terjun Batu Dinding yang katanya ada tiga tingkat. Sayangnya kami hanya sampai di air terjun tingkat kedua. Tidak cukup kuat untuk melanjutkan ke tingkat pertama. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru.
Tetapi sebelum ke Pekanbaru, kami sempatkan singgah ke desa Lipat Kain Selatan kecamatan Kampar Kiri . Om Hasrinaldi- Eri yg tau alamat lengkapnya, untuk melihat peninggalan lokomotif yang ada di daerah tersebut. Dan ternyata benar ada gerbong tua yang sepertinya peninggalan masa penjajahan Jepang ditengah-tengah kebun karet disana. Singgah sebentar untuk mendengarkan cerita tentang gerbong tersebut dari bang Ijal.
Setelah puas foto-foto kami pun beranjak pulang dan lagi-lagi dalam perjalanan menyempatkan diri untuk kembali foto-foto di Tugu Khatulistiwa yang ada di kota Lipat Kain.
Happy? Off course!!! Aku jadi punya cerita tentang tempatku tinggal sekarang. Ternyata di Riau masih banyak tempat yang bisa kita jelajahi dan eksplore dengan teman-teman.
Rupanya kawasan ini berada mendekati kaki bukit barisan, itu sih yang dikatakan om Attayaya Yar Zam. Sungai Subayang yang jernih menjadi tempat kami - tiga anak gadis - yang ikut dalam rombongan kemping itu membersihkan diri. Oke, mandi di sungai yang tak mungkin dilakukan di Pekanbaru pastinya mengingat kondisi air sungai yang sangat berbeda dan apa gunanya kamar mandi kalau begitu.
Ternyata tak hanya aku, Febi IndriaMedha dan Amanda DhoLvii yang kegirangan bermain di tepian sungai Subayang tetapi ada sesosok makhluk lagi yang langsung berubah jadi kecebong selama kami kemping disana, Marihot Siregar benar-benar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin untuk bermain air sebanyak yang dia bisa. Dalam satu hari, entah berapa kali dia menceburkan diri ke sungai itu.
Dan ternyatanya lagi (bahasa yg aneh) jauh-jauh datang untuk menginap di Desa Gema itu dimanfaatkan bang Dedi Ariandi untuk melanjutkan rapat #eh entah rapat entah diskusi entah sharing, yaaah itu lah kira-kira. Di malam harinya sambil ditemani dengan kuaci, kacang serta beberapa lampu colok kami membahas pesan dan kesan selama kegiatan "Bulan Pusaka 2014" yang baru saja selesai, divisi bisnisnya RH, kegiatan selama tahun 2014 ini di museum serta beberapa pe-er yang menunggu untuk segera dikerjakan. Banyak? yah lumayan lah.
Menyesal? Jelasnya tidak, karena keesokan harinya kami melanjutkan sesi main air ke Air Terjun Batu Dinding yang bisa dijumpai tak jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Dengan menyewa sebuah perahu kami menyusuri sungai Subayang menuju ke tempat air terjun yang kami tuju. Dan selama perjalanan kami dimanjakan dengan pemandangan hijau yang lagi-lagi tidak kami lewatkan untuk selfie sepuasnya. Kiri-kanan dikelilingi hutan yang lebat dan perkampungan yang ternyata masih ada beberapa bangunan tua yang lagi-lagi kata om Yar seperti bangunan khas Belanda (semoga aku tak salah dengar) *bangunan itu lebih tepatnya rumah warga yang menghadap ke arah sungai.
Mencapai Air Terjun Batu Dinding ternyata harus melalui track yang cukup bikin kaki pegel (hasil nya kaki kakak punzel sakit setiba di Pekanbaru). Dengan beberapa korban gigitan pacet selama perjalan. Dan lagi-lagi si kecebong dadakan heboh luar biasa setiap kali melihat air mengalir.
Menceburkan diri tak dapat dielakkan setibanya di air terjun tersebut yah itulah yang terjadi, sayang nya bang Djemari Ijal ngga ikutan, dia lebih memilih memuaskan rasa kantuknya untuk tidur karena malamnya dia begadang dengan SuHendra SaPutra untuk memancing.
Setelah puas heboh-hebohan di Air Terjun Batu Dinding yang katanya ada tiga tingkat. Sayangnya kami hanya sampai di air terjun tingkat kedua. Tidak cukup kuat untuk melanjutkan ke tingkat pertama. Kami pun memutuskan untuk kembali ke Pekanbaru.
Tetapi sebelum ke Pekanbaru, kami sempatkan singgah ke desa Lipat Kain Selatan kecamatan Kampar Kiri . Om Hasrinaldi- Eri yg tau alamat lengkapnya, untuk melihat peninggalan lokomotif yang ada di daerah tersebut. Dan ternyata benar ada gerbong tua yang sepertinya peninggalan masa penjajahan Jepang ditengah-tengah kebun karet disana. Singgah sebentar untuk mendengarkan cerita tentang gerbong tersebut dari bang Ijal.
Setelah puas foto-foto kami pun beranjak pulang dan lagi-lagi dalam perjalanan menyempatkan diri untuk kembali foto-foto di Tugu Khatulistiwa yang ada di kota Lipat Kain.
Happy? Off course!!! Aku jadi punya cerita tentang tempatku tinggal sekarang. Ternyata di Riau masih banyak tempat yang bisa kita jelajahi dan eksplore dengan teman-teman.