Minggu, 12 Juni 2011

Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, S.H.

Pendahuluan

Pengislaman Asahan/Panai/Bilah/Kota Pinang dimulai ketika seorang puteri Panai bernama Siti Onggu diambil oleh Sultan Al Qahhar dari Aceh ketika Sultan itu baru berhasil menaklukkan benteng “Puteri Hijau” di Haru (Deli Tua). Penaklukkan itu, menurut Mendes Pinto1, terjadi pada tahun 1539 M. Kemudian diceritakan bahwa Siti Onggu hamil tua dan dibawa kembali oleh abang-abangnya. Siti Onggu kemudian melahirkan seorang anak laki-laki dan dijadikan Sultan Abdul Jalil-I, Sultan yang pertama di Asahan. Kemudian abang-abang dari Puteri Siti Onggu menjadi raja-raja Islam di Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Proses “Melayunisasi” (Islamisasi) di kalangan Suku Simalungun di daerah Padang/Bedagai dan Batubara dimulai dengan pengaruh komunikasi dengan penduduk Melayu di pantai, kemudian mereka berbahasa Melayu sehari-hari kemudian masuk Islam dan berpakaian cara Melayu.2 Di wilayah Deli, Langkat, dan Serdang, proses pengIslaman sekaligus Melayunisasi sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Haru dan masa pendudukan Aceh pada abad ke-16 secara damai (melalui perkawinan dan penetration pacifique).

Raja-raja dan pembesar-pembesar Melayu mengawini puteri Sibayak/Pengulu/Perbapaan orang Karo atau Simalungun dan menjadikan mereka Islam dan putera-putera mereka dididik di dalam lingkungan istana Melayu dan kemudian diperkenalkan dengan agama Islam dan budaya Melayu. Mereka yang sudah menjadi Melayu diberikan layanan seperti orang Melayu lainnya. Bahkan kepada kepala-kepala daerah asal Batak itu yang sudah Islam dan sudah diperkenalkan kepada budaya Melayu diberikan gelar-gelar kebangsawanan Melayu seperti “Wan”, “Raja”, “Datuk”, “Orang Kaya”, “Kejeruan”.



Bahwa Wazir Berempat Kerajaan Deli, yaitu Datuk Sunggal/Serbanyaman, Datuk Sukapiring, Datuk Hamparan Perak XII Kota dan Kejeruan Petumbak adalah asal Karo masing-masing bermarga Surbakti, Sembiring, dan Barus yang dahulunya adalah Raja-raja Urung di wilayah masing-masing dan membentuk konfederasi, di mana Wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, sejak tahun 1632 M, ditempatkan di Deli, dijadikan semacam Primus Inter Pares. Tetapi sejak Aceh diperintah oleh Raja-raja wanita, maka putera Gocah Pahlawan, bernama Tuanku Panglima Perunggit, memproklamirkan diri bahwa Deli sudah merdeka pada tahun 1699 M.

Begitulah proses tersebut berkelanjutan sampai masa kedatangan pemerintah Kolonial Belanda. Menurut Kontelir De Haan, yang mengunjungi Deli Tua, yang merupakan daerah perbatasan antara kampung-kampung Melayu dengan kampung-kampung Karo, pada tahun 1870 antara lain dituliskannya:

“……..tetapi merekapun juga terpisah dari kehidupan umum dan adat mereka makin lama makin berubah menjadi Melayu. Negeri-negeri mereka itu sebaliknya tidak disebut ’Negeri Batak’, tetapi kini disebut ’dusun’ oleh orang-orang Melayu.”3

Sultan memerintah negeri-negeri asal Batak itu secara longgar dan hanya bertindak jika ada terjadi perselisihan yang tak dapat didamaikan secara adat. Di antara Suku Batak yang paling cepat mengalami proses “Melayunisasi” ialah Suku Perdambanan antara Sungai Silau dan Sungai Silau Tua di Asahan. Hampir seluruhnya mereka dalam waktu singkat memeluk agama Islam dan menjadi Melayu pada abad ke-18.4

Pembahasan

Menurut laporan John Anderson yang dikirim pemerintah Inggris dari Penang ketika mengunjungi negeri-negeri Melayu yang masih merdeka di pesisir Timur Sumatera pada tahun 18235, Kampung Sunggal sendiri masih sebagian penduduknya suku Karo yang belum beragama, tetapi di dalam salah satu laporan pembesar Belanda semasa masih berkecamuknya Perang Sunggal melawan Belanda yang dipimpin Datuk Kecil (Datuk Matdini) pada tahun 1872, dicatat bahwa seluruh penduduk Kampung Sunggal sudah menjadi Melayu (Islam).6

Adalah politik Pemerintah kolonial Belanda mereservir Tapanuli Utara, Dairi, Tanah Karo, dan Simalungun sebagai suatu “buffer” (daerah penyangga) antara wilayah Islam di Aceh dan wilayah Islam di Selatan Sumatera dan menjadikan wilayah “buffer” itu menjadi wilayah Kristen.

Di Pantai Barat Sumatera Utara diberikan konsesi penyebaran agama Kristen kepada Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) dari Barmen dan di wilayah Tanah Karo dan Simalungun diberikan bantuan kepada Nederlandsche Zending Gennootschap (NZG) dari Rotterdam, yang sepenuhnya biaya dibantu oleh perkebunan besar tembakau Belanda terutama Deli Maatschappij. Untuk mengamankan politik ini, Belanda menempatkan pembesar khusus urusan Batak yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken di Kerajaan Langkat, Serdang, dan Deli, karena di daerah hulu masing-masing kerajaan itu terdapat penduduk Karo atau Simalungun yang masih perbegu.

Tetapi seperti laporan di Serdang oleh pembesar Belanda, Sultan Serdang diam-diam membendung politik Kristenisasi Belanda itu. Menurut laporan timbang terima Residen Deli-Serdang S. van der Plas 2-6-1913 dituliskan :

“Het is niet wenselyk de Maleische Zelfbestuurders hun directen invloed op de Bataks te doen uitbreiden, iets waarop zij, vooral in Serdang, steeds bedacht zijn. Ik kacht met zeer gewenscht om politieke redenen den rechtstreekschen invloed van Soeltan en Oeroenghoofden die allen Mohamedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batakdoesoens als afzonderlijke, of laat ik liever zeggen als meer bijzondere eenheeden te blijven beschouwen”.

(Tidaklah diinginkan raja-raja Melayu memperteguh pengaruh mereka secara langsung kepada orang-orang Batak, yang sebagaimana halnya di Serdang selalu agak mencurigakan. Saya ingin berdasarkan pertimbangan politik agar pengaruh langsung dari Sultan dan Kepala-Kepala Urung yang beragama Islam itu janganlah diperkuat dan dianggap saja wilayah Batak Dusun itu selaku wilayah khusus atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang khusus sekali harus diperlakukan).

Hal ini disebabkan karena lambannya proses Kristenisasi di daerah hulu kerajaan-kerajaan tersebut dibandingkan dengan kemajuan dakwah Islam, seperti laporan Belanda: “De Islam heeft in het grensgebied van Boven Serdang meer resultaat dan de Zending van het Rotterdamsche Zendinggenootschap te Gunung Meriah en Kota Jurung. De animo om Christen te worden is bij de Batak bevolking van deze streken niet groot.”7 (Islam lebih berhasil di wilayah Serdang Hulu daripada Rotterdamsche Zendinggenootschap di Gunung Meriah dan Kota Jurung. Keinginan untuk masuk Kristen di kalangan penduduk Batak dalam wilayah ini tidaklah besar).

Untuk mempersiapkan agar wilayah Batak Dusun semuanya memeluk agama Kristen yang akan dihadapkan dengan wilayah pesisir Melayu yang Islam, maka politik Belanda memperbesar pertentangan antara Suku Karo dan Simalungun dengan Suku Melayu dan Belanda berpura-pura membela kedua suku itu antara lain dengan mengusulkan kepada Sultan Serdang agar di Kerapatan Dusun Serdang, yang merupakan mahkamah tertinggi untuk wilayah yang didiami Suku Karo dan Simalungun di Serdang yang diketuai oleh Sultan, ditempatkan juga wakil dari zending pendeta Belanda sebagai penasihat, hal mana ditolak oleh Sultan sebagai Ulil Amry dan Zillullah fi’l Ardh.8 Memang pada pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, perkembangan dakwah Islam di daerah Kerajaan Serdang terutama di wilayah Serdang Hulu (Senembah-Tg. Muda dan Batak Timur) sangatlah pesatnya, terutama setelah oleh Sultan Sulaiman dibiayai perkumpulan Syairus Sulaiman di mana Mufti Kerajaan Serdang, Syeikh Zainuddin, duduk di dalamnya beserta Tengku Fachruddin untuk memajukan perkembangan Islam itu.

Di dalam Kerajaan Melayu, Sultan adalah Kalifatullah, pemimpin agama Islam di samping kepala pemerintahan dan kepala adat. Sebelum pemerintahan kolonial Barat berkuasa, hukum Syariah Islam berlaku di dalam Kerajaan Melayu dan hukum adat dipakai sepanjang tidak bertentangan dengan akidah hukum Islam itu, seperti yang dituangkan di dalam pepatah adat Melayu yaitu “Adat bersendi Syara’, dan Syara’ bersendi Kitab Allah.”

Untuk urusan agama Islam, di samping Sultan ada mufti Kerajaan, ahli hukum agama Islam, dan di daerah-daerah ada kadhi dan naib kadhi yang diangkat oleh Sultan. Setelah Belanda masuk, dibuat perjanjian yang disebut politiek contract dengan Sultan Siak, Sultan Serdang, Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Asahan, dan Yang Dipertuan Besar Kualuh serta korte verklaring (pernyataan pendek) dengan raja-raja Melayu yang kecil-kecil lainnya. Di dalam perjanjian itu disebut mana-mana hak dan kewajiban Belanda dan mana yang dipihak kerajaan. Mengenai adat dan agama Islam sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban raja-raja Melayu itu yang tak boleh dihalangi dan dicampuri Belanda. Sejak tahun 1928 Mufti Kerajaan Serdang, Tuan Syekh Zainuddin, mendapat pensiun dan kemudian Sultan Sulaiman membentuk suatu badan kolegial “MAJELIS SYAR’I KERAJAAN SERDANG” yang diketuai oleh Tengku Fachruddin. Sultan Sulaiman lalu memindahkan wewenangnya selaku pemimpin agama Islam di Kerajaan Serdang kepada Majelis ini, sehingga Majelis ini mempunyai wewenang yang sangat luas sekali.

Di samping mengatur dan mengurus soal yang berhubungan dengan nikah, talak, dan rujuk, majelis ini juga bertindak sebagai badan mengatur Baital Mal, menentukan kapan puasa dan Hari Idul Fitri, kemudian menetapkan kadhi dan naib kadhi, serta mengurus sekolah dan machtab Islam serta mengenai harta warisan. Semua anggota majelis digaji oleh kerajaan dan Ketua Majelis Syar’i dianggap disamakan dengan status Orang Besar Kerajaan. Ketika Tengku Fachruddin meninggal dunia tahun 1937, jabatan Ketua Majelis Syar’i Kerajaan Serdang dirangkap oleh Sultan Sulaiman sendiri dan karena kesibukannya ia lalu ingin menempatkan Haji Abdul Majid Abdullah, bekas anggota Pengurus Besar PERMI, orang Minangkabau, untuk diangkat menjadi Ketua Majelis Syar’i tersebut, tetapi dilarang oleh Belanda atas anjuran dari Polisi Rahasia Belanda bagian Politik (PID) mengingat Tuan Haji Abdullah tersebut tidak bersimpati terhadap Belanda.9

Lowongan jabatan ketua itu kemudian diisi oleh Tengku Yafizham, sekembalinya beliau dari studi di Kairo pada tahun 1939. Di samping hal di atas Sultan Sulaiman Serdang juga giat membantu perkembangan pendidikan Islam dan Panti Asuhan seperti Al Jamiatul Washliyah dan baginda yang pertama kalinya mengizinkan Sarekat Islam” (SI) boleh bergerak di wilayah kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan berdirinya cabang Serdang yang dipimpin oleh Tengku Fachruddin. Masalah yang juga hampir membuat masyarakat Islam terpecah-belah di Sumatera Timur ialah antara “kaum muda” yang dipelopori oleh Muhammadiyah dengan “kaum tua” yang dianggap mewakili kaum ahli Sunnah wal Jamaah. Di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur, kegiatan Muhammadiyah dan juga aliran lain selain aliran Mazhab Syafii, dilarang, juga mendirikan masjid dan Perguruan Muhammadyah. Hal ini membuat masygul hati Sultan Serdang sehingga agar jangan umat Islam terpecah-belah karena soal chilafiyah saja, diundanglah oleh Sultan Sulaiman ke Istana Kota Galuh di Perbaungan pada tanggal 5-2-1928 di mana banyak mufti-mufti dan ulama-ulama terkemuka dari tiap kerajaan Melayu yang besar di Sumatera Timur untuk bertukar fikiran mengenai masalah ini dan baginda sendiri turut hadir. Muhammadiyah boleh di Serdang.10

Melalui permohonan dari “Bangsawan Sepakat” agar di sekolah rakyat (disebut Sekolah Melayu 3 tahun) yang dibiayai oleh Kerajaan Serdang supaya diajarkan pelajaran-pelajaran agama Islam, ini segera dipenuhi oleh Sultan Sulaiman.11 Juga di Kerajaan Langkat, Sultan Musa pada akhir abad ke-19 mendirikan kompleks pesantren kaum sufi tharikat Naqsabandiyah yang dikepalai oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan. Ketika ia sepulangnya dari ibadah Haji, melepaskan tahta untuk digantikan oleh putera bungsunya Sultan Abdul Aziz, Sultan Musa lalu tinggal dan beribadat sampai mangkatnya di pesantren Babussalam tersebut.

Sultan Abdul Aziz selain mendirikan mesjid raya Aziziyah yang megah di Tg. Pura itu juga mendirikan Machtab (Kutab) Aziziyah pada tahun 1927 di Tg. Pura yang murid-muridnya banyak datang dari luar daerah (seperti almarhum bekas Wakil Presiden Adam Malik) dan dari luar negeri.

Mengingat hak dari raja-raja Melayu sebagai penguasa dalam bidang agama Islam seperti yang tercantum di dalam kontrak politik itu, maka di dalam wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur tidaklah dibenarkan mendirikan gereja Kristen, atau mengadakan propaganda agama Iain selain Islam di kalangan rakyat kerajaan yang beragama Islam. Oleh sebab itu, pada masa kolonial Belanda tidaklah janggal jika orang suku lain mencatat dirinya sebagai “Melayu” agar lebih terjamin misalnya ketika mau naik Haji ke Mekah.

“Het is onmogelijk het getal juist op te geven, daar de Bataks van de meest bescheiden havens hun reis beginnen om zich dikwijls voor Maleijers uitgeven.”12

(Agak sulit memberikan angka yang tepat, karena orang-orang Batak itu memulai perjalanan mereka dari pelabuhan-pelabuhan yang kecil sekalipun selalu mengatakan diri mereka sebagai orang-orang Melayu).

Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH, Pemangku Adat Kesultanan Serdang

Catatan Kaki:

  1. Menurut terbitan Abdullah ibn Abdulkadir Munshi oleh Penerbit DJAMBATAN (Jakarta) 1952.
  2. Lihat makalah saya dalam Seminar Dakwah Islam Se-Sumatra Utara, 29-31 Maret 1981, “Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara”, juga dalam harian Analisa Medan, 10 April 1981.
  3. Lihat makalah saya: “The Kingdom of Haru and the Legend of Puteri Hijau”, dalam Kongres Sejarahwan Asia (IAHA) ke-7 di Bangkok, 25-27 Agustus 1977.
  4. E.E. McKinnon & T. Luckman Sinar, SH., “Kota Cina, Notes on Further Developments at Kota Cina”, dalam Sumatra Research Bulletin, Hull University (England), Vol.IV. No.1 Oct. 1974. Juga dalam artikel di majalah yang sama “Kota Cina-Some Preliminary Notes”, Vol. III No.1, Oktober 1975.
  5. Huzayvin, “Arabia and the Far East”, edisi M.J. de Goeje, hal. 149-150, 1906.
  6. Tibbets, “Early Muslim Traders in South East Asia”.
  7. “The Arabs and the Eastern Trade”, hal. 154 – 155.
  8. S. van Ronkel “Encyclopedy of Islam”, Jilid I, hal.551, 1927.
  9. “Shing Cha Sheng Lan” , Chapter 2, hal. 27.
  10. “Ying Yai Sheng Lan”, mengenai Haru.
  11. “Wu pei shih, ti erh pai shu shih chuan, hang hai chien hsuan”. Lihat juga J.V.Mills dalam JMBRAS XV, Part.III, 1937, hal.42.
  12. G.R.Tibbets, “Arab Navigation in the Indian Ocean”, hal. 494 (1971). Lihat juga G.R. Ferrand “Relation de Voyages”. Vol.II, hal.484-541 (1914). Lihat uraian DR.J.P.Moquette “De Grafsteen van Kloempang” dalam Bijlage H. dari Oudheidkundig Verslag, 2de en 3de kwartaal 1922 hal. 69-71.
  13. Lihat uraian DR.J.P. Moquette “De Grafsteen van Kloempang” dalam Bijlage H. dari Oudheidkundig Verslag, 2de en 3de kwartaal 1922 hal. 69-71.
  14. Lihat “Hikayat Datoek van Hamparan Perak”, dalam Catalogus Bibliotheek van het Oostkust van Sumatra Instituut no. 510. G.E.Marison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS XXIV, Part I, 1951, hal. 29-36. Lihat juga Andrew D.W.Forbes, “Southern Arabia and the Islamisation of the Central Indian Ocean Archipelagoes”, Archipel 21, 1981, hal. 62.
  15. G.E.Marison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS XXIV, Part I, 1951, hal. 29-36. Lihat juga Andrew D.W.Forbes, “Southern Arabia and the Islamisation of the Central Indian Ocean Archipelagoes”, Archipel 21, 1981, hal. 62.
  16. Lihat Karl Pelzer, “Planter and Peasant” (Colonial Policy and the Agrarian Struggle In East Sumatra (1863 1947)”, dalam Verhandeling KITLV no. 84. .
  17. “History of Sumatra”, hal. 42
  18. Judith Nagata, dalam BKI Deel 130, Aflevering 1, hal. 9. Lihat juga “Tabal Mahkota Asahan” dan juga C.A.Kroesen “Geschiedenis van Asahan”.
  19. “Peregrinacao”. Lihat juga “Tabal Mahkota Asahan” dan juga C.A.Kroesen “Geschiedenis van Asahan”.
  20. Lihat laporan P.A.L.E. Van Dijk “Rapport betreffende de Sibaloengoensche Landschappen Tanjong Kasau, Tanah Djawa en Si Antar”, TITLV no. XXXVII, 1893, hal. 154-155.
  21. C.De Haan, “Verslag van eene Reis in de Bataklanden”, V.B.G. 38/ I.
  22. A. Viner, “The Changing Batak”, JMBRAS Vol.52, Part.II, hal. 89 (1979).
  23. “Mission to the East Coast of Sumatra”, Edinburgh 1826.
  24. Laporan dalam “Rapport Expeditie Kolonne van Riouw in het Rijk van Deli”, MR 542, 15 Mei – 14 Juli 1872.
  25. Memorie van Overgave Kontelir Serdang J. Reuvers 4-6-1923 hal. 16.
  26. Memorie van Overgave Asisten Residen Deli-Serdang R.J.Koppenol, Augustus 1927.
  27. Berkas surat Sultan Serdang kepada Kontelir Serdang no. 79/Rahasia tgl. 25-9-1937; surat no. 79a/Rahasia tgl. 26-10-1937; surat no.9/Rahasia tgl. 28-12-1937 dan surat Kepala Reserse Sumatera Timur no. 1017/CI. tgl. 4-9-1937 kepada Kontelir Serdang.
  28. Lihat Tengku Yafizham, “Verslag Debat Faham Kaoem Moeda dan Kaoem Toea”, 5-2-1928 percetakan Sumatra Drukkerij, Medan.
  29. Memorie van Overgave dari Kontelir Serdang, Reuvers 1923 hal.23.
  30. G.K.Simons, “Der Islam wie ich ihn kennen lernte, auf Sumatra”, Barmen 1909, Rijnsche Zending.

http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/article/117-Perkembangan-Islam-di-Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur