Kamis, 26 Mei 2011

Mengenal Tuah Pantun Melayu

Pantun merupakan bentuk sastra lisan Melayu yang masih hidup ditengah masyarakatnya. Disamping sebagai bahasa hiburan, kelakar, sindiran, pelampiasan rasa “rindu dendam” antara bujang dan dara. Pantun juga dijadikan media dakwah dan tunjuk ajar. Penyampaian aqidah islam, nilai luhur budaya dan norma-norma social adalah salah satu bentuknya.

Melalui kegemaran berpantun ini, para ulama, pemuka adat dan cerdik pandai tanah Melayu menanamkan serta meyebarluaskan ajaran islam, termasuk nilai-nilai luhur budaya kepada masyarakatnya. Mereka menjelaskan bahwa nilai luhur budaya melayu tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama islam, sebab sumber dan punca dari keseluruhan nilai-nilai luhur dimaksud adalah islam. Sesuai dengan ungkapan “Elok Budaya Karena Agama, Elok Adat Karena Kiblat.”

Pantun yang berisikan dakwah dan tunjuk ajar ini disebut pantun berisi atau pantun tunjuk ajar atau pantun nasehat. Penyampaiannya dilakukan secara bervariasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun nasehat dan pantun berkasih-sayang, termasuk pantun mantra (monto).

Penggunaan kata dalam setiap bait pantun cukup terbatas, namun mereka (orang tua-tua melayu) mampu mengentalkan isinya sehingga mudah dipahami. Hal ini tidak lepas dari keterlibatan mereka sejak kecil dalam ikhwal pantun memantun. Sehingga memberi peluang untuk meningkatkan kemampuan dalam hal menjalin berbagai isi pantun. Menjalin unsure-unsur dakwah dan tunjuk ajar kedalam sebuah pantun menjadi kelebihan tersendiri bagi masyarakat melayu, dan bukan suatu keheranan bila kebanyakan orang tua melayu mampu berpantun secara spontan.

Sesekali sarat hiburan, pantun pun dijadikan sebagai media pembelajaran dan pelatihan kecakapan diri. Dalam berbalas pantun, sering terjadi semacam ujian terhadap kemampuan seseorang menjawab pantun yang “dijual” lawannya itu. Dengan demikian ia dilatih untuk berfikir secara cepat supaya dapat membalas dan menjual pantunnya. Hal ini lambat laun menyebapkan ia memiliki kemampuan untuk berpantun secara otomatis. Ia terbiasa berfikir cepat , menyusun pantun dalam waktu singkat kemudian memantunkannya secara spontan.

Pantun memantun lambat laun menjadi kebiasaan dalam pembicaraan sehari-hari komunitas melayu. Mereka dalam melakukan percakapan diselingi dengan pantun memantun sesuai dengan isi pembicaraannya. Kebiasaaan ini berlanjut dan semakin mengokohkan peranan pantun dalam kehidupan mereka. Bahkan, sebagian orang tua-tua itu mengatakan, bila percakapan tidak diselingi pantun memantun, maka pembicaraan itu terasa hambar. Karenanya dalam berbual mereka meyelipkan pantun, yang mereka sebut sebagai “pemanis cakap” yang hakekatnya menyampaikan isi tertentu pula.

Dimasukkannya pantun dalam percakapan semakin membuka peluang penyampaian dakwah dan tunjuk ajar melalui pantun. Sebutan “pemanis cakap,” “pelemak kata,” “penyedap bual,” dan “bunga cakap,” tidak lah bermakna mengecilkan arti pantun, tetapi sebaliknya semakin mengokohkan peranan pantun itu sendiri. Apalagi pantun-pantun yang disampaikan didalam perbualan itu adalah pantun pilihan yang isinya sarat dengan berbagai pesan, petunjuk, petuah, amanah, yang hakekatnya mengandung unsur dakwah pula.

Hal ini menunjukkan, bahwa pemakaian pantun amatlah luas. Sehingga pemanfaatannya sebagai media dakwah dan tunjuk ajar amatlah tepat, karena mampu menembus semua lapisan masyarakat. Penegasan pemanfaatan dan pemakaian pantun sebagai media dakwah dan tunjuk ajar itu, tercermin dalam ungkapan :

“apa guna pantun dibuat, pantun dibuat mengajari umat:
mengajari ilmu dunia akhirat
mengajari syarak beserta adat
mengajari orang mengenal kiblat
mengajari amal serta ibadat
supaya hidup tidak tersesat
bila mati beroleh rahmat”

“apa guna pantun dipakai, menunjuk mengajar orang ramai:
supaya beragama tiada merampai
supaya beramal tiada lalai
supaya budi elok perangai
supaya memakai pada yang sesuai
supaya hidup rukun dan damai"

penegasan orang tua-tua melalui ungkapan diatas semakin mengokohkan peranan pantun sebagai media dakwah dan tunjuk ajarnya. Hal ini mendorong pakar-pakar pantun memasukkan unsur dakwah dan tunjuk ajar kedalam setiap pantunnya. Semakin sarat pantun itu dengan nilai-nilai luhur, semakin banyaklah orang menyukainya. “pantun berisi” ini kemudian disebarluaskan ketengah-tengah masyarakat, didendangkan melalui nyayian, diselipkan dalam perbualan, dibahas dalam musyawarah adat, diuraikan dalam pengajian dan sebagainya. Pantun-pantun ini diwariskan turun temurun, dibukukan oleh masyarakatnya.

Kekalnya pantun melayu, tak lain karena kandungan isinya yang berpunca dari ajaran agama islam dan adat istiadatnya, yang “tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas.”

Penjelasan ini memberi petunjuk, bahwa hakekatnya, pantun yang berkekalan adalah pantun yang kandungan isinya adalah nilai-nilai luhur yang abadi, sedangkan yang lainnya, tidaklah dapat bertahan lama. Setidak-tidaknya akan berubah menurut perubahan zaman dan masyarakatnya. Hal ini mendapat penegasan dalam ungkapan “kalau pantun bermain-main, ia berubah menurut anginnya,” atau dikatakan “kalau sekedar pantun kelakar, setiap musim ia bertukar.” (dari berbagai sumber)

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2009/04/mengenal-tuah-pantun-melayu.html