Rabu, 11 Desember 2013

Rumah Panggung di Tepi Sungai Siak Bisa Jadi Cagar Budaya


Rumah Panggung di Tepi Sungai Siak Bisa Jadi Cagar Budaya

Adanya rumah panggung di tepian Sungai Siak merupakan bentuk dari sisa-sisa identitas Melayu terdahulu. Di tempat inilah yang bakal menjadi silsilah lahirnya Kota Pekanbaru. Budayawan Riau Al Azhar menegaskan, banyak sekali rumah panggung yang nyaris terbiarkan bahkan rubuh karena lapuk. Hanya ada beberapa rumah yang dapat mempertahankan bentuknya yang asli. Terlebih lagi, rumah panggung tersebut bila usia bangunannya sudah lebih dari 50 tahun ke atas, dapat diajukan sebagai benda cagar budaya (BCB).

Proses pengajuan tersebut bisa dilakukan oleh pihak pemerintah, LSM bahkan dari pemilik rumah. "Tentu saja perlu dan seharusnya diajukan sebagai BCB. Tetapi tentu saja harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, misalnya minimal usia bangunannya sudah melewati 50 tahun," jelas Al Azhar, Kamis (21/11).

Al Azhar yang juga merupakan Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau tersebut menegaskan, sebenarnya kota yang baik itu adalah sebuah kota yang bisa mengisahkan sejarahnya sendiri. Dalam artian, banyak ruang di mana ketika orang-orang hendak mengetahui sejarah sebuah kota, terlukiskan dari benda-benda budaya yang terjaga dengan baik.

"Nah, di Pekanbaru hal itulah yang tak tampak. Justru semacam ada upaya mengaburkan sejarah-sejarah yang ada. Kalau tidak, seperti ada proses membiarkannya," ucap beliau. Al-Azhar mengemukakan, BCB itu ada yang dimiliki oleh dunia yang disebut warisan dunia, warisan nasional dan daerah.


Namun demikian, untuk pengusulan tersebut tentulah melewati berbagai ketentuan. Misalnya ada proses pendataan, identifikasi dan lain sebagainya sehingga barulah kemudian oleh tim tertentu mengesahkan sesuatu itu layak sebagai BCB atau tidak.

Keberadaan rumah panggung itu sendiri menurut Erri Candra Jaya, salah seorang pemilik rumah panggung sudah ada semenjak tahun 1940. Rumah tersebut adalah milik datuknya yang bernama Ibrahim. Diceritakan Erri, datuknya dulu dipercayakan sebagai wedana yang bertugas di Kuala Mandau.

"Jadi rumah ini bagi kami sekeluarga ada warisan pusaka. Biarkanlah bentuknya tetap seperti semula karena selain itu, rumah ini juga tempat kami, keluarga besar berkumpul pada momen tertentu," katanya.

Sumber :
Berita Digital Riau
BACA SELANJUTNYA di - Rumah Panggung di Tepi Sungai Siak Bisa Jadi Cagar Budaya

Senin, 29 Juli 2013

TRAINING KONSERVASI 2013 Bangunan Cagar Budaya

TRAINING KONSERVASI 2013
Bangunan Cagar Budaya Berstruktur
Bata yang Berpotensi untuk Pemanfaatan Kembali


Waktu : 10 – 17 September 2013.
Tempat :
Jakarta – Gombong – Mojokerto – Surabaya
Penyelenggara :
UP Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia mempunyai banyak bangunan cagar budaya yang dapat dianggap sebagai aset properti (building stock) yang dapat dipergunakan kembali secara optimal untuk kepentingan hari ini. Akan tetapi kondisi bangunan itu banyak yang rusak atau kurang pemeliharaan. Untuk dapat menggunakan kembali bangunan itu memerlukan tindakan-tindakan perbaikan agar mencapai standar fungsi dan keselamatan penghuni, kenyamanan secara fisik & emosional (well being) selain sisi historis.

Hanya dengan berbekal pengetahuan yang baik tentang bentuk dan konstruksi lama dari bangunan itu sajalah yang memungkinkan seorang tenaga profesional dapat mengambil keputusan yang tepat untuk melakukan tindakan perbaikan apa yang harus diambil. Dalam kegiatan training ini peserta juga dituntun untuk mengenali dan memahami dengan benar tentang metode dan konstruksi bentuk dan sifat dari berbagai macam bangunan cagar budaya di lokasi yang berbeda-beda karena setiap bangunan bersejarah itu memiliki konteks dan persoalan yang unik. Untuk itu, materi-materi dalam training ini akan diberikan oleh para ahli dan mentor yang berpengalaman lama di lapangan.

Tujuan
Tujuan training ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenaipermasalahan dan solusi teknis mengenai konservasi khusus bangunan tua dengan struktur dan material bata yang berpotensi untuk pemanfaatan kembali (adaptive-reuse) yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Target peserta training ini adalah agar peserta yang terdiri dari arkeolog, arsitek, staff riset dan konservasi yang bekerja di pemerintahan mampu menangani permasalahan konservasi di wilayahnya masing-masing.


Program
MODUL 1 JAKARTA - Kota Tua
Lectures:
Undang-undang dan aspek hukum pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya
oleh Saiful Mujahid, SH
Metodologi konstruksi bangunan berstruktur dinding pemikul bataoleh Han Awal, IAI
Teknologi struktur bata sejak masa purbakala oleh Prof. Mundarjito
Conservation planning and Project Management oleh Bruce Pettman (NSW government architect)
Practical On Site Survey5
Bangunan di Kota Tua
Latihan observasi pengenalan bangunan, menggambar sketsa bangunan, mengidentifikasi dan memetakan kerusakan bangunan dengan metode quick scan, diskusi untuk menginterpretasikan sebab kerusakan.

MODUL 2 GOMBONG - Benteng Van der Wijck
On site
Lectures
Struktur bata pada benteng (sifat,perilaku), macam penelitian dan analisis struktur pada konstruksi bata, retrofitting
oleh Dipl. Ing. Josia Rastandi
Typical damage and repair technic of brickmasonry buildingoleh Joy Singh (NSW government architect)
Practical On Site Survey Benteng Van der Wijck

MODUL 3 - MOJOKERTO

On site
Lecture Trowulan, Mojokerto
Tekno
Arkeologi Bangunan Bata di berbagai propinsi di Indonesia oleh Ismiyono
Metode
teknis pelaksanan dan pengawasan konservasi bangunan bata religius di Bali oleh Widyana Sudibya, IAI
Reporting
Peserta training akan membuat report/laporan sebagai hasil rekapitulasi materi, pengetahuan yang telah dipelajarinya serta pandangannya terhadap isu konservasi bangunan bata di masa depan di akhir kegiatan training.

Pendanaan
Seluruh biaya akomodasi dan perjalanan peserta selama kegiatan training ini berlangsung ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyelenggara.
Persyaratan Peserta
- Usia dibawah 40 tahun, minimal S1.
- Pegawai profesional yang bekerja sebagai staff arsitek, arkeolog,sipil, atau pengambil kebijakan di instansi pemerintah yang menangani pemugaran seperti Pemrov DKI Jakarta, Dinas PU, P2B, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bappeda, Dinas Perumahan, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, PPLHD, DTR, Museum, Sudin, Kantor Walikota dan lain-lain.
- Bersedia untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dan perjalanan training baik dari awal hingga akhir, mulai di Jakarta hingga berakhir di Surabaya.

Prosedur Pendaftaran
Calon peserta yang hendak mengikuti training ini harus mendaftar dengan mengirimkan dokumen :
- Formulir pendaftaran
- Laporan singkat yang berisiresume tentang latar belakang motivasinya mengikuti training ini, pekerjaan konservasi di wilayahnya masing-masing dan kesulitan-kesulitan yang ditemuinya, atau ketertarikannya pada bangunan cagar budaya, maksimal 3 lembar halaman.
- Surat pernyataan kesediaan untuk mengikuti seluruh kegiatan dan perjalanan selama training (bermaterai)

Dokumen harus dikirim paling lambat Rabu, 21 Agustus 2013 ke alamat email trainingbata2013@gmail.com atau ke alamat sekretariat di bawah. Tim seleksi training akan memilih 25 peserta berdasarkan laporan/report yang telah dikirmkan. Calon peserta yang lulus seleksi akan diumumkan pada Senin, 26 Agustus 2013 lewat email dan atau telepon.

Sekretariat Training Pelestarian
Unit Pelaksana Balai Konservasi
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemprov DKI Jakarta
Jl. Pintu Besar Utara no 12. Kotatua Jakarta 11110
Telp. (021) 6918843 Fax.(021) 6928017

Ikatan Arsitek Indonesia
Gedung JDC Lt 7
Email : trainingbata2013@gmail.com

Gambar :
http://instagram.com/attayaya#
BACA SELANJUTNYA di - TRAINING KONSERVASI 2013 Bangunan Cagar Budaya

Senin, 06 Mei 2013

ARKEOLOGI PUBLIK

ARKEOLOGI PUBLIK

MUNDARDJITO menganggap Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia kurang gencar melakukan advokasi untuk melindungi situs-situs arkeologi yang terancam penjarahan ataupun perusakan. Ia ingin mengembangkan public archeology, gerakan masyarakat untuk melestarikan cagar budaya.
*****

Usianya sudah mendekati kepala delapan, tapi Mundardjito masih penuh semangat dalam menjaga serta merawat benda dan situs cagar budaya. Ia satu dari sedikit arkeolog yang berani mengambil risiko. Ia tak peduli harus berhadapan dengan menteri ataupun bupati.

Ia menganggap Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia kurang gencar melakukan advokasi untuk melindungi situs-situs arkeologi yang terancam penjarahan ataupun perusakan. Ia ingin mengembangkan public archeology, gerakan masyarakat untuk melestarikan cagar budaya.

Baginya, di antara kepentingan pembangunan fisik dan pembangunan budaya, arkeologi harus muncul sebagai manajemen yang pandai meresolusi konflik.
“Saya seperti berjuang sendiri berhadapan dengan Menteri. Saya di-exile-kan, orang-orang di fakultas saya tidak ada yang berani. Mereka tidak mau menganggap ini urusan arkeologi, tapi ini masalah Mundardjito.”





“Saya jelaskan semua salah pemerintah. Bahwa mereka tidak taat asas”.

Hasil pengawasan oleh Panitia Ad Hoc III DPD menemukan bahwa pemerintah melanggal Pasal 15 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Rekomendasi dari Panitia Ad Hoc antara lain menghentikan pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit) dan segera melakukan rehabilitasi secara menyeluruh dan maksimal terhadap kerusakan situs Trowulan Majapahit.

Setelah mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, akhirnya Menteri Jero Wacik mengumumkan penghentian proyek pembangunan Taman Majapahit itu. Lalu Menteri bertanya sekarang ini bahaimana. Saya bilang, yang sudah dibuka itu diamankan dulu. “Ya sudah, kamu saja yang jadi ketuanya. Siapa lagi yang mengerti tentang Trowulan,” kata Menteri. Ketika ditunjuk menjadi Ketua Tim Evaluasi dan Perencanaan Ulang Taman Majapahit itu, saya setuju tapi mengajukan syarat. Pertama, saya bebas membentuk tim sendiri tanpa diganggu. Kedua, sisa uang yang ada akan digunakan untuk perbaikan. Ketiga, saya minta Kepala Suaka atau Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala I Made Kusumajaya yang mengerjakan pemugaran dikeluarkan. Menteri bertanya kenapa. Saya bilang, Bapak bayangin kalau bekerja di tempat yang ada malingnya. Enak gak?

Akhirnya tim bekerja. Yang pertama dilakukan adalah menyelamatkan bukaan bekas fondasi itu. Saya melibatkan arsitek untuk membangun penutup berupa bangunan yang ringan. Saya adakan sayembara, pemenangnya Yori Antar. Dia mendesain bangunan ringan seperti laba-laba. Kakinya kecil, atapnya dari kanvas. Sekarang bari tiga yang sudah ditutup dari 14 titik tiang pancang fondasi yang sudah digali.

Tulisan ARKEOLOGI PUBLIK diatas memang terpotong-potong. Mau baca selengkapnya ada di Tempo 1-7 April hal 40 dst.
BACA SELANJUTNYA di - ARKEOLOGI PUBLIK

Sabtu, 27 April 2013

Riau Heritage Siap Menjaga Benda Pusaka Melayu

Riau Heritage Siap Menjaga Benda Pusaka Melayu

Apa istimewanya bulan April? Sebagian orang yang menganut emansipasi tentu tahu bahwa di bulan April ada Hari Kartini, yaitu setiap 21 April. Yupz, betul sekali. Kartini dengan surat-suratnya telah mewariskan sebuah semangat untuk kaum wanita Indonesia. Semangat emansipasi. Warisan itu menjadi pusaka budaya bagi masyarakat Indonesia dan selalu dijaga dalam bentuk gaya hidup.

Omong-omong soal warisan pusaka budaya, ada dua klasifikasinya. Pertama, adalah pusaka budaya intangible, tidak ketara atau bersifat tidak terlihat. Itulah sifat dan kepribadian. Emansipasi adalah salah satu contohnya. Kedua, adalah tangible, ketara atau terlihat. Itulah benda-benda pusaka. Warisan budaya tengible ini disebut juga dengan warisan bendawi. Pusaka jenis ini sangat rentan terhadap perubahan waktu, rapuh, mudah hilang dan rusak. Dan, tidak umum bagi kita memperingati tentang berdirinya sebuah situs budaya atau pusaka bendawi setiap tahun. Iya, bukan?

Namun, ternyata bulan April menyimpan keistimewaan lainnya. Selain ada peringatan tentang pusaka intangible. Di bulan ini, masyarakat dunia juga merayakan Hari Pusaka Dunia, yaitu setiap 18 April.

Masyarakat Riau tentu saja tidak mau ketinggalan. Seperti kali itu. Ada yang berbeda di Museum Sang Nila Utama, Pekanbaru, Kamis, (18/4) halamannya yang biasa lengang, tampak telah terisi oleh aneka macam rupa foto. Foto-foto tersebut dibingkai dengan pigura hitam dan dipajang dengan teknik khusus dan artistik. Sebagian foto diletakkan di atas ranting-ranting kayu. Kemudian diletakkan di anak tangga museum. Foto-foto itu bagaikan daun bagi ranting yang telah meranggas.

Setelah mencapai teras museum maka kita akan mendapati aneka foto lagi. Namun kali ini dipajang dengan sekat-sekat yang berupa bilik. Uniknya foto yang dipamerkan umumnya adalah tentang benda-benda bersejarah pusaka budaya peninggalan melayu tua, Riau.

Begitulah cara Riau Heritage memperingati hari itu, yaitu Hari Pusaka Dunia (World Heritage Day). Spesialnya lagi karena tahun 2013 ini juga di peringati sebagai Tahun Pusaka Indonesia. Riau Heritage adalah organisasi nirlaba yang peduli pada benda-benda pusaka dan cagar budaya melayu Riau. Organisasi ini menfokuskan diri pada pusaka budaya bendawi atau pusaka yang terlihat maupun pusaka yang bukan bendawi.

Dan, melalui foto-foto tersebut, Riau Heritage menyampaikan kepada kita, masayarakat Riau, terutama generasi muda, “inilah pusaka kita.” Kegiatan tersebut juga didukung oleh berbagai komunitas sepert Sapu Lidi, Blogger Bertuah, Donor buku, RiauMagz.com, Pancang Nibung dan Komunitas Fotografi Pekanbaru.

Keesokan harinya helat serupa juga diselenggarakan di Kantor Surat Kabar Tribun, Jalan Imam Munandar, Harapan Raya, Jumat (19/4). Disana pameran fotografi pusaka melayu ini dilaksanakan hingga malam hari.

Masyarakat Riau juga memiliki mewarisan benda-benda pusaka dari kerajaan-kerajaan melayu tua. Parahnya, benda-benda pusaka tersebut tidak luput dari berbagai ancaman. Misalnya pembangunan. Adakalanya pembangunan yang terjadi dapat menghilangkan situs bersejarah.

Namun masyarakat Riau tidak perlu "terlalu" khawatir lagi. Sebab Riau Heritage siap memperhatikan kelestarian situs cagar budaya melayu Riau untuk masa yang akan datang. Saat ini Riau Heritage telah mengidentifikasikan 44 buah situs pusaka Riau. Hanya saja, diduga 90 persennya berada dalam kondisi terancam. Baik karena alam dan umur bendanya yang sudah tua hingga karena pembangunan.

Bersempena dengan peringatan Hari Pusaka Dunia tersebut, Riau Heritage juga melaunching newsletter yang memberikan informasi tentang benda-benda pusaka dan berbagai kegiatan pelestarian pusaka di Riau, Indonesia dan Internasional. Newsletter tersebut diberi nama On Heritage.

"Kami yang ada di Riau Heritage bukanlah orang-orang yang paling mengerti sejarah atau orang yang paling mengerti budaya," ucap Ketua Yayasan Riau Heritage, Ardiansyah Tanjung dalam pidato penyambutannya. "Kami hanyalah orang-orang yang peduli dan merasa bahwa pusaka-pusaka tersebut harus kita jaga nersama sebagai bukti bahwa Riau pernah berjaya dahulunya."


Saat ini generasi muda Riau banyak yang acuh bahkan tidak tahu dengan benda-benda peninggalan sejarah yang asli milik Riau. Mereka hanya kenal dengan bentuk rumah minimalis, semi mediterania, modern klasik. Tapi ketika ditanya tentang mengapa harus ada ukiran di rumah tradisional melayu Riau, tak seorangpun yang tunjuk jari. Gigit jari, iya!

Hal senada disampaikan oleh Al Azhar, ketua Lembaga Adat Melayu Riau, "Jangan biarkan generasi Riau saat ini tidak mengetahui warisan apa yang mereka miliki," ujarnya ditempat yang sama. Al Azhar juga menyatakan bahwa ancaman yang paling besar terhadap kerusakan atau hilangnya situs budaya adalah pembangunan, baik pembangunan oleh pemerintah maupun swasta.


Tentu saja kita tidak apatis terhadap pembangunan. Namun alangkah suatu kebaikan jika pembangunan juga dilandasi oleh kearifan lokal. Misalnya dengan memahami bahwa ada situs-situs sejarah yang sebaiknya dijaga tetap seperti adanya ia pada mulanya. Selain itu ancaman terhadap pusaka daerah juga berasal dari gaya hidup (life style) masyarakat.

Tahun 2013 ini Riau Heritage mengfokuskan program kerja mereka pada situs-situs budaya yang terdapat di daerah Senapelan dan komplek Candi Muara Takus. Candi ini menyimpan banyak cerita sejarah yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun penangannya yang tidak maksimal membuat keberadaan situs candi yang satu-satunya di Riau ini rentan terhadap kerusakan hingga bisa saja hilang sama sekali. Oleh karena itu, Riau Heritage menggagas pergerakan Lestari Muara Takus.


Seluruh kegiatan dan pergerakan-pergerakan Riau Heritage terbuka bagi masyarakat umum. Siapa saja yang ingin menikmati penggalan-penggalan sejarah Riau melalui benda pusakanya silahkan bergabung dengan organisasi ini. Untuk itu, silahkan kunjungi sekretarian Riau Heritage di Omah Buku, Jalan Nangka, atau join dengan grup RH di facebook https://www.facebook.com/groups/RiauHeritage/ serta akun twitter @RiauHeritage (IS)


BACA SELANJUTNYA di - Riau Heritage Siap Menjaga Benda Pusaka Melayu

Minggu, 21 April 2013

Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera


Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera

KAMPAR

The vast, silent night broods over us and from afar comes the sound of elephants. For a week we have been camping here in the jungle of Moeara Takoes, situated on the Kampar, a river which curves about the equator like the coils of a mighty serpent. It is lonely here, the full moon casts a strange, sinister light over the ruins.

“Toean,” says my servant, softly, “I am afraid.”
“Afraid?” l ask, astonished.
“Yes, when the full moon shines the elephants cross the river and go to the holy temples. Then they gather in a circle around the high tower and fall on their knees as a tribute to the spirit of their dead king, who lies buried there…”

Silent, majestic night; the crickets sing and their voices mingle with the murmuring of the river.

“And why shouldn’t elephants drop on their knees to their dead leader?” I think. You hear such strangle tales here in the East. But come, we are not here to dream but to excavate, and that is hard work. Tomorrow will be another busy day, for the gate which I have just discovered in the north wall encircling the temple buildings must be cleared and measured. And so I spread my sleeping mat on the ground
and lie down…

I drowse for awhile. What a beautiful little log house we have, so near to the bank of the Kampar. A former governor had it built as a lodge for his hunting parties. Last year the elephants played with it and turned it into a ruin! But the new house is stronger and besides… the river sings me gently to sleep…

It is far past midnight when I awaken with a start. Around me stand a group of natives. Midon, my best worker, bends over me. The fold of his white turban sweeps over my face. In his hand he holds a large, oldfashioned musket.

“May the toean pardon me. At first we did not want to awaken you, but now. . “

A muffled roar interrupts him, a sound such as l have never heard, which has the power to make the stoutest heart tremble, the voice of the jungle…

“In the village we heard the trumpeting and roaring of the elephants, they were descending from the misty mountain of Soeligi. They crossed the river, heading straight for the toean’s house. Then we were afraid and remembered that the toean was alone…”

“Go on. Go on,” I interrupt, impatiently. “Where are they now?”

“They are slowly coming nearer. In a quarter of an hour they may be here… We can not escape.”

With an effort I concentrate my thoughts and try to calculate the chances for escape… If we were in the temple court, on top of the highest ruin we would be safe. But how to get there? The distance from the house is about 100 m. If one ran hard… No, impossible. In imagination l already see the elephants running out from the underbrush!

But there is still another possibility. Near the lodge the Kampar has a steep, abruptly descending bank. No elephant would dare to climb over the edge. If we can only reach this bank, we are safe. So said, so done. Stealthily as cats we descend and wait.

A quarter of an hour later the ground begins to tremble and a tremendous racket fills the air. The rumbling of an elephant’s stomach may be heard for miles, but never have we heard it so near at hand. It is loud as a claxon and is caused by the crackling of masses of young leaves and branches which the huge beasts strip from the trees with the greatest enjoyment. Meanwhile they seem to talk and laugh in their hoarse voices, varied by shrill whistles and a trumpet-like blare.

Dear little elephant that I once met in the zoo at Fort de Kock, how often l have fed you with peanuts and lumps of sugar. You told me you had relatives in the jungle of Moeara Takoes, cousins and aunts and an old niece by marriage.

Well, they certainly made a terrific noise that night. All the time they remained playing and walking about the temple grounds and not until morning did they retire into the underbrush.

That morning I shall remember as long as I live. At sunrise, tired and shivering, I climbed up the high river bank and took a look over the forest. I did not meditate long, however, but took my tapes and notebooks and went over to the temple grounds. Come, I would measure the gate.

While I stood writing there came a muffled sound, not far from where l stood. It was as if something heavy had fallen on the grotmd. For a moment l had a vague suspicion, but quietly continued my work. Soon the sound came again, —it was as if someone were gathering firewood… and it must have been a tremendous worker, for suddenly the noise increased.

Instinctively I dropped everything I held in my hands, hurried over to Tjandi Toea, the largest ruin, flew up the steps and crouched behind the central tower. For a moment nothing happened, for a moment deadly silence. Then with a thunderous roar a tree crashed down precisely on the spot where I had just been standing; the whole gate was covered by its branches. At the same time another crash resounded, branches were broken, the underbrush was torn aside. Two huge elephants rushed into the temple court, fighting and screaming, striking each other with their tnighty trunks and then, as suddenly as they had appeared they disappeared again into the woods on the other side.

My heart beat in my throat, for out of the forest now came a third elephant. He remained standing in the sunlight, spread out his great ears. Slowly his trunk swung back and forth, seemed to search for something and then remained still.
Candi Muara Takus De overwoekerde reliektoren van de Moeara Takoes op Sumatra


IMAGE NOT AVAILABLE
The antiquities in Moeara Takoes. 74 K 74 m.

Apparently the animal scented danger; in the distance sounded the voices of workmen approaching. The elephant listened, then walked silently across the temple court. By the great tower he stopped, scratched himself against the wall, looked about for a moment and then wandered pensively into the forest…

At Moeara Takoes, on the right bank of the Kampar Kanan, lies a number of ruins from the 11th and 12th centuries. They formed part of a town, which was entirely surrounded by an earthen wall. The space enclosed measures about 1.25 km. The buildings are encircled by a sandstone wall, measuring 74 X 74 m. In April, 1935, I excavated the brick foundation of a great gate, approximately in the middle of the north wall. Since the surrounding wall is built over this foundation on opposite sides, the latter must be of an earlier date.

Directly opposite the gate, on the south side of the courtyard, stands the best preserved building: the slender, graceful Maligai Stupa. The foundation has the form of a rectangle and measures 9.44 X 10.60 m. Inside, 52 cm behind the outer wall, is an older foundation decorated with pilasters. On the north side ascends a flight of steps, which have been twice rebuilt in the course of time. It is probable that at one time they supported a parapet with two kneeling elephants. Perhaps the gallery also had a low retaining wall.

On the foundation stands a 28-sided pediment, decorated with blocks of yellow sandstone. From this pedestal ascends a round tower. As may be seen from the drawing the body of the stupa rests on a double lotus cushion. Within this flower is an older lotus. The crown of the stupa seems to have been 36-sided; on four sides were placed sitting lions of sandstone. The 36-angled section is followed by a regular octagon above which extends a frieze with 16 lion heads. The dome consisted of a sandstone lotus, which no doubt formerly supported a stupa. In the center of the tower was once a hole, about 2 m deep, in which rested a wooden mast, bearing several sunshades, one above the other. East of the Maligai Stupa lies a rectangular terrace, 5.10 X 5.70m with an extension and a flight of steps on the north side. On the outer wall are pilasters.

West of this stupa lies a similar terrace, called Tjandi Boengsoe. It formerly supported a 20-sided foundation, with a stupa in a wreath of smaller stupas. It recalls the upper terrace of the Boroboedoer.

At the later period this brick terrace was enlarged on the north side by a sandstone stupa. On the east side ascends a flight of steps. On a high, 20-sided base rests a low 36-side base which beats a lotus. ln this lotus was found a hollow, filled with earth and ashes. Among the ashes lay three bits of gold-leaf and a golden plate, engraved with wajras and three letters. At the height of the 20-sided base lay a stone with 9 letters and in the middle of each side a wajra.

Immediately north of Tjandi Boengsoe stands Tjandi Toea, the largest (though not the highest) building of Moeara Takoes. The greatest length is 31.65 rn, the greatest breadth 20.20 m. The ground story shows signs of recanstruction; the processional path has a very irregular breadth. The second terrace is lower, but like the first is decorated with limestone pilasters. On the east and on the west side ascend flights of steps with lions. The stupa proper rests on a 36-sided base. In the lotus only an empty hollow was found.

East of Tjandi Toea I excavated a sandstone foundation measuring 13.20 X 16.60 m, while south of these ruins a foundation 5.75 X 5.75 m came to light.

The temples of Moeara Takoes are probably the graves of royal personages. Malays say that the Hindoo ruler was transformed into an elephant, and for this reason great herds of elephants regularly visit the ruins to do homage to the spirit of their departed ancestor. Close to the temples is a shallow ford, which the animals cross whenever they descend from Mount Soeligi to the plains. It is remarkable that since time immemorial the stupa court has been their favorite play-ground, where they walk about and disport themselves allnight long by the light of the moon.

During the excavations of April, 1955, we were able to verify this strange phenomenon from personal experience. When one considers the antiquity of animal trails in the jungle and the elephant’s extreme conservatism it seems likely that even centuries ago the animals betook themselves to Moerara Takoes, and for this reason the place had an odour of sanctity. The Malays must have considered it a socalled elephants dancing ground, such as are still known in India.

This may also be the reason why the Hindoos built their temples on this particular spot. As long as the city lay here the elephants naturally stayed away, but after its destruction the jungle reclaimed her rights and the Lords of the Wood retrod their ancient paths.

In the year 1003 the king Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) sent two envoys to China to bring tribute; they told that in their country a Buddhist temple had been erected in order to pray for the long life of the emperor, and that they wanted a name and bells for it, by which the emperor would show that he appreciated their good intentions. An edict was issued by which the temple got the name of Cheng tien wan shou (Tjandi Boensoe / Tjandi Boengsoe) and bells were cast to be given to them.

The oldest inhabitants of Moeara Takoes descend from the Princess Poetri Seri Doenia, who came with her family from Pariangan Padang Pandjang (Menangkabau). Her beauty became so famous that a Hindoo ruler asked her hand in marriage. The princess accepted his proposal under condition that he should build a palace for her. This the radja did, and the remains of this palace may still be seen at Moeara Takoes. Then the radja returned to his own country to make preparations for the wedding.

In the meantime a great Batak army marched on the city. A relative of the princess, named Soetan Palembang, wrote a letter to the Hindoo ruler, giving the messenger a basket (gantang) of seed. As numerous as the seeds in the basket, so numerous were the Bataks. The Hindoo ruler, however, did not return.

When the Bataks arrived at Moeara Takoes they found the entire city deserted. Poetri Sri Doenia with her followers had fled into the forest and married a datoe from Menangkabau. She bore a son, whom she called Indo Doenia and to this day there is a place in Moeara Takoes called Galangan lndo Doenia. This youth later became lord of Moeara Takoes and was succeeded by Radja Pamoentjak (Datoe di Balai), known in history during the period when the country was converted to Islam.

Another legend is as follows. One of the last rulers of Moeara Takoes (or Takoei) was named Radja Bitjau. The city was then so large that a cat could wander from roof to roof for three months before reaching the last house. The king had only daughters. When the eldest was about to marry the maharadja of Djohore, all manner of people came to attend the feast and the cockfights.

Among the guests were the brothers Singa Mendjadian and Singa Mendedean, who had just settled in Goenoeng Malelo (upstream) and who had come originally from Rau. Others, however, assert that they came from Palembang. One of them asked for the hand of one of the king’s daughters, but was refused because he had a hideous skin desease.

He now sent his sister’s child (kamanakan) with a basket of grain and his own head kerchief to his brother, Singa Merdekeh, radja of Koeamang (Panti) and asked him to send as many soldiers as there were grains in the basket. The Bataks now came with a huge arme and attacked Moeara Takoes. In this battle the last radja, Pandjang Djoengoer, lost his life.

At Batoe Besoerat the Bataks threw a calligraphed stone into the river and said, “When this stone appears again above the water we, too shall return”.

At Pamatang Gadang, however, they met with resistance. Here great trees were piled up and hurled down upon them. Many corpses were crowded into the stream and their terrible stench gave it the name Soengei Siboesoek. From here the bodies came into the Kampar and floated past the place which henceforth was called Bangkai-inang or Bangkinang (Batak for corpse). The name “inang”, meaning “mother”, was used for Batak, because when frightened or surprised they always exclaim, “inang”.

it is told that in ancient times there was an underground stream, connecting the Kampar Kanan with the Kampar Kiri. The legend tells of a certain Indo Chatib from the soekoe Bondang, who once went fishing in the neighbourhood of Koto Ajer Tiris. He pursued a fish which had hidden in a hollow in the river bank. But lndo Chatib kept a firm grasp on the line by which the fish was caught and so could easily follow the fugitive. At last he arrived at the Kampar Kiri.

A more credible tale relates that formerly there was a stalactite cave near the village Batoe Balah. The water which trickled down formed a stream, which flowed underground to Goenoeng Sahilan.

Moeara Takoes was formerly called Si Djangkang (a plant) or Telago Oendang. The name is said to be derived from Takoet, the name of a tributary of the Kampar, so called because at this place the people began to fear the lords of Moeara Takoes (takoet = fear).

This kingdom once ruled over all the surrounding country, and the recollection of this fact has not yet faded. To this day the ruler of Rokan must make a pilgrimage to Moeara Takoes before his coronation to have his head annointed with lemon juice. And on the Queen’s birthday, when all the panghoeloes in Bangkinang come to pay their respects to the Controleur, the panghoeloe of Moeara Takoes leads the procession, under a golden umbrella.

East of the temple buildings is the stream Ampamo, so called because the water is red as gold. Farther east lies the Boekit Katangta.

It is glorious to bathe here in the Kampar. The water streams over broad slate banks. One simply sits down and allows the cool water to roll over one’s body. The high bank consists of red-brown and silver grey cliffs, soft as cake, in which grow numerous graceful ferns. Squirrels, with amusing, upturned wooly tails, frisk about in the underbrush, looking with mischievous eyes at the intruder.

At sunset the natives stand praying on the little promontory, the women entirely shrouded in white and purple veils. Countless prayers have been uttered on these banks in the course of the centuries. The evening wind is full of whispers, the dark river full of shadows. Gently they glide to the vast ocean. Night falls over the Kampar. In the endless jungle stands a lonely stupa…

By full moon a great natural phenomenon takes place in the Kampar. A mighty tidal wave rolls in 60 to 70 km from the sea, destroying everything that lies in its path. A boiling, roaring wall of water six feet high is seen approaching, which crashes against the bank with a noise like thunder, dragging whole trees into its seething whirlpool. How this bono originates is not known. It also occurs in the Rokan, but is not so high not so dangerous as in the Kampar.

Formerly there lived at the mouth of the Kampar a tribe called Singo Bono. Near Tandjoeng Semajang is a holy place, where many people come to pray. When the bono approaches there appears on the river a mysterious boat, rowed by invisible hands. The appearance of this spirit ship brings good fortune to the entire oountry.

In ancient times there lived a great chief at Kampar, who had a lovely daughter. Her bosom was, however, half female, half male. Many men asked for her hand but in vain. The girl’s only friend was a dog. One day she became a mother and bore seven pups. Her father was overcome with shame and threw the animals into the river.

But every time there is a bono the dogs can be seen returning, to seek their mother. They leap and growl and destroy everything in their way. But always they become exhausted and return again to the sea.

It is also related that the bono is caused by seven wild horses, which come up the river in a herd. Once a chief shot at them and the bono stayed away four times. But the man became terribly ill and could never walk again. We mortals must be careful…

At Koto Toeo, near Moeara Takoes, a number of golden relics have been preserved, of which the following legend is told. Datoe Djalo Mangkoeto once dreamed that he would obtain gold if he gave the emas the blood of a white karbau. Then he made a black karbau white with rice flour and slaughtered it, upon which the indoek emas emerged from the river in the form of a tortoise. The datoe bound him to the pillar of his house. But when the tortoise heard that he had been deceived with a whitened karbau he tore himself loose. A slave took away his shield. Then the animal went to the slave’s mother to beg for his lost shield. She restored it to him and now he gave the gold to the mother who bought the freedom of her son from Datoe Djalo Mangkoeto.

In bygone days there was a man from Djambi, who sailed up the Rokan, and in the land of Rokan he ended his journey and remained for several months. His name was Pendek Alang Berkokok. He liked only easy work, if there was a beautiful woman in the village he made a conquest of her and every day he made a new quarrel. The Radja of Rokan wanted to drive him away or kill him and looked for someone in his own land bold enough to accomplish this deed.

Now in Tandjoeng (Kampar) there was a brave man named Datoek Rangsang Kampar (D. nan Gadang Tjintjin), and Datoek Pedoeko Sangsamo was sent to bring him.

They met in the mountains between the negeris Pendalian and Sibiroeang; there the dogs barked at each other.

Sangsamo said that he was on his way to find Tjintjin. The latter, not wishing to betray himself, said that in 7 days he would bring Tjintjin to Rokan.

Then Sangsamo said, “Where our dogs barked just now is the boundary between Kampar and the loeak Rokan,” and to this day the mountain range is called Boekit Kalaran Andjing.

Tjintjin returned to Tandjoeng, called his son, Si Djoeang Pahlawan, and 6 days later went with him to Rokan. There he promised to help the ruler, after which he and his son found Berkokok and killed him.

Now Tjintjin wanted as a reward something to which there would be no end. This wish caused great consternation in Rokan.

The Radja sent out messengers. One of them came to Pendalian and there he found a child which he brought to Rokan. The child said, “Let this be the reward, that Rokan and Tandjoeng be united”. And so it was.

Moeara Takoes – Candi Muara Takus The Forgotten Kingdoms in Sumatera
BACA SELANJUTNYA di - Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera

Jumat, 12 April 2013

Hari Pusaka Sedunia 2013

Hari Pusaka Sedunia 2013 atau International Day for Monuments and Sites di mulai oleh International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) pada 18 April 1982 yang kemudian disetujui oleh UNESCO di tahun 1983, Sehingga tanggal 18 April ditetapkan sebagai Hari Pusaka Sedunia 2013 atau International Day for Monuments and Sites. Hari yang ditetapkan ini bertujuan untuk mempromosikan kesadaran tentang keberagaman budaya dan kemanusiaan, kerentanan dan usaha-usaha untuk melindunginya.

Telah 2 dasawarsa kegiatan ini berlangsung, di Indonesia disebut Tahun Pusaka Indonesia atau Indonesia Heritage Year dan tahun ini bertema ”Pusaka untuk Kesejahteraan Rakyat”. Demikian juga di Pekanbaru yang memiliki beberapa orang yang peduli dengan pusaka Pekanbaru maupun pusaka Riau secara keseluruhan. Terkumpul dalam wadah Yayasan Riau Heritage akan mengadakan kegiatan penyelamatan warisan budaya Riau, salah satunya Candi Muara Takus.

Sasaran kegiatan ini adalah untuk memperingati Hari Pusaka Dunia tahun ini terutama bagi anak-anak dan remaja agar mereka semakin memahami pentingnya melestarikan Candi Muara Takus sebagai sumber daya budaya. Selain itu mereka juga diberi pemahaman tentang pentingnya Warisan Budaya sehingga mereka dapat mengenal sejarah daerah dan bangsanya dengan lebih baik.

Kegiatan ini dimulai dengan penyebaran informasi pada tanggal 14 April 2013 berlokasi di Car Free Day (CFD) Jalan Diponegoro dan Jalan Gajah Mada Pekanbaru dengan memberikan bunga, pembatas buku, stiker, dan bahan informasi lain kepada pengunjung CFD. Kegiatan di CFD ini didukung oleh Komunitas Sapulidi, Komunitas Blogger Bertuah Pekanbaru, Komunitas Pancang Nibung, dan lain-lain.

Kemudian akan dilanjutkan pada tanggal 18 April 2013 yang bertepatan dengan Hari Pusaka Dunia dengan menggelar pameran photo dan seminar yang akan dilaksanakan di Taman Budaya Provinsi Riau Jalan Jendral Sudirman Pekanbaru mulai jam 08.00 sampai dengan selesai.



Candi Muara Takus dijadikan ikon untuk kegiatan ini karena beberapa waktu lalu disinyalir kuat telah terjadi pengrusakan yang dilakukan oleh BP3S Batusangkar yang tidak melaksanakan perawatan Benda Cagar Budaya sesuai dengan prosedur yang berlaku. Dikhawatirkan akan terjadi penipisan pada batu bata penyusun struktur bangunan candi.

Diharapkan dengan diadakannya kegiatan Hari Pusaka Dunia, semua warga Riau dapat melestarikan warisan budaya Riau sehingga tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas.

Informasi lebih lanjut dapat menghubungi :
Dedi 081268123044

BACA SELANJUTNYA di - Hari Pusaka Sedunia 2013

Sabtu, 06 April 2013

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera merupakan tulisan dari F.M. Schnitger, Ph.D peneliti dari Belanda yang berkeliling Sumatera sekitar tahun 1930-an. Salah satu bagian tulisannya adalah berjudul "KAMPAR" yang menceritakan tentang aktifitasnya di Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes).

This book gives a few sidelights on the wilderness of Sumatra, with its attractive people and remarkable animals, with its ancient, vanished civilizations and forgotten kingdoms, the tragic ruins of which lie burled in the jungle.

Tulisannya dimulai dengan kejadian langsung atas diri Schnitger dan beberapa pekerjanya saat kedatangan gajah dalam jumlah banyak. Saat itu Schnitger berada di rumah kayu sebagai tempat kerjanya untuk meneliti Candi Muara Takus.

Gajah-gajah itu datang dengan cepat kemudian mengelilingi komplek candi bagaikan sebuah ritual wajib, menggesekkan badannya ke candi yang tertinggi. Ritual berikutnya adalah memandang candi itu dengan seksama dan kemudian gajah-gajah itu berlutut sebagai penghormatan kepada raja mereka yang telah tiada dan dikebumikan di sana.

Schnitger melakukan penelitian di Candi Muara Takus atas biaya dari Royal Netherlands Geographical Society yang diketuai saat itu oleh Prof. J. P. Kleiweg de Zwaan. Penelitian Schnitger ini juga mencakup penelitian ke Nias, Batak, Jambi dan Palembang.

Candi Muara Takus - Kerajaan yang Terlupakan
Schnitger melakukan penelitian dengan cara menggali dan membersihkan sebagian areal kawasan candi. Dia memperkirakan bahwa Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes) didirikan pada abad ke 11 dan abad ke 12 Masehi. Candi ini dibangun dengan dikelilingi oleh dinding sebagai bagian dari sebuah kota yang memiliki luas 1,25 km.

Bangunan candi dikelilingi pagar berukuran 74x74 meter yang terbuat dari batu. Pada bulan April 1935, Schnitger menggali pondasi batu di tengah gerbang utama yang menghadap utara. Berhadapan langsung dengan gerbang terdapat sebuah bangunan megah yang disebut Mahligai Stupa (Maligai Stupa) yang berukuran 9,44 x 10,60 m.

Penelitian Schnitger sangat luas dan diketahui bahwa di tahun 1003 Masehi, Raja Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) mengirim utusan ke China sambil membawa tanda kehormatan dan pemberitahuan bahwa di daerah raja tersebut telah didirikan sebuah candi Budha untuk persembahan dan tempat sembahyang agar kerajaan tetap selalu jaya. Raja itu melalui utusannya meminta agar bangunan candi itu diberi nama dan juga meminta sebuah lonceng yang akan dipasang di candi tersebut. Diketahui kemudian bahwa candai tersebut diberi nama Cheng Tien Wan Shou (Tjandi Boensoe atau Tjandi Boengsoe).

Schnitger juga menulis tentang kisah Poetri Doenia yang memiliki seorang anak bernama Indo Doenia. Bahkan penjelasan tentang kejadian ombak Bono Kampar dan sejarah terjadinya 7 hantu ombak Bono pun disampaikannya. Paragraf terakhir dari tulisan Schnitger pada bagian "Kampar" ditutup dengan penjelasan tentang penyatuan Rokan dan Tanjung (Tandjoeng).

The Forgotten Kingdom In Sumatera
F.M. Schnitger, Ph.D
1939
BACA SELANJUTNYA di - Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera

Jumat, 05 April 2013

Mengenal Candi Muara Takus

Candi Muara Takus berlokasi tepatnya di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar di Provinsi Riau. Jarak lokasi tersebut dari Kota Pekanbaru sebagai Ibukota Provinsi Riau, sekitar 128 km. Perjalanan menuju ke lokasi Desa Muara Takus hanya bisa ditempuh melalui jalan darat, yakni dari Pekanbaru menuju ke arah Bukittinggi sampai didaerah Muara Mahat. Dari Muara Mahat tersebut, kita akan melalui sebuah jalan kecil menuju ke lokasi Desa Muara Takus.

Nama Muara Takus menurut sejarahnya terdiri dari dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus. Anak sungai kecil tersebut langsung bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pada pendapat yang lain, Takus dianggap berasal dari bahasa Cina yang artinya candi tua. Jadi Muara Takus diartikan sebagai candi tua yang berada di muara sungai.

Candi Muara Takus adalah candi Buddha. Hal ini ditandai terlihat dari adanya stupa, sebagai lambang Buddha Gautama. Ada juga yang berpendapat bahwa candi tersebut merupakan bentuk campuran dari candi Buddha dan Siwa. Pendapat ini didasarkan atas bentuk bentuk Candi Mahligai sebagai salah satu dari bangunan di kompleks Candi Muara takus. Candi Mahligai menyerupai bentuk lingga yakni kelamin laki-laki dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi tersebut juga mempunyai banyak kemiripan dengan arsitektur dari candi-candi yang ada di Myanmar.

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus sendiri merupakan sebuah bangunan kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bangunan yang utama yang disebut Candi Tuo. Candi ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan paling besar di antara bangunan lain yang ada. Letaknya di bagian sebelah utara dari Candi Bungsu. Pada sisi bagian sebelah timur dan barat terdapat tangga. Diperkirakan pada bangunan aslinya, tangga ini dihiasi stupa, sementara pada bagian bawah tangga dihiasi dengan patung singa dalam posisi duduk. Bagian bangunan ini memiliki sisi 36 buah dan terdiri atas bagian kaki I, kaki II, tubuh serta puncak. Pada tahun anggaran 1992/1993 pemugaran bangunan dilakukan pada bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan secara keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57 m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.

2. Bangunan kedua berbentuk Candi Mahligai. Bangunan tersebut berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke bagian puncak 14,30 m berdiri di atas pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus (yoni).

3. Bangunan ketiga adalah Candi Palangka, terletak 3,85 m sebelah timur dari Candi Mahligai. Bangunan tersebut terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka adalah candi terkecil, relung-relung penyusunan batu tidaklah sama dengan dinding Candi Mahligai. Candi Palangka mulai dipugar pada 1987 dan selesai pada 1989. Pemugaran dilakukan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi, hal ini karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada 1860 sudah tak ada lagi. Sementara di bagian sebelah utara terdapat bangunan tangga yang telah rusak. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m, serta tingginya 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,9 m3.

4. Bangunan yang keempat dinamakan Candi Bungsu. Bangunan ini terletak di sebelah barat dari Candi Mahligai. Candi ini terbuat dari dua jenis batu, yakni batu pasir (tuff) pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat di bagian belakang. Pemugaran candi dimulai pada 1988 dan selesai pada 1990. Melalui pemugaran, candi ini dikembalikan pada bentuk aslinya, yakni empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28 m. Tinggi setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volumenya 365,8 m3.

Di samping bangunan-bangunan candi di atas, pada bagian sebelah utara dari komplek Candi Muara Takus terdapat onggokan tanah yang memiliki dua lobang. Tempat tersebut diprediksi sebagai tempat pembakaran jenazah.

BACA SELANJUTNYA di - Mengenal Candi Muara Takus