Sabtu, 06 April 2013

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera merupakan tulisan dari F.M. Schnitger, Ph.D peneliti dari Belanda yang berkeliling Sumatera sekitar tahun 1930-an. Salah satu bagian tulisannya adalah berjudul "KAMPAR" yang menceritakan tentang aktifitasnya di Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes).

This book gives a few sidelights on the wilderness of Sumatra, with its attractive people and remarkable animals, with its ancient, vanished civilizations and forgotten kingdoms, the tragic ruins of which lie burled in the jungle.

Tulisannya dimulai dengan kejadian langsung atas diri Schnitger dan beberapa pekerjanya saat kedatangan gajah dalam jumlah banyak. Saat itu Schnitger berada di rumah kayu sebagai tempat kerjanya untuk meneliti Candi Muara Takus.

Gajah-gajah itu datang dengan cepat kemudian mengelilingi komplek candi bagaikan sebuah ritual wajib, menggesekkan badannya ke candi yang tertinggi. Ritual berikutnya adalah memandang candi itu dengan seksama dan kemudian gajah-gajah itu berlutut sebagai penghormatan kepada raja mereka yang telah tiada dan dikebumikan di sana.

Schnitger melakukan penelitian di Candi Muara Takus atas biaya dari Royal Netherlands Geographical Society yang diketuai saat itu oleh Prof. J. P. Kleiweg de Zwaan. Penelitian Schnitger ini juga mencakup penelitian ke Nias, Batak, Jambi dan Palembang.

Candi Muara Takus - Kerajaan yang Terlupakan
Schnitger melakukan penelitian dengan cara menggali dan membersihkan sebagian areal kawasan candi. Dia memperkirakan bahwa Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes) didirikan pada abad ke 11 dan abad ke 12 Masehi. Candi ini dibangun dengan dikelilingi oleh dinding sebagai bagian dari sebuah kota yang memiliki luas 1,25 km.

Bangunan candi dikelilingi pagar berukuran 74x74 meter yang terbuat dari batu. Pada bulan April 1935, Schnitger menggali pondasi batu di tengah gerbang utama yang menghadap utara. Berhadapan langsung dengan gerbang terdapat sebuah bangunan megah yang disebut Mahligai Stupa (Maligai Stupa) yang berukuran 9,44 x 10,60 m.

Penelitian Schnitger sangat luas dan diketahui bahwa di tahun 1003 Masehi, Raja Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) mengirim utusan ke China sambil membawa tanda kehormatan dan pemberitahuan bahwa di daerah raja tersebut telah didirikan sebuah candi Budha untuk persembahan dan tempat sembahyang agar kerajaan tetap selalu jaya. Raja itu melalui utusannya meminta agar bangunan candi itu diberi nama dan juga meminta sebuah lonceng yang akan dipasang di candi tersebut. Diketahui kemudian bahwa candai tersebut diberi nama Cheng Tien Wan Shou (Tjandi Boensoe atau Tjandi Boengsoe).

Schnitger juga menulis tentang kisah Poetri Doenia yang memiliki seorang anak bernama Indo Doenia. Bahkan penjelasan tentang kejadian ombak Bono Kampar dan sejarah terjadinya 7 hantu ombak Bono pun disampaikannya. Paragraf terakhir dari tulisan Schnitger pada bagian "Kampar" ditutup dengan penjelasan tentang penyatuan Rokan dan Tanjung (Tandjoeng).

The Forgotten Kingdom In Sumatera
F.M. Schnitger, Ph.D
1939