Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengetahuan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 25 Februari 2014

Desa Adat, Kebakaran Hutan dan Asap Riau @DediAriandi1 dan Al Azhar


Cagar Biosfer Giam Siak Kecil - Bukit Batu (GSK-BB)
milik Pojok Photo cc: Bang Fiko dan @RiauMagz

Diskusi @DediAriandi1 dan Al Azhar tentang Desa Adat, Kebakaran Hutan dan Asap Riau

1. Seperti banyak UU di Indonesia, UU Desa Adat juga belum memiliki Peraturan Pemerintah dan Petunjuk teknis #asapriau

2. Menurut UU tersebut, yang masuk ktgr Desa Adat, memiliki struktur pemerintahan adat, teritori dan hukum adat yang masih berlaku #asapriau

3. Jadi kondisinya adalah masih ada dan sebagian masih berlaku. #asapriau

4. Melihat kategori Desa Adat sesuai UU, di Riau banyak daerah yg memiliki potensi utk menerapkan UU ini #asapriau

5. Yg harus sgr dilakukan, pemetaan kawasan yg memiliki potensi menjadi Desa Adat, terutama di kawasan2 yg mayoritas org Melayu #asapriau

6. Bukan desa2 yg terbentuk dari program transmigrasi tentunya #asapriau

7. Yg telah memulai adalah Batu Rijal di Indragiri Hulu, dengan sistem adat Tiga Lorong #asapriau

8. Yg kawasan Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Kunto Darusalam dan Rokan IV Koto di Rokan Hulu dg sistem adat Lima Luhak #asapriau

9. Palalawan juga dengan sistem adat Pebatinan yang mencakup 29 Pebatinan #asapriau

10. Pebatinan adalah sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang batin #asapriau

11. Begitu juga Kuansing dan Siak yang memiliki potensi untuk penerapan desa adat #asapriau

12. Dalam hukum adat, ada peraturan dalam pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertanian #asapriau

13. a. Masyarakat adat tidak akan membuka lahan di kawasan gambut #asapriau

14. b. Lendang/seladangan adalah lahan yang dibersihkan dari material yg mudah terbakar yang harus dibuat sebelum membuka lahan #asapriau

15. Lendang/seladangan akan memisahkan hutan dengan lahan yang akan dibuka dengan sistem dibakar #asapriau

16. c. Pembakaran lahan dilakukan pada ujung musim kemarau. Sktr 2-3 minggu sebelum masuk musim penghujan #asapriau

17. Logikanya, sesudah lahan dibuka, bibit yang ditanam memerlukan air yang cukup untuk tumbuh #asapriau

18. d. Waktu menunggu hujan digunakan untuk "memerun", membersihkan kayu sisa2 pmbkrn dgn mengonggokn #asapriau

19. e. Pohon berdiameter 4-10 cm tidak dibakar, yang akan digunakan untuk "kalang" (pembatas) #asapriau

20. Selain untuk kalang yang membatasi jenis tanaman, juga utk membuat pondok, kandang, "junjung" (kayu untuk tanaman jalar) #asapriau

21. f. Lahan dibakar untuk menyuburkan tanah akibat abu2 hasil bakaran kayu sekaligus memperlambat tumbuhnya rumput liar #asapriau

22. g. Ketika membakar lahan, ada praktek2 "transenden" seperti membaca arah angin. #asapriau

23. h. Membakar lahan tidak dilakukan sendiri2 tetapi bersamaan dalam satu "banjar" (kawasan perladangan) #asapriau

24. Satu banjar biasanya dimiliki oleh beberapa pemilik yang terbagi dari kavling2 #asapriau

25. Maka membaca arah angin sgt penting, agar kegiatan kegiatan pembukaan lahan menjadi efektif utk satu banjar #asapriau

@riauheritage @raiumagz @RiauInfo @pekanwak @infoPKU bantu sebarin kultwit diskusi dg pak Al Azhar ttng Desa Adat dan Asap di Riau #asapriau

@PromoRiau @riaumagz @RiauInfoCom bantu sebarin kultwit diskusi dg pak Al Azhar ttng Desa Adat dan Asap di Riau, bisa titip tanya #asapriau

26. Istirahat dulu ya, pak Al Azhar ada tamu dadakan, sesepuh dan tokoh masyarakat Riau. jadi yg punya pertanyaan boleh titip nih #asapriau

27. Dgn aturan2 adat sprt td hrsnya bencana asap tdk akan melanda Riau #asapriau

28. Dan salah satu kebijakan/ petuah dalam hukum adat adalah "Jangan dihabiskan". Satu kalimat yg memiliki makna sgt luas #asapriau

29. Saat ini ada 3 klmpk msyrkt yg berkpntngan dgn lahan. Baik hutan maupun non. #asapriau

30. Klmpk pertama, msyrkt bisnis yg berkumpul dlm perusahaan2, dgn aturan2 bisnisnya yg diatur oleh pemerintah #asapriau

31. Kedua, klmpk msyrtk Adat, yg bukan hanya mematuhi aturan2 pmrnth tetapi jg aturan2 Adat #asapriau

32. Ke3, klmpk perantau, yg membawa mimpi dan harapan2 mereka utk memperbaiki kesejahteraan ekonomi mrk #asapriau

33. Sejauh ini msh blm teridentifikasi dgn pasti, dari 3 klmpk trsbt, mana yg menggunakan lahan gambut dan main bakar tnp aturan #asapriau

34. Klmpk bisnis juga tdk selalu mengikuti aturan bisnis, saat ini ada 1 prshn Malaysia yg sdg mnjlani proses hukum di Palalawan #asapriau

35. cek http://t.co/P0RuzwLbHj, ttng PT Adey Plantation #asapriau

36. Saat ini jg blm ada teknologi alternatif pnggnti sistem "bakar" u buka lahan yg bisa digunakan klmpk msykt adat juga perantau #asapriau

37. Sebagian penelitian mengajukan penggantian mata pencaharian #asapriau

38. Tapi mengubah budaya itu bkn hal yg mudah, dan kebun sawit msh mnjd "sumber emas" yang mnjanjikan #asapriau

39. Solusi jangka pendek, dgn teknologi alternatif, solusi jangka panjang penggantian mata pencarian #asapriau

40. Jika sistem Desa Adat dapat diterapkan, maka akan ada restorasi hukum adat di kawasan tersebut #asapriau

41. Hukum adat terhadap pembukaan lahan akan ikut pulih #asapriau

42. Dgn pulihnya hukum adat dalm pembukaan lahan, maka "Orang2 Patut" akan mempunyai kewenangan menegakkan adat #asapriau

43. Termasuk dalam menegakkan hukum adat yg berkaitan dgn praktek2 ekonomi diantaranya dalah pembukaan lahan #asapriau

44. Saat ini ada aturan pemerintah pelarangan pembakaran hutan, tetapi aturan itu tidak ditegakkan atau ditegakkan dgn stgh hati #asapriau

45. Inti dari semua persoalan asap adlh menyempitnya lahan akbt pmberiaan hak konsesi penggunaan lahan yg besar2an di Riau #asapriau

46. Hal ini mengakibatkan msyrkt berlomba2 utk mndptkn/menguasai lahan yg tersisa dan mmfungsikan semata2 utk fungsi2 ekonomis #asapriau

47. Hal ini diperparah dg tinggi migrasi k Riau sbsr 3%/tahun dari populasi Riau #asapriau

48. Jika sistem Desa Adat diterapkan, imigran akan didorong untuk masuk ke dalam bingkai aturan adat setempat #asapriau

49. Imigran akan diatur oleh Penghulu Dagang, yg merupakan bagian dari struktur kepemimpinan adat #asapriau

50. Mereka dibawa mengalami praktek "Di Mana Bumi Dipijak Di Situ Langit Dijunjung, Di Mana Air Disauh Di Situ Ranting Dipatahkan" #asapRiau

51. Sehingga ada 2 klmpk msyrkt yg dpt diatur menggunakan hukum adat #asapriau

52. Kita berharap, PP Desa Adat dpt sgr disahkan, sehingga UU Desa Adat dpt sgr diterapkan, melalui Perda Kab/Kota #asapriau

53. LAM Riau, berharap hingga 2015 kita telah memiliki desa adat di setiap kabupaten dan kota #asapriau

54. Sehingga penerapan UU Desa Adat ini bisa menjadi solusi jangka menengah dari masalah #asapriau

55. Solusi jangka pendek lainnya, menerapkan Reward n Punishment kpd desa2 yg ada, yg dilakukan oleh setiap pemerintah kota/kabptn #asapriau

56. Contoh, desa yg melakukan pembkrn lahan tanpa aturan akan mendapt pengurangan biaya pembngunan #asapriau

57. Koreksi, jika ada warga desa yg mlkkn pmbkrn lahan #asapriau

58. Dan sebaliknya, jika ada desa yang dpt mengawal warganya utk tdk mmbkr lahan akan mendpt penmbhn biaya pmbgnn #asapriau

59. Baik sstm R n P maupun PP dari UU Desa Adat bnr2 tergntung dari niat baik pemerintah kita. Fiuh #asapriau

60. Ok tweeps, itu hasil diskusi dgn Ketua hari LAM Riau, pak Al Azhar bgmn penerapan Desa Adat bisa mmbantu penanggulangan asap #asapriau
BACA SELANJUTNYA di - Desa Adat, Kebakaran Hutan dan Asap Riau @DediAriandi1 dan Al Azhar

Senin, 29 Juli 2013

TRAINING KONSERVASI 2013 Bangunan Cagar Budaya

TRAINING KONSERVASI 2013
Bangunan Cagar Budaya Berstruktur
Bata yang Berpotensi untuk Pemanfaatan Kembali


Waktu : 10 – 17 September 2013.
Tempat :
Jakarta – Gombong – Mojokerto – Surabaya
Penyelenggara :
UP Balai Konservasi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemprov DKI Jakarta bekerjasama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)

Latar Belakang
Kota-kota di Indonesia mempunyai banyak bangunan cagar budaya yang dapat dianggap sebagai aset properti (building stock) yang dapat dipergunakan kembali secara optimal untuk kepentingan hari ini. Akan tetapi kondisi bangunan itu banyak yang rusak atau kurang pemeliharaan. Untuk dapat menggunakan kembali bangunan itu memerlukan tindakan-tindakan perbaikan agar mencapai standar fungsi dan keselamatan penghuni, kenyamanan secara fisik & emosional (well being) selain sisi historis.

Hanya dengan berbekal pengetahuan yang baik tentang bentuk dan konstruksi lama dari bangunan itu sajalah yang memungkinkan seorang tenaga profesional dapat mengambil keputusan yang tepat untuk melakukan tindakan perbaikan apa yang harus diambil. Dalam kegiatan training ini peserta juga dituntun untuk mengenali dan memahami dengan benar tentang metode dan konstruksi bentuk dan sifat dari berbagai macam bangunan cagar budaya di lokasi yang berbeda-beda karena setiap bangunan bersejarah itu memiliki konteks dan persoalan yang unik. Untuk itu, materi-materi dalam training ini akan diberikan oleh para ahli dan mentor yang berpengalaman lama di lapangan.

Tujuan
Tujuan training ini adalah untuk memberikan pengetahuan mengenaipermasalahan dan solusi teknis mengenai konservasi khusus bangunan tua dengan struktur dan material bata yang berpotensi untuk pemanfaatan kembali (adaptive-reuse) yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Target peserta training ini adalah agar peserta yang terdiri dari arkeolog, arsitek, staff riset dan konservasi yang bekerja di pemerintahan mampu menangani permasalahan konservasi di wilayahnya masing-masing.


Program
MODUL 1 JAKARTA - Kota Tua
Lectures:
Undang-undang dan aspek hukum pemanfaatan kembali bangunan cagar budaya
oleh Saiful Mujahid, SH
Metodologi konstruksi bangunan berstruktur dinding pemikul bataoleh Han Awal, IAI
Teknologi struktur bata sejak masa purbakala oleh Prof. Mundarjito
Conservation planning and Project Management oleh Bruce Pettman (NSW government architect)
Practical On Site Survey5
Bangunan di Kota Tua
Latihan observasi pengenalan bangunan, menggambar sketsa bangunan, mengidentifikasi dan memetakan kerusakan bangunan dengan metode quick scan, diskusi untuk menginterpretasikan sebab kerusakan.

MODUL 2 GOMBONG - Benteng Van der Wijck
On site
Lectures
Struktur bata pada benteng (sifat,perilaku), macam penelitian dan analisis struktur pada konstruksi bata, retrofitting
oleh Dipl. Ing. Josia Rastandi
Typical damage and repair technic of brickmasonry buildingoleh Joy Singh (NSW government architect)
Practical On Site Survey Benteng Van der Wijck

MODUL 3 - MOJOKERTO

On site
Lecture Trowulan, Mojokerto
Tekno
Arkeologi Bangunan Bata di berbagai propinsi di Indonesia oleh Ismiyono
Metode
teknis pelaksanan dan pengawasan konservasi bangunan bata religius di Bali oleh Widyana Sudibya, IAI
Reporting
Peserta training akan membuat report/laporan sebagai hasil rekapitulasi materi, pengetahuan yang telah dipelajarinya serta pandangannya terhadap isu konservasi bangunan bata di masa depan di akhir kegiatan training.

Pendanaan
Seluruh biaya akomodasi dan perjalanan peserta selama kegiatan training ini berlangsung ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyelenggara.
Persyaratan Peserta
- Usia dibawah 40 tahun, minimal S1.
- Pegawai profesional yang bekerja sebagai staff arsitek, arkeolog,sipil, atau pengambil kebijakan di instansi pemerintah yang menangani pemugaran seperti Pemrov DKI Jakarta, Dinas PU, P2B, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Bappeda, Dinas Perumahan, Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup, PPLHD, DTR, Museum, Sudin, Kantor Walikota dan lain-lain.
- Bersedia untuk mengikuti seluruh rangkaian kegiatan dan perjalanan training baik dari awal hingga akhir, mulai di Jakarta hingga berakhir di Surabaya.

Prosedur Pendaftaran
Calon peserta yang hendak mengikuti training ini harus mendaftar dengan mengirimkan dokumen :
- Formulir pendaftaran
- Laporan singkat yang berisiresume tentang latar belakang motivasinya mengikuti training ini, pekerjaan konservasi di wilayahnya masing-masing dan kesulitan-kesulitan yang ditemuinya, atau ketertarikannya pada bangunan cagar budaya, maksimal 3 lembar halaman.
- Surat pernyataan kesediaan untuk mengikuti seluruh kegiatan dan perjalanan selama training (bermaterai)

Dokumen harus dikirim paling lambat Rabu, 21 Agustus 2013 ke alamat email trainingbata2013@gmail.com atau ke alamat sekretariat di bawah. Tim seleksi training akan memilih 25 peserta berdasarkan laporan/report yang telah dikirmkan. Calon peserta yang lulus seleksi akan diumumkan pada Senin, 26 Agustus 2013 lewat email dan atau telepon.

Sekretariat Training Pelestarian
Unit Pelaksana Balai Konservasi
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Pemprov DKI Jakarta
Jl. Pintu Besar Utara no 12. Kotatua Jakarta 11110
Telp. (021) 6918843 Fax.(021) 6928017

Ikatan Arsitek Indonesia
Gedung JDC Lt 7
Email : trainingbata2013@gmail.com

Gambar :
http://instagram.com/attayaya#
BACA SELANJUTNYA di - TRAINING KONSERVASI 2013 Bangunan Cagar Budaya

Senin, 06 Mei 2013

ARKEOLOGI PUBLIK

ARKEOLOGI PUBLIK

MUNDARDJITO menganggap Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia kurang gencar melakukan advokasi untuk melindungi situs-situs arkeologi yang terancam penjarahan ataupun perusakan. Ia ingin mengembangkan public archeology, gerakan masyarakat untuk melestarikan cagar budaya.
*****

Usianya sudah mendekati kepala delapan, tapi Mundardjito masih penuh semangat dalam menjaga serta merawat benda dan situs cagar budaya. Ia satu dari sedikit arkeolog yang berani mengambil risiko. Ia tak peduli harus berhadapan dengan menteri ataupun bupati.

Ia menganggap Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia kurang gencar melakukan advokasi untuk melindungi situs-situs arkeologi yang terancam penjarahan ataupun perusakan. Ia ingin mengembangkan public archeology, gerakan masyarakat untuk melestarikan cagar budaya.

Baginya, di antara kepentingan pembangunan fisik dan pembangunan budaya, arkeologi harus muncul sebagai manajemen yang pandai meresolusi konflik.
“Saya seperti berjuang sendiri berhadapan dengan Menteri. Saya di-exile-kan, orang-orang di fakultas saya tidak ada yang berani. Mereka tidak mau menganggap ini urusan arkeologi, tapi ini masalah Mundardjito.”





“Saya jelaskan semua salah pemerintah. Bahwa mereka tidak taat asas”.

Hasil pengawasan oleh Panitia Ad Hoc III DPD menemukan bahwa pemerintah melanggal Pasal 15 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Rekomendasi dari Panitia Ad Hoc antara lain menghentikan pembangunan PIM (Pusat Informasi Majapahit) dan segera melakukan rehabilitasi secara menyeluruh dan maksimal terhadap kerusakan situs Trowulan Majapahit.

Setelah mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, akhirnya Menteri Jero Wacik mengumumkan penghentian proyek pembangunan Taman Majapahit itu. Lalu Menteri bertanya sekarang ini bahaimana. Saya bilang, yang sudah dibuka itu diamankan dulu. “Ya sudah, kamu saja yang jadi ketuanya. Siapa lagi yang mengerti tentang Trowulan,” kata Menteri. Ketika ditunjuk menjadi Ketua Tim Evaluasi dan Perencanaan Ulang Taman Majapahit itu, saya setuju tapi mengajukan syarat. Pertama, saya bebas membentuk tim sendiri tanpa diganggu. Kedua, sisa uang yang ada akan digunakan untuk perbaikan. Ketiga, saya minta Kepala Suaka atau Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala I Made Kusumajaya yang mengerjakan pemugaran dikeluarkan. Menteri bertanya kenapa. Saya bilang, Bapak bayangin kalau bekerja di tempat yang ada malingnya. Enak gak?

Akhirnya tim bekerja. Yang pertama dilakukan adalah menyelamatkan bukaan bekas fondasi itu. Saya melibatkan arsitek untuk membangun penutup berupa bangunan yang ringan. Saya adakan sayembara, pemenangnya Yori Antar. Dia mendesain bangunan ringan seperti laba-laba. Kakinya kecil, atapnya dari kanvas. Sekarang bari tiga yang sudah ditutup dari 14 titik tiang pancang fondasi yang sudah digali.

Tulisan ARKEOLOGI PUBLIK diatas memang terpotong-potong. Mau baca selengkapnya ada di Tempo 1-7 April hal 40 dst.
BACA SELANJUTNYA di - ARKEOLOGI PUBLIK

Minggu, 21 April 2013

Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera


Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera

KAMPAR

The vast, silent night broods over us and from afar comes the sound of elephants. For a week we have been camping here in the jungle of Moeara Takoes, situated on the Kampar, a river which curves about the equator like the coils of a mighty serpent. It is lonely here, the full moon casts a strange, sinister light over the ruins.

“Toean,” says my servant, softly, “I am afraid.”
“Afraid?” l ask, astonished.
“Yes, when the full moon shines the elephants cross the river and go to the holy temples. Then they gather in a circle around the high tower and fall on their knees as a tribute to the spirit of their dead king, who lies buried there…”

Silent, majestic night; the crickets sing and their voices mingle with the murmuring of the river.

“And why shouldn’t elephants drop on their knees to their dead leader?” I think. You hear such strangle tales here in the East. But come, we are not here to dream but to excavate, and that is hard work. Tomorrow will be another busy day, for the gate which I have just discovered in the north wall encircling the temple buildings must be cleared and measured. And so I spread my sleeping mat on the ground
and lie down…

I drowse for awhile. What a beautiful little log house we have, so near to the bank of the Kampar. A former governor had it built as a lodge for his hunting parties. Last year the elephants played with it and turned it into a ruin! But the new house is stronger and besides… the river sings me gently to sleep…

It is far past midnight when I awaken with a start. Around me stand a group of natives. Midon, my best worker, bends over me. The fold of his white turban sweeps over my face. In his hand he holds a large, oldfashioned musket.

“May the toean pardon me. At first we did not want to awaken you, but now. . “

A muffled roar interrupts him, a sound such as l have never heard, which has the power to make the stoutest heart tremble, the voice of the jungle…

“In the village we heard the trumpeting and roaring of the elephants, they were descending from the misty mountain of Soeligi. They crossed the river, heading straight for the toean’s house. Then we were afraid and remembered that the toean was alone…”

“Go on. Go on,” I interrupt, impatiently. “Where are they now?”

“They are slowly coming nearer. In a quarter of an hour they may be here… We can not escape.”

With an effort I concentrate my thoughts and try to calculate the chances for escape… If we were in the temple court, on top of the highest ruin we would be safe. But how to get there? The distance from the house is about 100 m. If one ran hard… No, impossible. In imagination l already see the elephants running out from the underbrush!

But there is still another possibility. Near the lodge the Kampar has a steep, abruptly descending bank. No elephant would dare to climb over the edge. If we can only reach this bank, we are safe. So said, so done. Stealthily as cats we descend and wait.

A quarter of an hour later the ground begins to tremble and a tremendous racket fills the air. The rumbling of an elephant’s stomach may be heard for miles, but never have we heard it so near at hand. It is loud as a claxon and is caused by the crackling of masses of young leaves and branches which the huge beasts strip from the trees with the greatest enjoyment. Meanwhile they seem to talk and laugh in their hoarse voices, varied by shrill whistles and a trumpet-like blare.

Dear little elephant that I once met in the zoo at Fort de Kock, how often l have fed you with peanuts and lumps of sugar. You told me you had relatives in the jungle of Moeara Takoes, cousins and aunts and an old niece by marriage.

Well, they certainly made a terrific noise that night. All the time they remained playing and walking about the temple grounds and not until morning did they retire into the underbrush.

That morning I shall remember as long as I live. At sunrise, tired and shivering, I climbed up the high river bank and took a look over the forest. I did not meditate long, however, but took my tapes and notebooks and went over to the temple grounds. Come, I would measure the gate.

While I stood writing there came a muffled sound, not far from where l stood. It was as if something heavy had fallen on the grotmd. For a moment l had a vague suspicion, but quietly continued my work. Soon the sound came again, —it was as if someone were gathering firewood… and it must have been a tremendous worker, for suddenly the noise increased.

Instinctively I dropped everything I held in my hands, hurried over to Tjandi Toea, the largest ruin, flew up the steps and crouched behind the central tower. For a moment nothing happened, for a moment deadly silence. Then with a thunderous roar a tree crashed down precisely on the spot where I had just been standing; the whole gate was covered by its branches. At the same time another crash resounded, branches were broken, the underbrush was torn aside. Two huge elephants rushed into the temple court, fighting and screaming, striking each other with their tnighty trunks and then, as suddenly as they had appeared they disappeared again into the woods on the other side.

My heart beat in my throat, for out of the forest now came a third elephant. He remained standing in the sunlight, spread out his great ears. Slowly his trunk swung back and forth, seemed to search for something and then remained still.
Candi Muara Takus De overwoekerde reliektoren van de Moeara Takoes op Sumatra


IMAGE NOT AVAILABLE
The antiquities in Moeara Takoes. 74 K 74 m.

Apparently the animal scented danger; in the distance sounded the voices of workmen approaching. The elephant listened, then walked silently across the temple court. By the great tower he stopped, scratched himself against the wall, looked about for a moment and then wandered pensively into the forest…

At Moeara Takoes, on the right bank of the Kampar Kanan, lies a number of ruins from the 11th and 12th centuries. They formed part of a town, which was entirely surrounded by an earthen wall. The space enclosed measures about 1.25 km. The buildings are encircled by a sandstone wall, measuring 74 X 74 m. In April, 1935, I excavated the brick foundation of a great gate, approximately in the middle of the north wall. Since the surrounding wall is built over this foundation on opposite sides, the latter must be of an earlier date.

Directly opposite the gate, on the south side of the courtyard, stands the best preserved building: the slender, graceful Maligai Stupa. The foundation has the form of a rectangle and measures 9.44 X 10.60 m. Inside, 52 cm behind the outer wall, is an older foundation decorated with pilasters. On the north side ascends a flight of steps, which have been twice rebuilt in the course of time. It is probable that at one time they supported a parapet with two kneeling elephants. Perhaps the gallery also had a low retaining wall.

On the foundation stands a 28-sided pediment, decorated with blocks of yellow sandstone. From this pedestal ascends a round tower. As may be seen from the drawing the body of the stupa rests on a double lotus cushion. Within this flower is an older lotus. The crown of the stupa seems to have been 36-sided; on four sides were placed sitting lions of sandstone. The 36-angled section is followed by a regular octagon above which extends a frieze with 16 lion heads. The dome consisted of a sandstone lotus, which no doubt formerly supported a stupa. In the center of the tower was once a hole, about 2 m deep, in which rested a wooden mast, bearing several sunshades, one above the other. East of the Maligai Stupa lies a rectangular terrace, 5.10 X 5.70m with an extension and a flight of steps on the north side. On the outer wall are pilasters.

West of this stupa lies a similar terrace, called Tjandi Boengsoe. It formerly supported a 20-sided foundation, with a stupa in a wreath of smaller stupas. It recalls the upper terrace of the Boroboedoer.

At the later period this brick terrace was enlarged on the north side by a sandstone stupa. On the east side ascends a flight of steps. On a high, 20-sided base rests a low 36-side base which beats a lotus. ln this lotus was found a hollow, filled with earth and ashes. Among the ashes lay three bits of gold-leaf and a golden plate, engraved with wajras and three letters. At the height of the 20-sided base lay a stone with 9 letters and in the middle of each side a wajra.

Immediately north of Tjandi Boengsoe stands Tjandi Toea, the largest (though not the highest) building of Moeara Takoes. The greatest length is 31.65 rn, the greatest breadth 20.20 m. The ground story shows signs of recanstruction; the processional path has a very irregular breadth. The second terrace is lower, but like the first is decorated with limestone pilasters. On the east and on the west side ascend flights of steps with lions. The stupa proper rests on a 36-sided base. In the lotus only an empty hollow was found.

East of Tjandi Toea I excavated a sandstone foundation measuring 13.20 X 16.60 m, while south of these ruins a foundation 5.75 X 5.75 m came to light.

The temples of Moeara Takoes are probably the graves of royal personages. Malays say that the Hindoo ruler was transformed into an elephant, and for this reason great herds of elephants regularly visit the ruins to do homage to the spirit of their departed ancestor. Close to the temples is a shallow ford, which the animals cross whenever they descend from Mount Soeligi to the plains. It is remarkable that since time immemorial the stupa court has been their favorite play-ground, where they walk about and disport themselves allnight long by the light of the moon.

During the excavations of April, 1955, we were able to verify this strange phenomenon from personal experience. When one considers the antiquity of animal trails in the jungle and the elephant’s extreme conservatism it seems likely that even centuries ago the animals betook themselves to Moerara Takoes, and for this reason the place had an odour of sanctity. The Malays must have considered it a socalled elephants dancing ground, such as are still known in India.

This may also be the reason why the Hindoos built their temples on this particular spot. As long as the city lay here the elephants naturally stayed away, but after its destruction the jungle reclaimed her rights and the Lords of the Wood retrod their ancient paths.

In the year 1003 the king Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) sent two envoys to China to bring tribute; they told that in their country a Buddhist temple had been erected in order to pray for the long life of the emperor, and that they wanted a name and bells for it, by which the emperor would show that he appreciated their good intentions. An edict was issued by which the temple got the name of Cheng tien wan shou (Tjandi Boensoe / Tjandi Boengsoe) and bells were cast to be given to them.

The oldest inhabitants of Moeara Takoes descend from the Princess Poetri Seri Doenia, who came with her family from Pariangan Padang Pandjang (Menangkabau). Her beauty became so famous that a Hindoo ruler asked her hand in marriage. The princess accepted his proposal under condition that he should build a palace for her. This the radja did, and the remains of this palace may still be seen at Moeara Takoes. Then the radja returned to his own country to make preparations for the wedding.

In the meantime a great Batak army marched on the city. A relative of the princess, named Soetan Palembang, wrote a letter to the Hindoo ruler, giving the messenger a basket (gantang) of seed. As numerous as the seeds in the basket, so numerous were the Bataks. The Hindoo ruler, however, did not return.

When the Bataks arrived at Moeara Takoes they found the entire city deserted. Poetri Sri Doenia with her followers had fled into the forest and married a datoe from Menangkabau. She bore a son, whom she called Indo Doenia and to this day there is a place in Moeara Takoes called Galangan lndo Doenia. This youth later became lord of Moeara Takoes and was succeeded by Radja Pamoentjak (Datoe di Balai), known in history during the period when the country was converted to Islam.

Another legend is as follows. One of the last rulers of Moeara Takoes (or Takoei) was named Radja Bitjau. The city was then so large that a cat could wander from roof to roof for three months before reaching the last house. The king had only daughters. When the eldest was about to marry the maharadja of Djohore, all manner of people came to attend the feast and the cockfights.

Among the guests were the brothers Singa Mendjadian and Singa Mendedean, who had just settled in Goenoeng Malelo (upstream) and who had come originally from Rau. Others, however, assert that they came from Palembang. One of them asked for the hand of one of the king’s daughters, but was refused because he had a hideous skin desease.

He now sent his sister’s child (kamanakan) with a basket of grain and his own head kerchief to his brother, Singa Merdekeh, radja of Koeamang (Panti) and asked him to send as many soldiers as there were grains in the basket. The Bataks now came with a huge arme and attacked Moeara Takoes. In this battle the last radja, Pandjang Djoengoer, lost his life.

At Batoe Besoerat the Bataks threw a calligraphed stone into the river and said, “When this stone appears again above the water we, too shall return”.

At Pamatang Gadang, however, they met with resistance. Here great trees were piled up and hurled down upon them. Many corpses were crowded into the stream and their terrible stench gave it the name Soengei Siboesoek. From here the bodies came into the Kampar and floated past the place which henceforth was called Bangkai-inang or Bangkinang (Batak for corpse). The name “inang”, meaning “mother”, was used for Batak, because when frightened or surprised they always exclaim, “inang”.

it is told that in ancient times there was an underground stream, connecting the Kampar Kanan with the Kampar Kiri. The legend tells of a certain Indo Chatib from the soekoe Bondang, who once went fishing in the neighbourhood of Koto Ajer Tiris. He pursued a fish which had hidden in a hollow in the river bank. But lndo Chatib kept a firm grasp on the line by which the fish was caught and so could easily follow the fugitive. At last he arrived at the Kampar Kiri.

A more credible tale relates that formerly there was a stalactite cave near the village Batoe Balah. The water which trickled down formed a stream, which flowed underground to Goenoeng Sahilan.

Moeara Takoes was formerly called Si Djangkang (a plant) or Telago Oendang. The name is said to be derived from Takoet, the name of a tributary of the Kampar, so called because at this place the people began to fear the lords of Moeara Takoes (takoet = fear).

This kingdom once ruled over all the surrounding country, and the recollection of this fact has not yet faded. To this day the ruler of Rokan must make a pilgrimage to Moeara Takoes before his coronation to have his head annointed with lemon juice. And on the Queen’s birthday, when all the panghoeloes in Bangkinang come to pay their respects to the Controleur, the panghoeloe of Moeara Takoes leads the procession, under a golden umbrella.

East of the temple buildings is the stream Ampamo, so called because the water is red as gold. Farther east lies the Boekit Katangta.

It is glorious to bathe here in the Kampar. The water streams over broad slate banks. One simply sits down and allows the cool water to roll over one’s body. The high bank consists of red-brown and silver grey cliffs, soft as cake, in which grow numerous graceful ferns. Squirrels, with amusing, upturned wooly tails, frisk about in the underbrush, looking with mischievous eyes at the intruder.

At sunset the natives stand praying on the little promontory, the women entirely shrouded in white and purple veils. Countless prayers have been uttered on these banks in the course of the centuries. The evening wind is full of whispers, the dark river full of shadows. Gently they glide to the vast ocean. Night falls over the Kampar. In the endless jungle stands a lonely stupa…

By full moon a great natural phenomenon takes place in the Kampar. A mighty tidal wave rolls in 60 to 70 km from the sea, destroying everything that lies in its path. A boiling, roaring wall of water six feet high is seen approaching, which crashes against the bank with a noise like thunder, dragging whole trees into its seething whirlpool. How this bono originates is not known. It also occurs in the Rokan, but is not so high not so dangerous as in the Kampar.

Formerly there lived at the mouth of the Kampar a tribe called Singo Bono. Near Tandjoeng Semajang is a holy place, where many people come to pray. When the bono approaches there appears on the river a mysterious boat, rowed by invisible hands. The appearance of this spirit ship brings good fortune to the entire oountry.

In ancient times there lived a great chief at Kampar, who had a lovely daughter. Her bosom was, however, half female, half male. Many men asked for her hand but in vain. The girl’s only friend was a dog. One day she became a mother and bore seven pups. Her father was overcome with shame and threw the animals into the river.

But every time there is a bono the dogs can be seen returning, to seek their mother. They leap and growl and destroy everything in their way. But always they become exhausted and return again to the sea.

It is also related that the bono is caused by seven wild horses, which come up the river in a herd. Once a chief shot at them and the bono stayed away four times. But the man became terribly ill and could never walk again. We mortals must be careful…

At Koto Toeo, near Moeara Takoes, a number of golden relics have been preserved, of which the following legend is told. Datoe Djalo Mangkoeto once dreamed that he would obtain gold if he gave the emas the blood of a white karbau. Then he made a black karbau white with rice flour and slaughtered it, upon which the indoek emas emerged from the river in the form of a tortoise. The datoe bound him to the pillar of his house. But when the tortoise heard that he had been deceived with a whitened karbau he tore himself loose. A slave took away his shield. Then the animal went to the slave’s mother to beg for his lost shield. She restored it to him and now he gave the gold to the mother who bought the freedom of her son from Datoe Djalo Mangkoeto.

In bygone days there was a man from Djambi, who sailed up the Rokan, and in the land of Rokan he ended his journey and remained for several months. His name was Pendek Alang Berkokok. He liked only easy work, if there was a beautiful woman in the village he made a conquest of her and every day he made a new quarrel. The Radja of Rokan wanted to drive him away or kill him and looked for someone in his own land bold enough to accomplish this deed.

Now in Tandjoeng (Kampar) there was a brave man named Datoek Rangsang Kampar (D. nan Gadang Tjintjin), and Datoek Pedoeko Sangsamo was sent to bring him.

They met in the mountains between the negeris Pendalian and Sibiroeang; there the dogs barked at each other.

Sangsamo said that he was on his way to find Tjintjin. The latter, not wishing to betray himself, said that in 7 days he would bring Tjintjin to Rokan.

Then Sangsamo said, “Where our dogs barked just now is the boundary between Kampar and the loeak Rokan,” and to this day the mountain range is called Boekit Kalaran Andjing.

Tjintjin returned to Tandjoeng, called his son, Si Djoeang Pahlawan, and 6 days later went with him to Rokan. There he promised to help the ruler, after which he and his son found Berkokok and killed him.

Now Tjintjin wanted as a reward something to which there would be no end. This wish caused great consternation in Rokan.

The Radja sent out messengers. One of them came to Pendalian and there he found a child which he brought to Rokan. The child said, “Let this be the reward, that Rokan and Tandjoeng be united”. And so it was.

Moeara Takoes – Candi Muara Takus The Forgotten Kingdoms in Sumatera
BACA SELANJUTNYA di - Tjandi Moeara Takoes - The Forgotten Kingdoms in Sumatera

Sabtu, 06 April 2013

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera

Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera merupakan tulisan dari F.M. Schnitger, Ph.D peneliti dari Belanda yang berkeliling Sumatera sekitar tahun 1930-an. Salah satu bagian tulisannya adalah berjudul "KAMPAR" yang menceritakan tentang aktifitasnya di Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes).

This book gives a few sidelights on the wilderness of Sumatra, with its attractive people and remarkable animals, with its ancient, vanished civilizations and forgotten kingdoms, the tragic ruins of which lie burled in the jungle.

Tulisannya dimulai dengan kejadian langsung atas diri Schnitger dan beberapa pekerjanya saat kedatangan gajah dalam jumlah banyak. Saat itu Schnitger berada di rumah kayu sebagai tempat kerjanya untuk meneliti Candi Muara Takus.

Gajah-gajah itu datang dengan cepat kemudian mengelilingi komplek candi bagaikan sebuah ritual wajib, menggesekkan badannya ke candi yang tertinggi. Ritual berikutnya adalah memandang candi itu dengan seksama dan kemudian gajah-gajah itu berlutut sebagai penghormatan kepada raja mereka yang telah tiada dan dikebumikan di sana.

Schnitger melakukan penelitian di Candi Muara Takus atas biaya dari Royal Netherlands Geographical Society yang diketuai saat itu oleh Prof. J. P. Kleiweg de Zwaan. Penelitian Schnitger ini juga mencakup penelitian ke Nias, Batak, Jambi dan Palembang.

Candi Muara Takus - Kerajaan yang Terlupakan
Schnitger melakukan penelitian dengan cara menggali dan membersihkan sebagian areal kawasan candi. Dia memperkirakan bahwa Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes) didirikan pada abad ke 11 dan abad ke 12 Masehi. Candi ini dibangun dengan dikelilingi oleh dinding sebagai bagian dari sebuah kota yang memiliki luas 1,25 km.

Bangunan candi dikelilingi pagar berukuran 74x74 meter yang terbuat dari batu. Pada bulan April 1935, Schnitger menggali pondasi batu di tengah gerbang utama yang menghadap utara. Berhadapan langsung dengan gerbang terdapat sebuah bangunan megah yang disebut Mahligai Stupa (Maligai Stupa) yang berukuran 9,44 x 10,60 m.

Penelitian Schnitger sangat luas dan diketahui bahwa di tahun 1003 Masehi, Raja Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) mengirim utusan ke China sambil membawa tanda kehormatan dan pemberitahuan bahwa di daerah raja tersebut telah didirikan sebuah candi Budha untuk persembahan dan tempat sembahyang agar kerajaan tetap selalu jaya. Raja itu melalui utusannya meminta agar bangunan candi itu diberi nama dan juga meminta sebuah lonceng yang akan dipasang di candi tersebut. Diketahui kemudian bahwa candai tersebut diberi nama Cheng Tien Wan Shou (Tjandi Boensoe atau Tjandi Boengsoe).

Schnitger juga menulis tentang kisah Poetri Doenia yang memiliki seorang anak bernama Indo Doenia. Bahkan penjelasan tentang kejadian ombak Bono Kampar dan sejarah terjadinya 7 hantu ombak Bono pun disampaikannya. Paragraf terakhir dari tulisan Schnitger pada bagian "Kampar" ditutup dengan penjelasan tentang penyatuan Rokan dan Tanjung (Tandjoeng).

The Forgotten Kingdom In Sumatera
F.M. Schnitger, Ph.D
1939
BACA SELANJUTNYA di - Candi Muara Takus The Forgotten Kingdom In Sumatera

Jumat, 05 April 2013

Mengenal Candi Muara Takus

Candi Muara Takus berlokasi tepatnya di Desa Muara Takus, Kecamatan Tigabelas Koto Kampar, Kabupaten Kampar di Provinsi Riau. Jarak lokasi tersebut dari Kota Pekanbaru sebagai Ibukota Provinsi Riau, sekitar 128 km. Perjalanan menuju ke lokasi Desa Muara Takus hanya bisa ditempuh melalui jalan darat, yakni dari Pekanbaru menuju ke arah Bukittinggi sampai didaerah Muara Mahat. Dari Muara Mahat tersebut, kita akan melalui sebuah jalan kecil menuju ke lokasi Desa Muara Takus.

Nama Muara Takus menurut sejarahnya terdiri dari dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai kecil bernama Takus. Anak sungai kecil tersebut langsung bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pada pendapat yang lain, Takus dianggap berasal dari bahasa Cina yang artinya candi tua. Jadi Muara Takus diartikan sebagai candi tua yang berada di muara sungai.

Candi Muara Takus adalah candi Buddha. Hal ini ditandai terlihat dari adanya stupa, sebagai lambang Buddha Gautama. Ada juga yang berpendapat bahwa candi tersebut merupakan bentuk campuran dari candi Buddha dan Siwa. Pendapat ini didasarkan atas bentuk bentuk Candi Mahligai sebagai salah satu dari bangunan di kompleks Candi Muara takus. Candi Mahligai menyerupai bentuk lingga yakni kelamin laki-laki dan yoni (kelamin perempuan). Arsitektur candi tersebut juga mempunyai banyak kemiripan dengan arsitektur dari candi-candi yang ada di Myanmar.

Candi Muara Takus

Candi Muara Takus sendiri merupakan sebuah bangunan kompleks yang terdiri atas beberapa bangunan lainnya, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Bangunan yang utama yang disebut Candi Tuo. Candi ini berukuran 32,80 m x 21,80 m dan merupakan candi bangunan paling besar di antara bangunan lain yang ada. Letaknya di bagian sebelah utara dari Candi Bungsu. Pada sisi bagian sebelah timur dan barat terdapat tangga. Diperkirakan pada bangunan aslinya, tangga ini dihiasi stupa, sementara pada bagian bawah tangga dihiasi dengan patung singa dalam posisi duduk. Bagian bangunan ini memiliki sisi 36 buah dan terdiri atas bagian kaki I, kaki II, tubuh serta puncak. Pada tahun anggaran 1992/1993 pemugaran bangunan dilakukan pada bagian sisi sebelah barat (kaki I dan II). Volume bangunan secara keseluruhan mencapai 2.235 m3, terdiri dari : kaki: 2.028 m3, tubuh: 150 m3, dan puncak: 57 m3. Tinggi bangunan mencapai 8,50 m.

2. Bangunan kedua berbentuk Candi Mahligai. Bangunan tersebut berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10,44 m x 10,60 m. Tingginya sampai ke bagian puncak 14,30 m berdiri di atas pondamen segi delapan (astakoma) dan bersisikan sebanyak 28 buah. Pada alasnya terdapat teratai berganda dan di tengahnya menjulang sebuah menara yang bentuknya mirip phallus (yoni).

3. Bangunan ketiga adalah Candi Palangka, terletak 3,85 m sebelah timur dari Candi Mahligai. Bangunan tersebut terdiri dari batu bata merah yang tidak dicetak. Candi Palangka adalah candi terkecil, relung-relung penyusunan batu tidaklah sama dengan dinding Candi Mahligai. Candi Palangka mulai dipugar pada 1987 dan selesai pada 1989. Pemugaran dilakukan hanya pada bagian kaki dan tubuh candi, hal ini karena bagian puncaknya yang masih ditemukan pada 1860 sudah tak ada lagi. Sementara di bagian sebelah utara terdapat bangunan tangga yang telah rusak. Kaki candi berbentuk segi delapan dengan sudut banyak, berukuran panjang 6,60 m, lebar 5,85 m, serta tingginya 1,45 m dari permukaan tanah dengan volume 52,9 m3.

4. Bangunan yang keempat dinamakan Candi Bungsu. Bangunan ini terletak di sebelah barat dari Candi Mahligai. Candi ini terbuat dari dua jenis batu, yakni batu pasir (tuff) pada bagian depan, sedangkan batu bata terdapat di bagian belakang. Pemugaran candi dimulai pada 1988 dan selesai pada 1990. Melalui pemugaran, candi ini dikembalikan pada bentuk aslinya, yakni empat persegi panjang dengan ukuran 7,50 m x 16,28 m. Tinggi setelah dipugar 6,20 m dari permukaan tanah, dan volumenya 365,8 m3.

Di samping bangunan-bangunan candi di atas, pada bagian sebelah utara dari komplek Candi Muara Takus terdapat onggokan tanah yang memiliki dua lobang. Tempat tersebut diprediksi sebagai tempat pembakaran jenazah.

BACA SELANJUTNYA di - Mengenal Candi Muara Takus

Sabtu, 03 Desember 2011

Photo-photo Istana Sayap Kerajaan Pelalawan Kerinci

Photo-photo Istana Sayap Kerajaan Pelalawan Kerinci diambil pada tanggal 27 November 2011 sekitar jam 10 pagi. Sebagian pada photo terlihat proyek penimbunan halaman depan Istana. Kondisi halaman depan Istana yang berada di tepi sungai Kampar sedangkan halaman samping kiri berada di tepi anak sungai menyebabkan halaman Istana sering berair. Usaha penimbunan ini agar halaman Istana dapat jadi terlihat indah.

Photo-photo Istana Sayap Kerajaan Pelalawan Kerinci























































Photo-photo Istana Sayap Kerajaan Pelalawan Kerinci

Menjadi sebuah dokumentasi atas sebuah situs atau tapak sejarah di daerah Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan dan menjadi salah satu tapak sejarah bagi kerajaan-kerajaan di Riau.

BACA SELANJUTNYA di - Photo-photo Istana Sayap Kerajaan Pelalawan Kerinci

Kamis, 01 Desember 2011

Adat dalam Tradisi Melayu di Riau

Paling kurang ada empat macam konsep adat. Pertama ialah adat yang sebenar adat, adat yang asali. Yakni adat, norma atau hukum yang datang dari Allah yang berlaku terhadap segenap jagat raya ini. Sebagian daripada hukum Allah itu telah wujud sebagai syarak (ajaran Islam). Sebagian lagi menjadi hukum alam itu sendiri.

Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam bentuk hukum-hukum alam, tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia. Dengan kata lain tidak akan dapat diganggu gugat, sehingga dikatakan juga tidak akan layu dianjak tidak akan mati diinjak. Hukum-hukum Allah dan RasuI-Nya sebagai adat yang sebenar adat dalam wujud syarak, jika dirusak oleh manusia, niscaya akan memberi akibat yang fatal, berupa kehancuran kehidupan manusia itu sendiri. Itulah sebabnya pelaku bid'ah atau perusak hukum Allah dan Rasul-Nya diancam dengan azab yang pedih. Sementara hukum Allah pada jagat raya ini telah memperlihatkan dirinya sebagai sifat-sifat alam semula jadi. Ini disebut juga sunatullah, misalnya adat buluh bermiang, adat tajam melukai, adat air membasahi, adat api hangus, dan seterusnya. Bagi manusia berlakulah hukum alam, adat muda menanggung rindu, adat tua menanggung ragam.

Kedua ialah adat yang diadatkan. Inilah hukum, norma atau adat buah pikiran leluhur manusia yang piawai, yang kemudian berperanan untuk mengatur lalu lintas pergaulan kehidupan manusia. Meskipun adat yang diadatkan ini merupkan seperangkat norma dan sanksi hasil gagasan leiuhur yang bijaksana, tetapi sebagai karya manusia, tetap rusak (berubah) oleh ruang da.n waktu serta oleh selera manusia dalam zamannya. Itulah sebabnya raeskipun adat rancangan leluhur ini dipelihara dan dilestarikan, tetapi terbuka peluang untuk disisipi, ditambah dan dikurangi, agar tetap dapat menjawab tantangan kehidupan masyarakatnya.

Adapun perancang adat Melayu atau adat yang diadatkan ini, ada beberapa orang yang cukup menarik diperhatikan. Datuk Demang Lebar Daun dan Raja Sang Sapurba telah merancang asas kehidupan kerajaan atau negara Vang berbunyi "Raja tidak menghina rakyat dan rakyat tidak durhaka kepada raja". Inilah adat Melayu yang memberi dasar yang kokoh terhadap nilai demokrasi di Riau. Sebab, telah memberikan kedudukan yang seimbang antara pihak pemerintah (Raja) dengan pihak yang diperintah (rakyat).

Datuk Kaya, leluhur Melayu tua Suku Laut, telah membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Dengan cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.

Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah. yakni ‘dua dua satu’. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat pohon sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut. Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.

Datuk Laksamana Raja di Laut, leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku. Pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Akibatnya nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Timbalannya, Datuk Ketumanggungan, membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan). Pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak. Sementara itu Datuk Bisai leluhur Melayu Kuantan Singingi membuat adat beternak dan beladang, sehingga antara peternak dan peladang tidak terjadi persengketaan, tapi menjadi harmonis dan saling menguntungkan.

Dalam jagad Melayu di Riau, adat yang sebenar adat telah menjadi tumpuan dari adat yang diadatkan, sehingga terbentuklah pandangan hidup yang sejati dalam rangkai kata adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Disingkat dalam rangkai kata yang piawai adat bersendi kitabullah. Bingkai ini dapat pula dipandang sebagai paduan antara konsep adat Datuk Perpatih (yang menekankan adat yang diadatkan) dengan asas adat Datuk Ketemenggungan (yang lebih menekankan pada adat yang sebenar adat). Paduan ini amat indah, sebenarnya Datuk Perpatih melihat adat dalam kenyataan kehidupan manusia, sementara Datuk Ketemenggungan melihat adat dari sudut hakekatnya di sisi Tuhan. Bingkai ini memperlihatkan lagi kepiawaian manusia harus berpijak pada panduan Allah dan Rasul-Nya. Sebab manusia yang sejati tidak dapat hidup hanya dengan hukum (adat) buatan manusia saja. Manusia yang sejati adalah manusia yang beragama, yakni yang menyembah Tuhannya.

Bingkai pandangan hidup jagad Melayu di Riau ini hendak menegaskan bahwa hukum buatan manusia tidak bernilai jika tidak bersandar kepada hukum Allah. Sebab hukum sebagai manifestasi kebenaran hendaklah merujuk kepada kebenaran di sisi Allah. Jika tidak akan tertolak, karena kebenaran itu semata-mata datang dari Allah.

Ketiga, konsep adat yang teradat yakni konvensi masyarakat atau keputusan hasil musyawarah yang kemudian dikokohkan menjadi adat atau aturan. Adat yang teradat lebih banyak merupakan aturan budi pekerti sehingga membuat penampilan manusia yang berbudi bahasa. Adat yang teradat telah dipelihara dari zuriat (generasi) kepada zuriat berikutnya, sehingga menjadi resam (tradisi) budi pekerti orang Melayu. Adat yang teradat dapat dikesan dari aturan panggilan dalam keluarga, masyarakat dan kerajaan, seperti misalnya panggilan ayah, bapak, ibu, emak, abang, kakak, puan. tuan, encik, tuan guru, engku, paduka, datuk, nenek, dan nenek moyang.

Etika berkomunikasi juga temasuk pada adat yang teradat. Dalam sopan santun komunikasi paling kurang ada 4 panduan atau aturan, yakni kata mendaki, melereng, mendatar, dan menurun. Kata mendaki, yakni adab bertutur terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Kata-kata yang dipakai hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati.

Kata melereng yaitu adab berbicara dengan orang semenda. caranya tidak boleh langsung begitu saja. Terhadap orang semenda dalam masyarakat adat, di samping dipanggil dengan gelar, juga dipakai gaya berkias atau kata perlambangan. Gunanya untuk menjaga perasaan dalam rangka menghormati orang semenda itu.

Kata mendatar, yakni cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Dalam keadaan ini kita boleh bebas memakai kata-kata dan gaya. Mulai gaya terus terang, jenaka, kiasan bahkan juga saran dan sindiran atau kritik, sesuai dengan ruang, waktu, dan medan komunikasi.

Kata menurun. Inilah medan komunikasi terhadap orang yang lebih muda dari kita, seperti terhadap adik, anak dan kemenakan, serta orang yang berkedudukan sosial lebih rendah dari kita. Kata-kata yang dipakai memberi petunjuk, ajaran, pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia atau bermartabat. Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali diberi gugahan, agar menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras serta memegang amanah dengan teguh, sehingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya.

Keempat, konsep adat istiadat, yaitu berbagai ketentuan atau perilaku yang sebaiknya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat. Karena ketentuan atau adab ini dipandang baik, maka telah dilestarikan pula, sehingga juga menjadi tradisi atau resam Melayu. Adat istiadat atau tradisi telah mengatur hubungan manusia dengan alam. Perhatikanlah beberapa panduannya. Kalau beladang dekat padang ternak, sebaiknya ladang dipagar. Kalau beternak, tradisinya ialah pagi dilepaskan petang dikurung, musim beladang digembalakang atau diikat. Kalau hendak masuk rimba belantara jangan takabur terhadap binatang buas dan binatang berbisa. Harimau dipanggil datuk sedangkan lebah sialang dipangggil cik dayang. Kalau mendirikan rumah bertiang, maka pangkal tiang (kayu) sebelah bawah, ujungnya ke atas. Rumah bertiang sebaiknya pakai sendi. Kalau membuka rimba belantara atau mengambil hasil hutan, maka kayu diambil diganti kayu, hutan ditebang diganti hutan. Maksudnya hutan belantara harus dipelihara, jangan diambil sampai rusak binasa.

Adat yang teradat (dasar-dasar hukum rancangan leluhur) adat yang teradat (adab budi pekerti) dan adat istiadat (tradisi memelihara alam) harus ditapis oleh adat yang sebenar adat, yakni oleh hukum yang sejati dari Allah dan Rasul-Nya. Karena itulah adat harus bersendi kitabullah, maksudnya, tanpa mengindahkan hukum Allah, semua hukum buatan manusia hanya akan menjadi alat kekuasaan dan pemuas hawa nafsu belaka, sehingga akhirnya akan mendatangkan kehancuran dan malapetaka kepada umat manusia. [tim the real malay]

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Adat dalam Tradisi Melayu di Riau

Selasa, 29 November 2011

Pengertian Melayu dan Melayu Riau

Istilah Melayu berasal dari kata mala (yang berarti mula) dan yu (yang berarti negeri) seperti dinisbahkan kepada kata Ganggayu yang berarti negeri Gangga. Pendapat ini bisa dihubungkan dengan cerita rakyat Melayu yang paling luas dikenal, yaitu cerita Si Kelambai atau Sang Kelambai. Cerita ini mengisahkan berbagai negeri, patung, gua, dan ukiran dan sebagainya, yang dihuni atau disentuh oleh Si Kelambai, semuanya akan mendapat keajaiban. Ini memberi petunjuk bahwa negeri yang mula-mula dihuni orang Melayu pada zaman purba itu, telah mempunyai peradaban yang cukup tinggi. Kemudian kata melayu atau melayur dalam bahasa Tamil berarti tanah tinggi atau bukit, di samping kata malay yang berarti hujan. Ini bersesuaian dengan negeri-negeri orang Melayu pada awalnya terletak pada perbukitan, seperti tersebut dalam Sejarah Melayu, Bukit Siguntang Mahameru.

Negeri ini dikenal sebagai negeri yang banyak mendapat hujan, karena terletak antara dua benua, yaitu Asia dan Australia. Selanjumya dalam bahasa Jawa, kata melayu berarti lari atau berjalan cepat. Lalu, dikenal pula ada sungai Melayu, di antaranya dekat Johor dan Bangkahulu. Semua istilah dan perkataan itu dapat dirangkumkan sehingga melayu dapat diartikan sebagai suatu negeri yang mula-mula didiami, dan dilalui oleh sungai, yang diberi pula nama sungai Melayu. Mereka membuat negeri di atas bukit, karena ada pencairan es Kutub Utara yang menyebabkan sejumlah daratan atau pulau yang rendah jadi terendam air. Banjir dari es Kutub Utara itu lebih terkenal dengan banjir atau topan Nabi Nuh. Untuk menghindari banjir itu mereka berlarian mencari tempat yang tinggi (bukit) lalu disitulah mereka membuat negeri.

Istilah melayu baru dikenal sekitar tahun 644 Masehi, melalui tulisan Cina yang menyebutkan dengan kata Mo-lo-yeu. Dalam tulisan itu disebutkan bahwa Mo-lo-yeu mengirimkan utusan ke Cina, membawa barang hasil bumi untuk dipersembahkan kepada kaisar Cina. Jadi, kata melayu menjadi nama sebuah kerajaan dewasa itu. Namun demikian, kerajaan Melayu sudah ada sejak satu milenium pertama sebelum Masehi yang dibuktikan gerabah keramik di Barus di tengah Pulau Sumatera. Nenek moyang orang Melayu itu ternyata juga beragam, baik asalnya yang mungkin dari suku Dravida di India, mungkin juga Mongolia atau campuran Dravida dengan Aria yang kemudian kawin dengan ras Mongolia. Kedatangan mereka juga bergelombang ke Nusantara ini.

Bangsa Melayu sendiri dapat dibedakan atas beberapa kategori atau ketentuan. Pertama, Melayu Tua (proto Melayu) dengan Melayu Muda (deutro Melayu). Disebut Melayu tua karena inilah gelombang perantau Melayu pertama yang datang ke kepulauan Melayu ini. Leluhur Melayu Tua ini diperkirakan datang oleh para ahli arkeologi dan sejarah sekitar tahun 3000-2500 SM. Adapun yang tergolong ke dalam keturunan Melayu Tua itu antara lain orang Talang Mamak, orang Sakai, dan Suku Laut.

Keturunan Melayu tua ini terkesan amat tradisional, karena mereka amat teguh memegang adat dan tradisinya. Pemegang teraju adat seperti Patih, Batin, dan Datuk Kaya, besar sekali peranannya dalam mengatur lalu lintas kehidupan. Sementara itu, alam pikiran yang masih sederhana dan kehidupan yang sangat ditentukan oleh faktor alam, telah menyebabkan munculnya tokoh tradisi seperti dukun, bomo, pawang, dan kemantan. Para tokoh ini diharapkan dapat membuat hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Mereka mempercayai laut, tanjung, tanah, pohon, ikan, burung, dan binatang liar, dihuni atau dikawal oleh makbluk halus, yang kemampuannya melebihi kemampuan manusia. Makhluk halus yang menunggu tanah disebut jembalang, makhluk yang mengawal binatang dan burung disebut sikodi, makhluk halus yang menghuni hutan belantara disebut mambang, sedangkan makhluk halus yang menampakkan dirinya sebagai perempuan cantik disebut peri.

Perkampungan puak Melayu Tua pada masa dulu jauh terpencil dari perkampungan Melayu Muda. Ini mungkin berlaku, karena mereka ingin menjaga kelestarian adat dan resam (tradisi) mereka. Begitu pula dalam nikah-kawin, mereka masih sedikit berbaur dengan Melayu Muda dan suku lainnya. Pembauran dengan Melayu Muda baru terjadi setelah mereka memeluk agama Islam sebagaimana yang terjadi pada Sakai Batin Salapan dan Batin Lima, yang diislamkan oleh para khalifah murid Tuan Guru Abdul Wahab Rokan penganut tarekat Naksyahbandiyah.

Puak Melayu Muda (Deutro Melayu), gelombang kedatangan nenek moyang mereka diperkirakan tiba antara 300-250 tahun sebelum Masehi. Melayu Muda ini cukup besar jumlahnya. Mereka lebih suka mendiami daerah pantai yang ramai disinggahi perantau dan daerah aliran sungai-sungai besar yang menjadi lalu lintas perdagangan. Karena itu mereka bersifat lebih terbuka dari Melayu Tua, sehingga mudah terjadi nikah-kawin dengan puak atau suku lain, yang membuka peluang pula kepada penyerapan nilai-nilai budaya dari luar.

Pada mulanya, baik Melayu tua maupun Melayu muda sama-sama memegang kepercayaan nenek moyang yang disebut Animisme (semua benda punya roh) dan Dinamisme (semua benda mempunyai semangat). Kepercayaan ini kemudian semakin kental oleh kehadiran ajaran Hindu-Budha. Sebab antara kedua kepercayaan ini hampir tidak ada beda yang mendasar. Keduanya sama-sama berakar pada alam pikiran leluhur, yang kemudian mereka beri muatan mitos, sehingga bermuatan spiritual.

Kehadiran agama Islam ke dalam kehidupan puak Melayu muda, tidak: hanya sebatas menapis adat dan tradisinya, tetapi juga berakibat terhadap bahasa yang mereka pakai. Sebab tentulab suatu hal yang ganjil, jika suatu masyarakat memeluk agama Islam, sedangkan bahasa yang menjadi pendukung potensi budayanya tidak Islami. Karena itu bahasa dan budaya Melayu muda juga mendapat sentuhan dan pengaruh Islam, sehingga hasilnya budaya Melayu menjadi satu di antara lima budaya Islam di dunia ini. Budaya Melayu itu ada disepuh dengan Islam, ada yang mendapat proses islamisasi dan ada pula yang merupakan hasil kreativitas orang Melayu yang Islami. Akibatnya penampilah orang Melayu akan memperlihatkan agamanya (Islam) adat dan resam yang bercitra Islam dan bahasa Melayu yang mengandung lamtan agama Islam. Tentulah atas kenyataan ini orang Cina yang masuk agama Islam disebut oleh kaum kerabatnya masuk Melayu.

Meskipun kita melihat ada perbedaan antara Melayu tua dengan Melayu muda, namun kedua keturunan puak Melayu ini masih mempunyai persamaan kultural. Orang Melayu itu akan selalu menampilkan budaya perairan (maritim). Mereka adalah manusia perairan, bukan manusia pegunungan. Mereka menyukai air, laut, dan suka mendiami daerah aliran sungai, tebing pantai dan rimba belantara yang banyak dilalui oleh sungai-sungai. Sebab itu budaya mereka selalu berkaitan dengan air dan laut, seperti sampan, rakit, perahu, jalur, titian, berenang, dan bermacam perkakas penangkap ikan seperti kail, lukah, hingga jala.

Pada penggal kedua, pengertian orang Melayu juga dapat dipakai terhadap pihak yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu tua maupun Melayu muda. Dengan nikah-kawin tentulah pelaku dan keturunannya akan mempunyai tingkahlaku sesuai dengan sistem nilai yang dianut puak Melayu. Dalam hal ini dapat ditemukan bagaimana orang Bugis telah nikah-kawin dengan puak Melayu Riau-Lingga. Keturunan mereka telah mendapat kedudukan dengan jabatan Yang Dipertuan Muda dengan gelar Raja, di bawah keturunan Melayu yang menjabat Yang Dipertuan Besar dengan gelar Sultan. Keadaan yang sama juga berlaku terhadap keturunan Arab yang telah nikah-kawin dengan puak Melayu keturunan Siak, sehingga mendapat kedudukan sebagai sultan dalam kerajaan itu. Dari 12 orang raja atau sultan kerajaan Siak, 6 orang yang terakhir adalah keturunan Arab.

Perantau Banjar (Kalimantan) di Inderagiri, juga telah diterima dengan baik oleh kerajaan itu. Akibatnya keturunan mereka juga menjadi bagian masyarakat dan kerajaan. Keturunan Banjar telah diangkat menjadi mufti kerajaan. Seorang di antara mufti kerajaan Inderagiri yang terkenal ialah Tuan Guru Abdurrahman Siddik bin Muhammad Apip, yang telah menjadii mufti dari tahun 1907-1939. Tuan Guru ini meninggal 10 Maret 1939, lalu dimakamkan di Parit Hidayat dekat kota kecil Sapat, Kuala Inderagiri.

Sejumlah romusha (pekerja paksa oleh Jepang) asal Jawa, juga telah nikah-kawin dengan puak Melayu Kampar di perhentian Marpuyan Pekanbaru. Keturunan mereka telah kehilangan jejak budaya Jawa, lalu tarnpil dengan budaya puak Melayu Kampar.

Pada penggal ketiga, dalam rentangan yang lebih panjang mungkin saja seseorang atau suatu keluarga menyebut dirinya orang Melayu, karena telah begitu lama menetap di kampung orang Melayu. Mereka walaupun belum melakukan nikah-kawin dengan salah satu puak Melayu tadi, tetapi karena dibesarkan dalam lingkungan masyarakat dan budaya Melayu atau mendapat peranan dalam sistem sosial dan sistem nilai orang Melayu, akhirnya merasa diri mereka sebagai bagian dari masyarakat Melayu di mana mereka tinggal. Mereka meninggalkan orientasi budaya negeri asalnya, lalu memakai bahasa dan baju budaya Melayu. Contoh yang paling baik dalam hal ini ialah Lebai Wahid (ayah sastrawan asal Riau Soeman Hs) dengan keluarganya. Lebai Wahid merantau ke Bengkalis, lalu mendapat kedudukan sebagai lebai (ulama) dalam masyarakat Melayu Bengkalis, suatu kedudukan yang dipandang mulia oleh orang Melayu. Kemudian Soeman Hs lahir di Bengkalis tahun 1904, lalu dibesarkan dalam lingkungan budak-budak Melayu di situ. Walaupun Pak Soeman, masih memakai Hs (Hasibuan) di ujung namanya, itu hanya sekadar kenang-kenangan agar tidak rnengingkari sejarah. Namun begitu, tidak sedikitpun dia merasa dirinya sebagai orang Batak. Bahkan selama umurnya yang mencapai 96 tahun, tak pernah dia rindu untuk melihat kampung halaman ibu-bapaknya, Penampilannya malah terkesan lebih Melayu lagi daripada orang Melayu yang bermukim di Riau.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Pengertian Melayu dan Melayu Riau

Minggu, 27 November 2011

Sejarah Asal Kata RIAU

Nama Riau menurut Hasan Junus, setidaknya ada tiga kemungkinan asal usul penyebutannya. Pertama, toponomi riau berasal dari penamaan orang Portugis rio yang berarti sungai. Kedua, tokoh Sinbad al-Bahar dalam kitab Alfu Laila Wa Laila menyebut "riahi" untuk suatu tempat di Pulau Bintan, seperti yang pernah dikemukakan oleh almarhum Oemar Amin Hoesin dalam pidatonya ketika terbentuknya Provinsi Riau. Ketiga, diambil dari kata rioh atau riuh yang berarti hiruk-pikuk, ramai orang bekerja. Dari ketiga kemungkinan di atas, kata rioh atau riuh merupakan hal yang paling sangat mendasar penyebutan nama Riau.

Nama Riau yang berpangkal dari ucapan rakyat setempat, konon berasal dari suatu peristiwa ketika didirikannya negeri baru di sungai Carang untuk jadikan pusat kerajaan. Hulu sungai itulah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira seperti teks seperti di bawah ini.

Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke Makam Tauhid (ibukota Kerajaan Johor) diperintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan amh. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, "di mana tempat orang-orang raja mendirikan negeri" mendapat jawaban "di sana di tempat yang rioh" sambil mengisyaratkan ke hulu sungai. Menjelang sampai ke tempat yang dimaksud, jika ditanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab, "mau ke rioh".

Pembukaan negeri Riau yang sebelumnya bernama sungai Carang itu pada 27 September 1673, diperintahkan oleh Sultan Johor Abdul Jalil Syah III (1623-1677) kepada Laksamana Abdul Jamil. Setelah Riau menjadi negeri, maka Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, merupakan sultan Riau pertama yang dinobatkan pada 4 Oktober 1722. Setelahnya, nama Riau dipakai untuk menunjukkan satu di antara 4 daerah utama kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga.

Setelah Perjanjian London 1824 yang membelah dua kerajaan tersebut menjadi dua bagian, maka nama riau digabungkan dengan lingga, sehingga terkenal pula sebutan Kerajaan Riau-Lingga. Pada zaman pemerintahan Belanda dan Jepang, nama ini dipergunkan untuk daerah kepulauan Riau ditambah dengan pesisir Timur Sumatera.

Pada zaman kemerdekaan, Riau merupakan sebuah kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera Tengah. Setelah Provinsi Riau terbentuk pada pada tahun 1958, maka nama itu di samping dipergunakan untuk nama sebuah kabupaten, dipergunakan pula untuk nama sebuah provinsi seperti saat ini. Sejak tahun 2002 Riau terpecah menjadi dua wilayah, yaitu Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah yang menjadi Provinsi Riau saat ini berasal dari beberapa wilayah kerajaan Melayu sebelumnya yakni Kerajaan Pelalawan (1530-1879), Kerajaan Inderagiri (1658-1838), dan Kerajaan Siak (1723-1858) dan sebagian dari Kerajaan Riau-Lingga (1824-1913).

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Sejarah Asal Kata RIAU

Jumat, 25 November 2011

Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern

Berdasarkan bentuk dan proses penciptaannya, seni budaya Melayu di Riau dapat dikelompokkan ke dalam seni-seni tradisional dan seni-seni modern. Dalam bentuk aslinya, seni-seni tradisional hadir bersahaja, merespon lokalitas lingkungan (sosial dan alam), dan memenuhi keperluan-keperluan praksis komunitas petani subsistem serta perdagangan terbatas yang menjadi ciri utama masyarakat Riau masa lampau. Keterbukaan wilayah Riau terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat di kawasan ini mengalami interaksi yang relatif intensif dengan orang-orang dan gejala-gejala kebudayaan luar. Intensitas interaksi dengan gejala dari dunia luar tersebut mengakibatkan perubahan dan dinamika internal yang lebih rancak (cepat) secara sosio-kultural pada masyarakat Melayu di rantau ini, yang pada gilirannya mempengaruhi pula perkembangan bentuk, struktur, dan kuantitas kosa (vocabulaire) seni tradisional Melayu tersebut.

Perkembangan bentuk dan struktur yang timbul akibat interaksi sosial-budaya dengan dunia luar adalah hal yang lazim dalam setiap sejarah kesenian Riau. Oleh karena kesenian tradisional adalah produk kolektif masyarakat, dan berakar tunjang pada masyarakat yang menghasilkannya, maka perubahan-perubahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat pendukungnya akan menyebabkan bentuk dan struktur luaran kesenian tersebut juga berkembang dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesenian Melayu tradisional Riau, perubahan bentuk dan struktur tersebut merupakan respon terhadap perubahan sosial-budaya yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat di Riau dari waktu ke waktu. Sering kali pula daya tahan hidup seni tradisional Riau itu justeru ditentukan oleh kemampuannya merespon perubahan sosial-budaya tersebut.

Sebagai contoh, adalah seni pertunjukan tradisional Randai Kuantan. Namanya jelas sama dengan genre pertunjukan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, dan secara historis interaksi antara masyarakat Kuantan dengan Minangkabau pada abad-abad lampau memang berlangsung intensif (Barnard: 2006). Oleh karena itu, cukup banyak orang berpendapat bahwa Randai Kuantan berasal(!) dari Sumatera Barat, dan bukan ‘seni asli’ orang Kuantan. Tetapi belakangan, setidak-tidaknya sejak awal abad ke-20, pilihan lakon dan struktur pengadeganan Randai Kuantan memiliki perbedaan yang mendasar dengan Randai Sumatera Barat. Demikian pula penglibatan khalayaknya: lingkaran pemain Randai di Sumatera Barat adalah bangunan pemisah antara ruang permainan dengan khalayaknya, dan hanya boleh diisi secara eksklusif oleh pemain yang sudah ditentukan; sedangkan pada Randai Kuantan, pemisah itu bersifat inklusif, bisa diisi oleh khalayak yang berminat berjoget(!) di celah yang menghubungkan dua adegan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan pergeseran ruang dan intensitas interaksi masyarakat rantau Kuantan, dari kebudayaan Minangkabau di hulu, dengan masyarakat dan fenomena kebudayaan Melayu di hilir (Selat Melaka dan tanah semenanjung). Lakon, struktur adegan, dan perangkat teknis perpindahan latar kejadian dalam lakonan dalam bentuk musik, nyanyi, dan joget bergeser ke ‘hilir’ yang Melayu. Manakala musik dangdut meluas, elemen-elemen musikalitas pada Randai Kuantan ikut pula mengadopsi fenomena tersebut, sehingga sampai kini Randai relatif berjaya mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat Kuantan.

Lain lagi dengan fenomena seni Barzanji, Zapin, dan lain-lain yang sangat luas dikenal di Alam Melayu. Seni-seni ini muncul setelah Islam mengalami interiorisasi di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di Riau. Artinya, penerimaan orang Melayu terhadap Islam bukan hanya penerimaan keyakinan-keyakinan dogmatis-keagamaan, tapi juga sebagai sumber bagi pemerkayaan khasanah kebudayaan Melayu itu sendiri.

Dengan demikian, semakin terbuka kawasan dan masyarakat Riau, semakin subur interaksinya dengan dunia luar, semakin berkembang jenis kesenian tradisionalnya, dan semakin rancak (capat) pula perubahan bentuk dan struktur kesenian tradisional tersebut. Sementara itu, di kawasan pedalaman yang relatif kurang tersentuh perubahan, jenis dan bentuk-bentuk seni upacara dan/atau ritual tetap bertahan. Upacara pengobatan Belian pada suku asli Petalangan dan Talang Mamak atau Bedewo (Bonai) dan Bedikei (Sakai, Hutan, dan Akit), misalnya, relatif masih bertahan dengan bentuk dan struktur aslinya, karena kawasan tempat hidup para pendukungnya berada di pedalaman dan kurang berpeluang mengakses dan berinteraksi dengan dunia luar. Hal-hal seperti ini merupakan kekayaan Riau dan memberikan peluang untuk dikaji dalam pelbagai aspek.

Genre yang relatif sama fungsinya (untuk pengobatan) juga terdapat dalam kehidupan masyarakat Melayu di kampung-kampung, yang antara lain disebut Bedukun. Tetapi strukturnya lebih padat, terutama karena ritual perjalanan pelaku utamanya (kemantan atau gemantan) tidak lagi menelusuri kompleksitas ruang vertikal menuju dunia dewa-dewa, melainkan lebih bersifat penjelajahan simbolik untuk mencari dan menemukan kuasa luar biasa di dunia horisontal yang dipercaya bermukim pada diri makhluk tertentu (manusia, harimau atau buaya penunggu, misalnya). Teratak, dusun-dusun, dan kampung adalah ruang yang menengahi kecepatan dan kelambatan perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi. Dalam konteks Bedukun, hal itu dikesankan oleh pemendekan upacara (kesadaran praksis tentang waktu, yang dialirkan oleh interaksi dengan dunia luar) dan pergeseran ruang ke dunia horisontal-mitis (kesadaran tauhid bahwa puncak kuasa tertinggi itu adalah tunggal).

Demikianlah, bentuk-bentuk seni Melayu tradisional di Riau hakikatnya tak pernah tetap dan tak mungkin dikunci dalam ruang kedap udara perubahan. Bersama waktu, hakikat ruang Alam Melayu yang terbuka dari segala penjuru, cepat atau lambat, senantiasa akan menyusupkan interaksi sebagai determinan perubahannya. Oleh karena itu, kata kunci tradisionalitas seni-seni Melayu di Riau bukanlah terletak pada dikotomi asli atau tidak asli, tetapi terletak pada proses kewujudan dan perkembangan yang membabitkan khalayaknya. Seni-seni tradisional yang berubah dari waktu ke waktu, bersama seni-seni pedalaman yang relatif tetap, merupakan khasanah yang kekayaannya melebihi apa yang dimiliki oleh kawasan Alam Melayu lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Di kedua kawasan ini, akselerasi pembangunan yang memberi berkah pada kesejahteraan masyarakat tidak diikuti dengan pemeliharaan alamiah bentuk-bentuk seni tradisional setempat. Akhir-akhir ini, upaya pemeliharaan (rekonstruksi dan revitalisasi) memang giat dilakukan di kedua negara tersebut, sebagian di antara proyek-proyek rekonstruksi itu meminjam khasanah yang ada di Riau, dan hasilnya mengalami proses modifikasi dalam kaidah-kaidah industri seni.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern