Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 November 2011

Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern

Berdasarkan bentuk dan proses penciptaannya, seni budaya Melayu di Riau dapat dikelompokkan ke dalam seni-seni tradisional dan seni-seni modern. Dalam bentuk aslinya, seni-seni tradisional hadir bersahaja, merespon lokalitas lingkungan (sosial dan alam), dan memenuhi keperluan-keperluan praksis komunitas petani subsistem serta perdagangan terbatas yang menjadi ciri utama masyarakat Riau masa lampau. Keterbukaan wilayah Riau terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat di kawasan ini mengalami interaksi yang relatif intensif dengan orang-orang dan gejala-gejala kebudayaan luar. Intensitas interaksi dengan gejala dari dunia luar tersebut mengakibatkan perubahan dan dinamika internal yang lebih rancak (cepat) secara sosio-kultural pada masyarakat Melayu di rantau ini, yang pada gilirannya mempengaruhi pula perkembangan bentuk, struktur, dan kuantitas kosa (vocabulaire) seni tradisional Melayu tersebut.

Perkembangan bentuk dan struktur yang timbul akibat interaksi sosial-budaya dengan dunia luar adalah hal yang lazim dalam setiap sejarah kesenian Riau. Oleh karena kesenian tradisional adalah produk kolektif masyarakat, dan berakar tunjang pada masyarakat yang menghasilkannya, maka perubahan-perubahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat pendukungnya akan menyebabkan bentuk dan struktur luaran kesenian tersebut juga berkembang dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesenian Melayu tradisional Riau, perubahan bentuk dan struktur tersebut merupakan respon terhadap perubahan sosial-budaya yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat di Riau dari waktu ke waktu. Sering kali pula daya tahan hidup seni tradisional Riau itu justeru ditentukan oleh kemampuannya merespon perubahan sosial-budaya tersebut.

Sebagai contoh, adalah seni pertunjukan tradisional Randai Kuantan. Namanya jelas sama dengan genre pertunjukan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, dan secara historis interaksi antara masyarakat Kuantan dengan Minangkabau pada abad-abad lampau memang berlangsung intensif (Barnard: 2006). Oleh karena itu, cukup banyak orang berpendapat bahwa Randai Kuantan berasal(!) dari Sumatera Barat, dan bukan ‘seni asli’ orang Kuantan. Tetapi belakangan, setidak-tidaknya sejak awal abad ke-20, pilihan lakon dan struktur pengadeganan Randai Kuantan memiliki perbedaan yang mendasar dengan Randai Sumatera Barat. Demikian pula penglibatan khalayaknya: lingkaran pemain Randai di Sumatera Barat adalah bangunan pemisah antara ruang permainan dengan khalayaknya, dan hanya boleh diisi secara eksklusif oleh pemain yang sudah ditentukan; sedangkan pada Randai Kuantan, pemisah itu bersifat inklusif, bisa diisi oleh khalayak yang berminat berjoget(!) di celah yang menghubungkan dua adegan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan pergeseran ruang dan intensitas interaksi masyarakat rantau Kuantan, dari kebudayaan Minangkabau di hulu, dengan masyarakat dan fenomena kebudayaan Melayu di hilir (Selat Melaka dan tanah semenanjung). Lakon, struktur adegan, dan perangkat teknis perpindahan latar kejadian dalam lakonan dalam bentuk musik, nyanyi, dan joget bergeser ke ‘hilir’ yang Melayu. Manakala musik dangdut meluas, elemen-elemen musikalitas pada Randai Kuantan ikut pula mengadopsi fenomena tersebut, sehingga sampai kini Randai relatif berjaya mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat Kuantan.

Lain lagi dengan fenomena seni Barzanji, Zapin, dan lain-lain yang sangat luas dikenal di Alam Melayu. Seni-seni ini muncul setelah Islam mengalami interiorisasi di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di Riau. Artinya, penerimaan orang Melayu terhadap Islam bukan hanya penerimaan keyakinan-keyakinan dogmatis-keagamaan, tapi juga sebagai sumber bagi pemerkayaan khasanah kebudayaan Melayu itu sendiri.

Dengan demikian, semakin terbuka kawasan dan masyarakat Riau, semakin subur interaksinya dengan dunia luar, semakin berkembang jenis kesenian tradisionalnya, dan semakin rancak (capat) pula perubahan bentuk dan struktur kesenian tradisional tersebut. Sementara itu, di kawasan pedalaman yang relatif kurang tersentuh perubahan, jenis dan bentuk-bentuk seni upacara dan/atau ritual tetap bertahan. Upacara pengobatan Belian pada suku asli Petalangan dan Talang Mamak atau Bedewo (Bonai) dan Bedikei (Sakai, Hutan, dan Akit), misalnya, relatif masih bertahan dengan bentuk dan struktur aslinya, karena kawasan tempat hidup para pendukungnya berada di pedalaman dan kurang berpeluang mengakses dan berinteraksi dengan dunia luar. Hal-hal seperti ini merupakan kekayaan Riau dan memberikan peluang untuk dikaji dalam pelbagai aspek.

Genre yang relatif sama fungsinya (untuk pengobatan) juga terdapat dalam kehidupan masyarakat Melayu di kampung-kampung, yang antara lain disebut Bedukun. Tetapi strukturnya lebih padat, terutama karena ritual perjalanan pelaku utamanya (kemantan atau gemantan) tidak lagi menelusuri kompleksitas ruang vertikal menuju dunia dewa-dewa, melainkan lebih bersifat penjelajahan simbolik untuk mencari dan menemukan kuasa luar biasa di dunia horisontal yang dipercaya bermukim pada diri makhluk tertentu (manusia, harimau atau buaya penunggu, misalnya). Teratak, dusun-dusun, dan kampung adalah ruang yang menengahi kecepatan dan kelambatan perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi. Dalam konteks Bedukun, hal itu dikesankan oleh pemendekan upacara (kesadaran praksis tentang waktu, yang dialirkan oleh interaksi dengan dunia luar) dan pergeseran ruang ke dunia horisontal-mitis (kesadaran tauhid bahwa puncak kuasa tertinggi itu adalah tunggal).

Demikianlah, bentuk-bentuk seni Melayu tradisional di Riau hakikatnya tak pernah tetap dan tak mungkin dikunci dalam ruang kedap udara perubahan. Bersama waktu, hakikat ruang Alam Melayu yang terbuka dari segala penjuru, cepat atau lambat, senantiasa akan menyusupkan interaksi sebagai determinan perubahannya. Oleh karena itu, kata kunci tradisionalitas seni-seni Melayu di Riau bukanlah terletak pada dikotomi asli atau tidak asli, tetapi terletak pada proses kewujudan dan perkembangan yang membabitkan khalayaknya. Seni-seni tradisional yang berubah dari waktu ke waktu, bersama seni-seni pedalaman yang relatif tetap, merupakan khasanah yang kekayaannya melebihi apa yang dimiliki oleh kawasan Alam Melayu lainnya seperti Malaysia dan Singapura. Di kedua kawasan ini, akselerasi pembangunan yang memberi berkah pada kesejahteraan masyarakat tidak diikuti dengan pemeliharaan alamiah bentuk-bentuk seni tradisional setempat. Akhir-akhir ini, upaya pemeliharaan (rekonstruksi dan revitalisasi) memang giat dilakukan di kedua negara tersebut, sebagian di antara proyek-proyek rekonstruksi itu meminjam khasanah yang ada di Riau, dan hasilnya mengalami proses modifikasi dalam kaidah-kaidah industri seni.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Seni Budaya Melayu Riau: tradisional dan modern

Rabu, 23 November 2011

Kesenian Riau adalah kehidupan itu sendiri Tapak Lapan

Bagaimana melihat keterkaitan kesenian dengan sistem mata pencaharian masyarakat Riau “Tapak Lapan” tersebut? Memadailah ringkasan berikut ini. Sumber pendapatan orang Melayu Riau itu berasal dari pekerjaan (1) berladang (pertanian), (2) beternak (peternakan), (3) menangkap ikan (perikanan), (4) beniro (menetek enau dan kelapa), industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (5) mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut (perhutanan), (6) berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan (perkebunan), (7) bertukang, dan (8) berniaga (perdagangan).

Dalam konsep seperti itu, masyarakat Melayu Riau tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya apabila waktu pagi mereka berkebun, sorenya mereka menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun mereka mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro (mengambil air nira). Ketika musim hujan dan tidak bisa memotong karet, maka orang Melayu melakukan kegiatan berkebun atau bertani, seterusnya ketika kemarau berkepanjangan maka saatnya orang Melayu meramu hasil hutan.

Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Ini juga merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, mereka bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. Tujuan lainnya adalah upaya orang Melayu Riau dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan, menghindari krisis tersebut untuk mencukupi dengan melakukan penggantian pekerjaan dengan pekerjaan yang lebih tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Delapan macam mata pencaharian ini, juga memperlihatkan betapa Melayu di Riau mempunyai khazanah budaya yang panjang. Budaya masyaraka Melayu tersebut adalah budaya perairan, laut (maritim), pesisir, aliran sungai, niaga (dagang), dan bandar (pelabuhan). Budaya Melayu dengan paradigma yang demikian, telah membentuk mentalitas mereka menjadi manusia yang independen, pragmatik, mudah bergerak ke mana-mana (mobil) bila bersaing, memperlihatkan kualitas teknis serta punya harga diri yang tinggi.

Dari sistem ekonomi “Tapak Lapan” tersebut, melekat peristiwa kesenian, mulai dari mitos, legenda, pantun, syair, randai hingga ke pertunjukan, dan ritual serta upacara-upacara adat. Pekerjaan berladang ada ritual dan upacara menanam padi hingga pasca menuai, antara lain betobo. Pada peristiwa menangkap ikan orang angkan bersyair seperti syair Rantau Kopa (Rokan) dan Mararuah (Rantau Kuantan). Pekerjaan beniro dimulai dengan ritual dan mantera-mantera. Pekerjaan mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut serta berkebun dimulai dengan ritual Menetau Tanah dan upacara turun ke laut. Pekerjaan bertukang juga didahului oleh menetau rumah. Begitu pula dengan berniaga orang akan menonjolkan budi bahasa.

Posisi kesenian sebagai inti dengan demikian sangat ditentukan oleh unsur lain dalam kebudayaan, seperti reliji, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Unsur seni ukir yang terdapat di ornamen-ornamen rumah Melayu eksistensinya ditentukan oleh ketersediaan alam menyediakan kayu-kayan sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian, hutan (alam) menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi terbinanya seni ukir Melayu. Hal yang sama dapat pula dihubungkan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, dan sistem pengetahuan.

Punahnya rimba kepungan sialang dan hutan pada umumnya menyebabkan terancam dan hilangnya pencaharian pengambil madu dan peladang. Seiring dengan itu, maka unsur-unsur kesenian yang melekat pada siklus pekerjaan tersebut juga ikut menghilang, karena tidak lagi dipraktekkan sebagaimana biasanya. Syair-syair dan mantera-mantera yang dilantunkan pada siklus pengambilan madu (menumbai) tak akan bisa dilantunkan lagi bila pekerjaan mengambil madu tersebut tidak lagi menjadi sistem mata pencaharian orang-orang Melayu. Upacara-upacara ritual yang melekat pada siklus kehidupan peladang, tidak akan dilakukan lagi bila orang-orang Melayu tidak menjadikan berladang sebagai sistem mata pencahariannya.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - Kesenian Riau adalah kehidupan itu sendiri Tapak Lapan

KESENIAN RIAU sebagai Permulaan

KESENIAN RIAU - Riau menjadikan kesenian sebagai titik memulai (starting point) dengan memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan lingkar inti. Sebagai inti, kesenian Riau dapat dipandang sebagai spirit terhadap siklus kehidupan orang-orang Melayu, karena unsur-unsur seni menyusup dan menghiasi hampir semua tatanan kehidupan orang-orang Melayu. Unsur seni dapat ditemukan berhubung-kait dengan sistem religius (kepercayaan). Setiap seni bagi orang Riau adalah produk gagasan, dan gagasan selalu bersumbu pada keyakinan akan sesuatu yang mutlak. Seni-seni Melayu adalah seni-seni yang terikat kepada kepercayaan ketuhanan, dan untuk sebagian besar kewujudannya bahkan mengekspresikan sekaligus memperteguh kepercayaan itu, seperti tergambar dalam sejumlah syair dan hikayat didaktik-religius Islam yang populer di tengah-tengah masyarakat Melayu.


Syair, hikayat, kayat, legenda-legenda, berbagai nyanyian rakyat, dan seluruh kekayaan tradisi lisan dan tertulis Melayu menampilkan unsur seni yang berada dalam siklus (pusaran) bahasa. Sedangkan kaitannya dengan sistem teknologi, terdapat dalam berbagai corak seni-bina (arsitektur), tenunan, dan kerajinan, yang menampilkan ornamen-ornamen serta corak-ragi yang khas. Unsur kesenian yang mengait dengan sistem pengetahuan sebagian besar terbangun dari hubungan dialogis manusia dengan alam (tumbuhan dan hewan), yang telah mengilhami lahirnya pengetahuan orang-orang Melayu Riau tentang ramuan dan obat-obatan, ilmu lebah, ilmu padi, dan sebagainya, yang tampil dalam berbagai bentuk ekspresi seni. Dalam kaitannya dengan sistem organisasi kemasyarakatan, kesenian tampil mengusung tataran nilai-nilai, norma-norma, dan pantang-larang sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Upacara-upacara adat yang menjadi ekspresi ikatan sosial dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut juga hadir dalam wujud yang estetis dan sukar dipisahkan dengan ekspresi-ekspresi seni. Sedangkan dengan sistem mata pencaharian, kesenian terhubung secara erat dengan siklus perekonomian yang digeluti orang Melayu. Melalui berbagai genre seni pertunjukan dan sastra, misalnya, batobo yang hadir sebagai seni fungsional dalam peristiwa ekonomis gotong royong, dan sangat nyata dalam peristiwa ekonomi “Tapan Lapan”. Istilah ini merupakan sebutan khusus untuk menjelaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang Melayu yang menunjukkan jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga Melayu.

Sumber :
Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu
Muhibah Seni Budaya Melayu Riau : Melayu Sejati
Elmustian Rahman dkk
Departemen Pendidikan Nasional
November 2009
BACA SELANJUTNYA di - KESENIAN RIAU sebagai Permulaan

Minggu, 12 Juni 2011

Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Oleh Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, S.H.

Pendahuluan

Pengislaman Asahan/Panai/Bilah/Kota Pinang dimulai ketika seorang puteri Panai bernama Siti Onggu diambil oleh Sultan Al Qahhar dari Aceh ketika Sultan itu baru berhasil menaklukkan benteng “Puteri Hijau” di Haru (Deli Tua). Penaklukkan itu, menurut Mendes Pinto1, terjadi pada tahun 1539 M. Kemudian diceritakan bahwa Siti Onggu hamil tua dan dibawa kembali oleh abang-abangnya. Siti Onggu kemudian melahirkan seorang anak laki-laki dan dijadikan Sultan Abdul Jalil-I, Sultan yang pertama di Asahan. Kemudian abang-abang dari Puteri Siti Onggu menjadi raja-raja Islam di Kota Pinang, Panai, dan Bilah.

Proses “Melayunisasi” (Islamisasi) di kalangan Suku Simalungun di daerah Padang/Bedagai dan Batubara dimulai dengan pengaruh komunikasi dengan penduduk Melayu di pantai, kemudian mereka berbahasa Melayu sehari-hari kemudian masuk Islam dan berpakaian cara Melayu.2 Di wilayah Deli, Langkat, dan Serdang, proses pengIslaman sekaligus Melayunisasi sudah dimulai sejak zaman Kerajaan Haru dan masa pendudukan Aceh pada abad ke-16 secara damai (melalui perkawinan dan penetration pacifique).

Raja-raja dan pembesar-pembesar Melayu mengawini puteri Sibayak/Pengulu/Perbapaan orang Karo atau Simalungun dan menjadikan mereka Islam dan putera-putera mereka dididik di dalam lingkungan istana Melayu dan kemudian diperkenalkan dengan agama Islam dan budaya Melayu. Mereka yang sudah menjadi Melayu diberikan layanan seperti orang Melayu lainnya. Bahkan kepada kepala-kepala daerah asal Batak itu yang sudah Islam dan sudah diperkenalkan kepada budaya Melayu diberikan gelar-gelar kebangsawanan Melayu seperti “Wan”, “Raja”, “Datuk”, “Orang Kaya”, “Kejeruan”.



Bahwa Wazir Berempat Kerajaan Deli, yaitu Datuk Sunggal/Serbanyaman, Datuk Sukapiring, Datuk Hamparan Perak XII Kota dan Kejeruan Petumbak adalah asal Karo masing-masing bermarga Surbakti, Sembiring, dan Barus yang dahulunya adalah Raja-raja Urung di wilayah masing-masing dan membentuk konfederasi, di mana Wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Sri Paduka Gocah Pahlawan, sejak tahun 1632 M, ditempatkan di Deli, dijadikan semacam Primus Inter Pares. Tetapi sejak Aceh diperintah oleh Raja-raja wanita, maka putera Gocah Pahlawan, bernama Tuanku Panglima Perunggit, memproklamirkan diri bahwa Deli sudah merdeka pada tahun 1699 M.

Begitulah proses tersebut berkelanjutan sampai masa kedatangan pemerintah Kolonial Belanda. Menurut Kontelir De Haan, yang mengunjungi Deli Tua, yang merupakan daerah perbatasan antara kampung-kampung Melayu dengan kampung-kampung Karo, pada tahun 1870 antara lain dituliskannya:

“……..tetapi merekapun juga terpisah dari kehidupan umum dan adat mereka makin lama makin berubah menjadi Melayu. Negeri-negeri mereka itu sebaliknya tidak disebut ’Negeri Batak’, tetapi kini disebut ’dusun’ oleh orang-orang Melayu.”3

Sultan memerintah negeri-negeri asal Batak itu secara longgar dan hanya bertindak jika ada terjadi perselisihan yang tak dapat didamaikan secara adat. Di antara Suku Batak yang paling cepat mengalami proses “Melayunisasi” ialah Suku Perdambanan antara Sungai Silau dan Sungai Silau Tua di Asahan. Hampir seluruhnya mereka dalam waktu singkat memeluk agama Islam dan menjadi Melayu pada abad ke-18.4

Pembahasan

Menurut laporan John Anderson yang dikirim pemerintah Inggris dari Penang ketika mengunjungi negeri-negeri Melayu yang masih merdeka di pesisir Timur Sumatera pada tahun 18235, Kampung Sunggal sendiri masih sebagian penduduknya suku Karo yang belum beragama, tetapi di dalam salah satu laporan pembesar Belanda semasa masih berkecamuknya Perang Sunggal melawan Belanda yang dipimpin Datuk Kecil (Datuk Matdini) pada tahun 1872, dicatat bahwa seluruh penduduk Kampung Sunggal sudah menjadi Melayu (Islam).6

Adalah politik Pemerintah kolonial Belanda mereservir Tapanuli Utara, Dairi, Tanah Karo, dan Simalungun sebagai suatu “buffer” (daerah penyangga) antara wilayah Islam di Aceh dan wilayah Islam di Selatan Sumatera dan menjadikan wilayah “buffer” itu menjadi wilayah Kristen.

Di Pantai Barat Sumatera Utara diberikan konsesi penyebaran agama Kristen kepada Rheinische Mission Gesellschaft (RMG) dari Barmen dan di wilayah Tanah Karo dan Simalungun diberikan bantuan kepada Nederlandsche Zending Gennootschap (NZG) dari Rotterdam, yang sepenuhnya biaya dibantu oleh perkebunan besar tembakau Belanda terutama Deli Maatschappij. Untuk mengamankan politik ini, Belanda menempatkan pembesar khusus urusan Batak yang disebut Controleur voor Bataksche Zaken di Kerajaan Langkat, Serdang, dan Deli, karena di daerah hulu masing-masing kerajaan itu terdapat penduduk Karo atau Simalungun yang masih perbegu.

Tetapi seperti laporan di Serdang oleh pembesar Belanda, Sultan Serdang diam-diam membendung politik Kristenisasi Belanda itu. Menurut laporan timbang terima Residen Deli-Serdang S. van der Plas 2-6-1913 dituliskan :

“Het is niet wenselyk de Maleische Zelfbestuurders hun directen invloed op de Bataks te doen uitbreiden, iets waarop zij, vooral in Serdang, steeds bedacht zijn. Ik kacht met zeer gewenscht om politieke redenen den rechtstreekschen invloed van Soeltan en Oeroenghoofden die allen Mohamedaan zijn, ook niet te versterken en veeleer de Batakdoesoens als afzonderlijke, of laat ik liever zeggen als meer bijzondere eenheeden te blijven beschouwen”.

(Tidaklah diinginkan raja-raja Melayu memperteguh pengaruh mereka secara langsung kepada orang-orang Batak, yang sebagaimana halnya di Serdang selalu agak mencurigakan. Saya ingin berdasarkan pertimbangan politik agar pengaruh langsung dari Sultan dan Kepala-Kepala Urung yang beragama Islam itu janganlah diperkuat dan dianggap saja wilayah Batak Dusun itu selaku wilayah khusus atau katakanlah sebagai wilayah kesatuan yang khusus sekali harus diperlakukan).

Hal ini disebabkan karena lambannya proses Kristenisasi di daerah hulu kerajaan-kerajaan tersebut dibandingkan dengan kemajuan dakwah Islam, seperti laporan Belanda: “De Islam heeft in het grensgebied van Boven Serdang meer resultaat dan de Zending van het Rotterdamsche Zendinggenootschap te Gunung Meriah en Kota Jurung. De animo om Christen te worden is bij de Batak bevolking van deze streken niet groot.”7 (Islam lebih berhasil di wilayah Serdang Hulu daripada Rotterdamsche Zendinggenootschap di Gunung Meriah dan Kota Jurung. Keinginan untuk masuk Kristen di kalangan penduduk Batak dalam wilayah ini tidaklah besar).

Untuk mempersiapkan agar wilayah Batak Dusun semuanya memeluk agama Kristen yang akan dihadapkan dengan wilayah pesisir Melayu yang Islam, maka politik Belanda memperbesar pertentangan antara Suku Karo dan Simalungun dengan Suku Melayu dan Belanda berpura-pura membela kedua suku itu antara lain dengan mengusulkan kepada Sultan Serdang agar di Kerapatan Dusun Serdang, yang merupakan mahkamah tertinggi untuk wilayah yang didiami Suku Karo dan Simalungun di Serdang yang diketuai oleh Sultan, ditempatkan juga wakil dari zending pendeta Belanda sebagai penasihat, hal mana ditolak oleh Sultan sebagai Ulil Amry dan Zillullah fi’l Ardh.8 Memang pada pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah, perkembangan dakwah Islam di daerah Kerajaan Serdang terutama di wilayah Serdang Hulu (Senembah-Tg. Muda dan Batak Timur) sangatlah pesatnya, terutama setelah oleh Sultan Sulaiman dibiayai perkumpulan Syairus Sulaiman di mana Mufti Kerajaan Serdang, Syeikh Zainuddin, duduk di dalamnya beserta Tengku Fachruddin untuk memajukan perkembangan Islam itu.

Di dalam Kerajaan Melayu, Sultan adalah Kalifatullah, pemimpin agama Islam di samping kepala pemerintahan dan kepala adat. Sebelum pemerintahan kolonial Barat berkuasa, hukum Syariah Islam berlaku di dalam Kerajaan Melayu dan hukum adat dipakai sepanjang tidak bertentangan dengan akidah hukum Islam itu, seperti yang dituangkan di dalam pepatah adat Melayu yaitu “Adat bersendi Syara’, dan Syara’ bersendi Kitab Allah.”

Untuk urusan agama Islam, di samping Sultan ada mufti Kerajaan, ahli hukum agama Islam, dan di daerah-daerah ada kadhi dan naib kadhi yang diangkat oleh Sultan. Setelah Belanda masuk, dibuat perjanjian yang disebut politiek contract dengan Sultan Siak, Sultan Serdang, Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Asahan, dan Yang Dipertuan Besar Kualuh serta korte verklaring (pernyataan pendek) dengan raja-raja Melayu yang kecil-kecil lainnya. Di dalam perjanjian itu disebut mana-mana hak dan kewajiban Belanda dan mana yang dipihak kerajaan. Mengenai adat dan agama Islam sepenuhnya menjadi hak dan kewajiban raja-raja Melayu itu yang tak boleh dihalangi dan dicampuri Belanda. Sejak tahun 1928 Mufti Kerajaan Serdang, Tuan Syekh Zainuddin, mendapat pensiun dan kemudian Sultan Sulaiman membentuk suatu badan kolegial “MAJELIS SYAR’I KERAJAAN SERDANG” yang diketuai oleh Tengku Fachruddin. Sultan Sulaiman lalu memindahkan wewenangnya selaku pemimpin agama Islam di Kerajaan Serdang kepada Majelis ini, sehingga Majelis ini mempunyai wewenang yang sangat luas sekali.

Di samping mengatur dan mengurus soal yang berhubungan dengan nikah, talak, dan rujuk, majelis ini juga bertindak sebagai badan mengatur Baital Mal, menentukan kapan puasa dan Hari Idul Fitri, kemudian menetapkan kadhi dan naib kadhi, serta mengurus sekolah dan machtab Islam serta mengenai harta warisan. Semua anggota majelis digaji oleh kerajaan dan Ketua Majelis Syar’i dianggap disamakan dengan status Orang Besar Kerajaan. Ketika Tengku Fachruddin meninggal dunia tahun 1937, jabatan Ketua Majelis Syar’i Kerajaan Serdang dirangkap oleh Sultan Sulaiman sendiri dan karena kesibukannya ia lalu ingin menempatkan Haji Abdul Majid Abdullah, bekas anggota Pengurus Besar PERMI, orang Minangkabau, untuk diangkat menjadi Ketua Majelis Syar’i tersebut, tetapi dilarang oleh Belanda atas anjuran dari Polisi Rahasia Belanda bagian Politik (PID) mengingat Tuan Haji Abdullah tersebut tidak bersimpati terhadap Belanda.9

Lowongan jabatan ketua itu kemudian diisi oleh Tengku Yafizham, sekembalinya beliau dari studi di Kairo pada tahun 1939. Di samping hal di atas Sultan Sulaiman Serdang juga giat membantu perkembangan pendidikan Islam dan Panti Asuhan seperti Al Jamiatul Washliyah dan baginda yang pertama kalinya mengizinkan Sarekat Islam” (SI) boleh bergerak di wilayah kerajaan Melayu di Sumatera Timur dengan berdirinya cabang Serdang yang dipimpin oleh Tengku Fachruddin. Masalah yang juga hampir membuat masyarakat Islam terpecah-belah di Sumatera Timur ialah antara “kaum muda” yang dipelopori oleh Muhammadiyah dengan “kaum tua” yang dianggap mewakili kaum ahli Sunnah wal Jamaah. Di kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur, kegiatan Muhammadiyah dan juga aliran lain selain aliran Mazhab Syafii, dilarang, juga mendirikan masjid dan Perguruan Muhammadyah. Hal ini membuat masygul hati Sultan Serdang sehingga agar jangan umat Islam terpecah-belah karena soal chilafiyah saja, diundanglah oleh Sultan Sulaiman ke Istana Kota Galuh di Perbaungan pada tanggal 5-2-1928 di mana banyak mufti-mufti dan ulama-ulama terkemuka dari tiap kerajaan Melayu yang besar di Sumatera Timur untuk bertukar fikiran mengenai masalah ini dan baginda sendiri turut hadir. Muhammadiyah boleh di Serdang.10

Melalui permohonan dari “Bangsawan Sepakat” agar di sekolah rakyat (disebut Sekolah Melayu 3 tahun) yang dibiayai oleh Kerajaan Serdang supaya diajarkan pelajaran-pelajaran agama Islam, ini segera dipenuhi oleh Sultan Sulaiman.11 Juga di Kerajaan Langkat, Sultan Musa pada akhir abad ke-19 mendirikan kompleks pesantren kaum sufi tharikat Naqsabandiyah yang dikepalai oleh Tuan Syekh Abdul Wahab Rokan. Ketika ia sepulangnya dari ibadah Haji, melepaskan tahta untuk digantikan oleh putera bungsunya Sultan Abdul Aziz, Sultan Musa lalu tinggal dan beribadat sampai mangkatnya di pesantren Babussalam tersebut.

Sultan Abdul Aziz selain mendirikan mesjid raya Aziziyah yang megah di Tg. Pura itu juga mendirikan Machtab (Kutab) Aziziyah pada tahun 1927 di Tg. Pura yang murid-muridnya banyak datang dari luar daerah (seperti almarhum bekas Wakil Presiden Adam Malik) dan dari luar negeri.

Mengingat hak dari raja-raja Melayu sebagai penguasa dalam bidang agama Islam seperti yang tercantum di dalam kontrak politik itu, maka di dalam wilayah kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur tidaklah dibenarkan mendirikan gereja Kristen, atau mengadakan propaganda agama Iain selain Islam di kalangan rakyat kerajaan yang beragama Islam. Oleh sebab itu, pada masa kolonial Belanda tidaklah janggal jika orang suku lain mencatat dirinya sebagai “Melayu” agar lebih terjamin misalnya ketika mau naik Haji ke Mekah.

“Het is onmogelijk het getal juist op te geven, daar de Bataks van de meest bescheiden havens hun reis beginnen om zich dikwijls voor Maleijers uitgeven.”12

(Agak sulit memberikan angka yang tepat, karena orang-orang Batak itu memulai perjalanan mereka dari pelabuhan-pelabuhan yang kecil sekalipun selalu mengatakan diri mereka sebagai orang-orang Melayu).

Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH, Pemangku Adat Kesultanan Serdang

Catatan Kaki:

  1. Menurut terbitan Abdullah ibn Abdulkadir Munshi oleh Penerbit DJAMBATAN (Jakarta) 1952.
  2. Lihat makalah saya dalam Seminar Dakwah Islam Se-Sumatra Utara, 29-31 Maret 1981, “Beberapa Catatan tentang Perkembangan Islam di Sumatera Utara”, juga dalam harian Analisa Medan, 10 April 1981.
  3. Lihat makalah saya: “The Kingdom of Haru and the Legend of Puteri Hijau”, dalam Kongres Sejarahwan Asia (IAHA) ke-7 di Bangkok, 25-27 Agustus 1977.
  4. E.E. McKinnon & T. Luckman Sinar, SH., “Kota Cina, Notes on Further Developments at Kota Cina”, dalam Sumatra Research Bulletin, Hull University (England), Vol.IV. No.1 Oct. 1974. Juga dalam artikel di majalah yang sama “Kota Cina-Some Preliminary Notes”, Vol. III No.1, Oktober 1975.
  5. Huzayvin, “Arabia and the Far East”, edisi M.J. de Goeje, hal. 149-150, 1906.
  6. Tibbets, “Early Muslim Traders in South East Asia”.
  7. “The Arabs and the Eastern Trade”, hal. 154 – 155.
  8. S. van Ronkel “Encyclopedy of Islam”, Jilid I, hal.551, 1927.
  9. “Shing Cha Sheng Lan” , Chapter 2, hal. 27.
  10. “Ying Yai Sheng Lan”, mengenai Haru.
  11. “Wu pei shih, ti erh pai shu shih chuan, hang hai chien hsuan”. Lihat juga J.V.Mills dalam JMBRAS XV, Part.III, 1937, hal.42.
  12. G.R.Tibbets, “Arab Navigation in the Indian Ocean”, hal. 494 (1971). Lihat juga G.R. Ferrand “Relation de Voyages”. Vol.II, hal.484-541 (1914). Lihat uraian DR.J.P.Moquette “De Grafsteen van Kloempang” dalam Bijlage H. dari Oudheidkundig Verslag, 2de en 3de kwartaal 1922 hal. 69-71.
  13. Lihat uraian DR.J.P. Moquette “De Grafsteen van Kloempang” dalam Bijlage H. dari Oudheidkundig Verslag, 2de en 3de kwartaal 1922 hal. 69-71.
  14. Lihat “Hikayat Datoek van Hamparan Perak”, dalam Catalogus Bibliotheek van het Oostkust van Sumatra Instituut no. 510. G.E.Marison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS XXIV, Part I, 1951, hal. 29-36. Lihat juga Andrew D.W.Forbes, “Southern Arabia and the Islamisation of the Central Indian Ocean Archipelagoes”, Archipel 21, 1981, hal. 62.
  15. G.E.Marison, “The Coming of Islam to the East Indies”, JMBRAS XXIV, Part I, 1951, hal. 29-36. Lihat juga Andrew D.W.Forbes, “Southern Arabia and the Islamisation of the Central Indian Ocean Archipelagoes”, Archipel 21, 1981, hal. 62.
  16. Lihat Karl Pelzer, “Planter and Peasant” (Colonial Policy and the Agrarian Struggle In East Sumatra (1863 1947)”, dalam Verhandeling KITLV no. 84. .
  17. “History of Sumatra”, hal. 42
  18. Judith Nagata, dalam BKI Deel 130, Aflevering 1, hal. 9. Lihat juga “Tabal Mahkota Asahan” dan juga C.A.Kroesen “Geschiedenis van Asahan”.
  19. “Peregrinacao”. Lihat juga “Tabal Mahkota Asahan” dan juga C.A.Kroesen “Geschiedenis van Asahan”.
  20. Lihat laporan P.A.L.E. Van Dijk “Rapport betreffende de Sibaloengoensche Landschappen Tanjong Kasau, Tanah Djawa en Si Antar”, TITLV no. XXXVII, 1893, hal. 154-155.
  21. C.De Haan, “Verslag van eene Reis in de Bataklanden”, V.B.G. 38/ I.
  22. A. Viner, “The Changing Batak”, JMBRAS Vol.52, Part.II, hal. 89 (1979).
  23. “Mission to the East Coast of Sumatra”, Edinburgh 1826.
  24. Laporan dalam “Rapport Expeditie Kolonne van Riouw in het Rijk van Deli”, MR 542, 15 Mei – 14 Juli 1872.
  25. Memorie van Overgave Kontelir Serdang J. Reuvers 4-6-1923 hal. 16.
  26. Memorie van Overgave Asisten Residen Deli-Serdang R.J.Koppenol, Augustus 1927.
  27. Berkas surat Sultan Serdang kepada Kontelir Serdang no. 79/Rahasia tgl. 25-9-1937; surat no. 79a/Rahasia tgl. 26-10-1937; surat no.9/Rahasia tgl. 28-12-1937 dan surat Kepala Reserse Sumatera Timur no. 1017/CI. tgl. 4-9-1937 kepada Kontelir Serdang.
  28. Lihat Tengku Yafizham, “Verslag Debat Faham Kaoem Moeda dan Kaoem Toea”, 5-2-1928 percetakan Sumatra Drukkerij, Medan.
  29. Memorie van Overgave dari Kontelir Serdang, Reuvers 1923 hal.23.
  30. G.K.Simons, “Der Islam wie ich ihn kennen lernte, auf Sumatra”, Barmen 1909, Rijnsche Zending.

http://www.kerajaannusantara.com/id/kesultanan-serdang/article/117-Perkembangan-Islam-di-Kerajaan-kerajaan-Melayu-di-Sumatera-Timur
BACA SELANJUTNYA di - Perkembangan Islam di Kerajaan-kerajaan Melayu di Sumatera Timur

Senin, 30 Mei 2011

Makna Berkapur Sirih Bagi Orang Melayu

Makna Berkapur Sirih Bagi Orang Melayu - Dalam kehidupan orang melayu dikenal sebagai sebuah tradisi yang disebut dengan berkapur sirih, yaitu tradisi makan sirih yang diramu dengan kapur dan pinang. Tradisi makan sirih merupakan warisan budaya masa silam, lebih dari 300 tahun yang lampau hingga sat ini.

Budaya makan sirih hidup di Asia Tenggara. Pendukung budaya ini terdiri dari berbagai golongan, meliputi masyarakat kelas bawah, pembesar negara, serta kalangan istana.

Tepak sirih digunakan sebagai perangkat yang tidak boleh dilupakan dalam acara-upacara resmi adat. Oleh karena tepak sirih merupakan simbol yang memiliki arti penting, maka pemakaiannya tidak bileh sembarangan.

Didalam tepak sirih terdapat beberapa perlengkapan yang lainnya seperti cembul yang berjumlah empat atau lima yang digunakan untuk tempat menyimpan pinang, gambir, kapur, tembakau, dan bunga cengkeh. Bekas sirih yang digunakan untuk menyimpan sirih. Kacip, yang merupakan alat yang berfungsi sebagai pisau untuk memotong dan menghiris buah pinang atau obat-obat tradisional yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan.

Gobek, adalah tempat sirih yang telah dilengkapi dengan kapur, gambir, pinang, dan cengkeh. Ketur, adalah tempat berludah. Orang yang memakan sirih pasti akan sering mengeluarkan ludah yang berwarna merah, pekat, dan kotor.

Didalam tradisi makan sirih sering disebut dengan ramuan berkapur sirih, yang biasanya dilengkapi dengan sirih, pinang, gambir, tembakau dan kapur. Semua ramuan atau bahan yang digunakan dalam berkapur sirih memiliki makna dan falsafah tersendiri, yang mana sirih memiliki lambang sifat rendah hati, memberi, serta selalu memuliakan orang.

Makna ini ditafsirkan dari cara tumbuh sirih yang memanjat pada para-para,batang pohon sakat, atau batang pohon api-api yang digemarinya, tanpa merusakkan batang atau apapun tempat ia hidup.

Kapur yang memberi lambang hati yang putih bersih dan serta tulus, tetapi jika keadaan memaksa, ia akan berubah menjadi lebih agresif dan marah.

Gambir memiliki rasa pahit melambangkan kecekalan atau keteguhan hati. Makna diperoleh dari warna daun gambir kekuning kuningan. Dimaknai bahwa sebelum mencapai sesuatu, kita harus sabar melakukan proses untuk mencapainya.

Pinang melambangkan keturunan orang yang baik budi pekerti, jujur,serta memiliki derajat tinggi. Bersedia melakukan suatu pekerjaan dengan hati terbuka dan bersungguh sungguh. Makna ini ditarik dari sifat pohon pinang yang tinggi lurus keatas serta mempunyai buah yang lebat dalam setandan.

Tembakau melambangkan hati yang tabah dan bersedia berkorban dalam segala hal. Ini karena daun tembakau memiliki rasa yang pahit dan memabukkan bila diiris halus sebagai tembakau,dan tahan lama disimpan. (RiauInfo.Com)

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/makna-berkapur-sirih-bagi-orang-melayu.html
BACA SELANJUTNYA di - Makna Berkapur Sirih Bagi Orang Melayu

Kamis, 26 Mei 2011

Mengenal Tuah Pantun Melayu

Pantun merupakan bentuk sastra lisan Melayu yang masih hidup ditengah masyarakatnya. Disamping sebagai bahasa hiburan, kelakar, sindiran, pelampiasan rasa “rindu dendam” antara bujang dan dara. Pantun juga dijadikan media dakwah dan tunjuk ajar. Penyampaian aqidah islam, nilai luhur budaya dan norma-norma social adalah salah satu bentuknya.

Melalui kegemaran berpantun ini, para ulama, pemuka adat dan cerdik pandai tanah Melayu menanamkan serta meyebarluaskan ajaran islam, termasuk nilai-nilai luhur budaya kepada masyarakatnya. Mereka menjelaskan bahwa nilai luhur budaya melayu tidak dapat dipisahkan dari ajaran agama islam, sebab sumber dan punca dari keseluruhan nilai-nilai luhur dimaksud adalah islam. Sesuai dengan ungkapan “Elok Budaya Karena Agama, Elok Adat Karena Kiblat.”

Pantun yang berisikan dakwah dan tunjuk ajar ini disebut pantun berisi atau pantun tunjuk ajar atau pantun nasehat. Penyampaiannya dilakukan secara bervariasi, seperti pantun nyanyian, pantun adat, pantun kelakar, pantun nasehat dan pantun berkasih-sayang, termasuk pantun mantra (monto).

Penggunaan kata dalam setiap bait pantun cukup terbatas, namun mereka (orang tua-tua melayu) mampu mengentalkan isinya sehingga mudah dipahami. Hal ini tidak lepas dari keterlibatan mereka sejak kecil dalam ikhwal pantun memantun. Sehingga memberi peluang untuk meningkatkan kemampuan dalam hal menjalin berbagai isi pantun. Menjalin unsure-unsur dakwah dan tunjuk ajar kedalam sebuah pantun menjadi kelebihan tersendiri bagi masyarakat melayu, dan bukan suatu keheranan bila kebanyakan orang tua melayu mampu berpantun secara spontan.

Sesekali sarat hiburan, pantun pun dijadikan sebagai media pembelajaran dan pelatihan kecakapan diri. Dalam berbalas pantun, sering terjadi semacam ujian terhadap kemampuan seseorang menjawab pantun yang “dijual” lawannya itu. Dengan demikian ia dilatih untuk berfikir secara cepat supaya dapat membalas dan menjual pantunnya. Hal ini lambat laun menyebapkan ia memiliki kemampuan untuk berpantun secara otomatis. Ia terbiasa berfikir cepat , menyusun pantun dalam waktu singkat kemudian memantunkannya secara spontan.

Pantun memantun lambat laun menjadi kebiasaan dalam pembicaraan sehari-hari komunitas melayu. Mereka dalam melakukan percakapan diselingi dengan pantun memantun sesuai dengan isi pembicaraannya. Kebiasaaan ini berlanjut dan semakin mengokohkan peranan pantun dalam kehidupan mereka. Bahkan, sebagian orang tua-tua itu mengatakan, bila percakapan tidak diselingi pantun memantun, maka pembicaraan itu terasa hambar. Karenanya dalam berbual mereka meyelipkan pantun, yang mereka sebut sebagai “pemanis cakap” yang hakekatnya menyampaikan isi tertentu pula.

Dimasukkannya pantun dalam percakapan semakin membuka peluang penyampaian dakwah dan tunjuk ajar melalui pantun. Sebutan “pemanis cakap,” “pelemak kata,” “penyedap bual,” dan “bunga cakap,” tidak lah bermakna mengecilkan arti pantun, tetapi sebaliknya semakin mengokohkan peranan pantun itu sendiri. Apalagi pantun-pantun yang disampaikan didalam perbualan itu adalah pantun pilihan yang isinya sarat dengan berbagai pesan, petunjuk, petuah, amanah, yang hakekatnya mengandung unsur dakwah pula.

Hal ini menunjukkan, bahwa pemakaian pantun amatlah luas. Sehingga pemanfaatannya sebagai media dakwah dan tunjuk ajar amatlah tepat, karena mampu menembus semua lapisan masyarakat. Penegasan pemanfaatan dan pemakaian pantun sebagai media dakwah dan tunjuk ajar itu, tercermin dalam ungkapan :

“apa guna pantun dibuat, pantun dibuat mengajari umat:
mengajari ilmu dunia akhirat
mengajari syarak beserta adat
mengajari orang mengenal kiblat
mengajari amal serta ibadat
supaya hidup tidak tersesat
bila mati beroleh rahmat”

“apa guna pantun dipakai, menunjuk mengajar orang ramai:
supaya beragama tiada merampai
supaya beramal tiada lalai
supaya budi elok perangai
supaya memakai pada yang sesuai
supaya hidup rukun dan damai"

penegasan orang tua-tua melalui ungkapan diatas semakin mengokohkan peranan pantun sebagai media dakwah dan tunjuk ajarnya. Hal ini mendorong pakar-pakar pantun memasukkan unsur dakwah dan tunjuk ajar kedalam setiap pantunnya. Semakin sarat pantun itu dengan nilai-nilai luhur, semakin banyaklah orang menyukainya. “pantun berisi” ini kemudian disebarluaskan ketengah-tengah masyarakat, didendangkan melalui nyayian, diselipkan dalam perbualan, dibahas dalam musyawarah adat, diuraikan dalam pengajian dan sebagainya. Pantun-pantun ini diwariskan turun temurun, dibukukan oleh masyarakatnya.

Kekalnya pantun melayu, tak lain karena kandungan isinya yang berpunca dari ajaran agama islam dan adat istiadatnya, yang “tidak lapuk oleh hujan dan tidak lekang oleh panas.”

Penjelasan ini memberi petunjuk, bahwa hakekatnya, pantun yang berkekalan adalah pantun yang kandungan isinya adalah nilai-nilai luhur yang abadi, sedangkan yang lainnya, tidaklah dapat bertahan lama. Setidak-tidaknya akan berubah menurut perubahan zaman dan masyarakatnya. Hal ini mendapat penegasan dalam ungkapan “kalau pantun bermain-main, ia berubah menurut anginnya,” atau dikatakan “kalau sekedar pantun kelakar, setiap musim ia bertukar.” (dari berbagai sumber)

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2009/04/mengenal-tuah-pantun-melayu.html
BACA SELANJUTNYA di - Mengenal Tuah Pantun Melayu

Minggu, 22 Mei 2011

Nandong Kuantan Singingi

Para ibu di Kabupaten Kuantan Singingi tempo dulu selalu menidurkan anaknya dengan nandong. Nandong atau senandung adalah melagukan berbagai pantun dan syair terhadap anak yang sedang dibuai, agar anak yang sedang dibuai segera tertidur dengan pulas. Alunan lagu nandong (senandung) membuat anak larut dalam irama yang indah, sehingga dengan mudah tertidur dalam ayunan. Maka anak diantar tidur tidak dengan suasana hampa, tapi diberi muatan nilai-nilai yang luhur seperti yang terkandung dalam bait sayair dan pantun.

Membuai anak ada masa itu (juga sekarang) dilakukan pertama dengan membuat buaian dari kain panjang. Yang kedua dengan perahu yang sudah pecah atau tidak terpakai lagi. Untuk kain panjang tinggal hanya memberi tali lalu diikatkan kepada pelancar (peran yang melalui pada bagian tengah rumah). Sedangkan pada perahu pecah atau sengaja dibuat dari kayu, diberi tali berupa rotan, lalu digantungkan juga pada peran itu. Kebaikan dari buaian yang terbuat dari perahu pecah atau papan adalah dapat memuat beberapa orang, sang ibu pun dapat duduk didalamnya sambil berbuai dengan anaknya.
Buah Nandong yang dilantunkan sangat sarat akan makna, seperti terkadung pesan pituah terhadap anak tentang cara mengarungi samudra kehidupan. Adapun contoh buah nandong itu adalah sebagai berikut:

Omua la kito poi mandi
Mandi jangan bakubang tana
Omua la kito poi mangaji
Mangaji jangan buek pitona

Sinurak sinurai mandi
Mandi batimbo kelipak upia
Anak dilope poi mngaji
Longkok jen juba saroban putia

Anyuik somuik ba-rangkai2
Anyuik enyo takambang juo
Tuntuik elemu babagai-bagai
Ujud nan enyo satu juo

Asam kandi asam galuguar
Katigo asam cabodak
Manangi moik dipintu kubuar
Mangonang badan akan rorak

Jatua siludang pinang tinggi
Jatua kalaman rajo-rajo
Ponek samboyang potang pagi
Indak bariman paya sajo

Tobang tobu sampai ke ujuang
Samai ujuangnyo ke malaka
Tuntuik alemu gantikan payuang
Payuang pandendeng api naroko

Tobong tobu tingi-tinggi
Tobang rumbio ke pangkal2
Tuntuik alemu samaso kini
Iduik di dunio indakkan kokal

Banyaklah ari pakaro ari
Ari jumaat ari kito
Banyak nobi pakaro nobi
Nobi Muahammad nobi kito

Banyaklah bulan pakaro bulan
Bulan puaso bulan kito
Banyaklah tuhan pakaro tuhan
Tuhan nan oso tuhan kito

Elok mandi dalam ukotu
Elok mamakai basaan kain
Elok mati dalam baguru
Masuak sirugo janatun naim

Mantimun tagantuang-gantuang
Tagantuang dipintu rangkiang
Iduik di dunio ba-kampuang2
Dalam kubuar tabariang surang

Tanam pitulo di ujuang lobua
Abi dimakan dek biawak
Masuak sirugo jen amal togua
Masuak naroko dek laku awak

Kayu ketek rimbun daun
Samo rimbun jen bungonyo
Sojak ketek babilang taun
Indak samboyang apo gunonyo

Omuala kito poi baburu
Ruso nan banyak di dalam utan
Omuala kito poi baguru
Doso nan banyak didalam badan

Rotan soni dibola ompek
Pucuak manjulai ka suborang
Tuhan dicari indakkan dapek
Tuhan balinduang di tonga torang

Elokla bonar mansojik Moka
Tiang di tonga saruang-ruang
Elokla bonar urang ka Moka
Oji dapek doso tabuang

Hasan jo Husin anak Ali
Mati baorang sabilula
Samonjak lamo ditinggal nobi
Banyak agamo nan baruba

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2009/03/nandong-kuantan-singingi.html
BACA SELANJUTNYA di - Nandong Kuantan Singingi

Rabu, 18 Mei 2011

Pantun Karya Sastra Melayu Riau

Pantun Karya Sastra Melayu Riau, Anak Melayu mana yang tidak tahu tentang pantun sebuah puisi Melayu sejati yang sampai sekarang masih digunakan dan membudaya dalam masyarakat. Saya pernah menjelaskannya pada postingan terdahulu Mengenal Tuah Pantun Melayu. Jadi pantun digunakan untuk mengambarkan pelbagai keadaan dan kegunaan seperti melahirkan perasaan sedih, gembira, rindu, berkasih dan memberi nasihat. Pantun juga digunakan dalam lirik-lirik lagu seperti lagu sri mersing dan dalam lirik lagu rasa sayang. Juga pada seni teater klasik Melayu Rantau Kuantan, yakni Randai Kuantan

Pantun adalah salah satu Karya Sastra Melayu Klasik, ciri-ciri pantun adalah sajak a-b-a-b atau a-a-a-a. Dua baris awal merupakan sampiran, umumnya tentang alam (flora dan fauna); dua baris ujung bagian isi, sebagai tujuan pantun. Contoh Pantun Melayu Rantau Kuantan bisa anda simak dibawah ini:

Ditutuah buluah botuang badotak-dotak
Ayam bakukuak di bawah dapuar
Sangek baruantuang urang pokak
Mariam babunyi enyo tatiduar

(ditebang buluh betung berdetak-detak
ayam berkokok di bawah dapur
sangat beruntung orang pekak
meriam berbunyi dia tertidur)

Pada dasarnya ada beberapa jenis pantun seperti Seloka - Karya Sastra Melayu Klasik: Seloka Merupakan bentuk puisi Karya Sastra Melayu Klasik, berisi pepetah ataupun perumpamaan mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Lumrahnya ditulis empat baris menggunakan bentuk pantun atau syair, kadang kala bisa juga ditemukan pada seloka yang ditulis lebih dari empat-baris. Contoh Pantun Seloka:

Anak pak dolah makan lepat
makan lepat sambil melompat
nak hantar kad raya dah tak sempat
pakai sms pun ok wat ?

Talibun - Karya Sastra Melayu Klasik: Sejenis puisi lama seperti pantun sebaba memiliki sampiran dan isi, tapi lebih dari 4-baris (bisa 6-20 baris). Berirama abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, seterusnya. Contoh:

Kalau anak pergi ke pekan
Yu beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi berjalan
Ibu cari sanakpun cari
Induk semang cari dahulu

Pada setiap jenis pantun mempunyai isi dan maksud yang berbeda-beda tergantung dari jenis pantun. Maka pantun merupakan salah satu alat komunikasi yang cukup efektif untuk mengemukakan pendapat atau melancarkan kritik. Hal ini sudah mentradisi dalam masyarakat Melayu sejak zaman dahulu.

Pada zaman sekarang pantun sebagian besar masyarakat melayu diriau masih menggunakan pantun, tetapi bukan lagi sebagai bahasa pergaulan tetapi pantun dipakai oleh pemuka adat dan tokoh masyarakat dalam pidato, dalam acara meminang dan dalam acara melangsungkan pernikahan.

Di setiap acara pernikahan pantun sering digunakan sebagai pemuka sebelum mempelai laki-laki masuk kedalam rumah mempelai perempuan. Hal ini dilakukan kerena pernikahan adalah adat-istiadat yang sakral bagi masyarakat melayu.

Anak- anak muda sebagai penerus bangsa hendaknya mempelajari pantun, karena pantun merupakan sastra masyarakat melayu sebagai warisan oleh nenek moyang pada zaman dahulu.

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/pantun-karya-sastra-melayu-riau.html
BACA SELANJUTNYA di - Pantun Karya Sastra Melayu Riau

Sabtu, 14 Mei 2011

Pantun Dalam Kehidupan Orang Melayu

Peranan Pantun Dalam Kehidupan Orang Melayu - Hakikatnya, peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu adalah untuk menyampaikan pesan-pesan moral yang sarat berisi nilai-nilai luhur agama, budaya dan norma-norma sosial masyarakatnya. Melalui pantun, nilai-nilai luhur itu disebarluaskan ke tengah-tengah masyarakat, diwariskan kepada anak cucunya. Selain itu, pantun berperanan pula dalam mewujudkan pergaulan yang seresam, mengekalkan tali persaudaraan, hiburan serta penyampaian “aspirasi” masyarakat.

Orang tua-tua mengatakan dengan pantun banyak yang dituntun. Di dalam ungkapan dikatakan pantun dipakai membaiki perangai atau pantun mengajar bersopan santun.

Di dalam penyebarluasan agama, pantun berperanan pula untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan seperti tercermin dalam ungkapan melalui pantun syarak menuntun.

Untuk melihat sejauh mana peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu, dapat disimak dari untaian ungkapan berikut:

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian adat
Apa guna orang berpantun
Untuk mengingat petuah amanat

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain dan baju
Apa guna orang berpantun
Untuk mengangkat tuah Melayu

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian budak
Apa guna orang berpantun
Untuk mengajar hukum dan syarak

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain cindai
Apa guna orang berpantun
Untuk membaiki laku perangai

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat pakaian nikah
Apa guna orang berpantun
Untuk menyampaikan petuah amanah

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain pelekat
Apa guna orang berpantun
Untuk mengkaji adat istiadat

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain selerang
Apa guna orang berpantun
Untuk mengisi mana yang kurang

Apa guna orang bertenun
Untuk membuat kain dan baju
Apa guna orang berpantun
Untuk menimba berbagai ilmu

Kalau orang melabuh pukat
Carilah pancang kayu berdaun
Kalau kurang mengetahui adat
Carilah orang tahu berpantun

Kalau kayu hendak ditarah
Keratlah cabang dengan daunnya
Kalau ilmu hendak bertambah
Dekati orang dengan pantunnya

Apalah guna daun kayu
Untuk tempat orang berteduh
Apalah guna pantun Melayu
Untuk tempat mencari suluh

Di dalam untaian syair tunjuk ajar dikatakan:

Wahai ananda dengarlah pesan
Pantun Melayu jangan tinggalkan
Pakai oleh mu untuk pedoman
Di dalamnya banyak tunjuk ajaran

Wahai ananda intan dikarang
Pantun Melayu jangan dibuang
Di dalamnya banyak amanah orang
Untuk bekalmu di masa datang

Wahai ananda kekasih ibu
Pakai oleh mu pantun Melayu
Di dalamnya banyak mengandung ilmu
Manfaatnya besar untuk diri mu

Wahai ananda permata intan
Pantun Melayu jangan abaikan
Di dalamnya banyak mengandung pesan
Pegang olehmu jadi pedoman

Wahai ananda cahaya mata
Pantun Melayu jangan dinista
Isinya indah bagai permata
Bila dipakai menjadi mahkota

Wahai ananda bijak bestari
Pantun menjadi suluh negeri
Ilmu tersirat payah dicari
Bila disemak bertuahlah diri

Wahai ananda dengarlah amanat
Pantun memantun sudah teradat
Di dalamnya banyak berisi nasihat
Bila dipakai hidup selamat

Selanjutnya dalam untaian ungkapan adat dikatakan:

Apa tanda Melayu jati
memanfaatkan pantun ia mengerti

Apa tanda Melayu jadi
dengan pantun menunjuk ajari

Apa tanda Melayu jati
dengan berpantun ilmu diberi

Apa tanda Melayu jati
dengan berpantun membaiki budi

Apa tanda Melayu jati
dengan pantun membaiki pekerti

Apa tanda Melayu bermarwah
dengan pantun menyampaikan dakwah

Apa tanda Melayu bertuah
dengan pantun memberi petuah

Apa tanda Melayu bertuah
dengan pantun memberi amanah

Apa tanda Melayu bertuah
dengan pantun menyampaikan sunah

Apa tanda Melayu beradat
dengan pantun memberi nasihat

Apa tanda Melayu beradat
dengan pantun meluruskan kiblat

Apa tanda Melayu beradat
dengan pantun membangkitkan semangat

Apa tanda Melayu beradat
dengan pantun membaiki umat

Apa tanda Melayu terbilang
dengan pantun mengajari orang

apa tanda Melayu terbilang
dengan pantun mencelikkan orang

Apa tanda Melayu berbudi
dengan pantun membaiki diri

Apa tanda Melayu berbudi
dengan pantun mencari kaji

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun menerangi jalan

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun memberi amaran

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun mengenal Tuhan

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun membuka jalan

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun memberi pedoman

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun memberi pelajaran

Apa tanda Melayu beriman
dengan pantun ilmu disempurnakan

Apa tanda Melayu bersifat
dengan pantun ia berwasiat

Apa tanda Melayu bersifat
dengan pantun memberi ingat

Apa tanda Melayu pilihan
dengan pantun ilmu diturunkan

Apa tanda Melayu pilihan
dengan pantun ilmu disampaikan

Apa tanda melayu pilihan
dengan pantun ilmu dikembangkan

Ungkapan-ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu. Melalui pantun, tunjuk ajar disebarluaskan, diwariskan, dan dikembangkan. Melalui pantun pula nilai-nilai luhur dikekalkan dan disampaikan kepada anggota masyarakatnya.

Acuan ini menyebabkan pantun Melayu, apa juga jenisnya, tetap mengandungi nilai-nilai luhur yang patut dan layak dijadikan pegangan oleh masyarakatnya. Kerananya orang tua-tua mengatakan bahwa di dalam pantun kelakar atau pantun sindiran atau pantun remaja, tetaplah terkandung nilai-nilai luhur itu. di dalam ungkapan dikatakan di dalam kelakar terdapat tunjuk ajar; di dalam seloroh ada petaruh; di dalam menyindir, terdapat tamsil. Maksudnya, di dalam pantun kelakar, pantun yang bersifat seloroh dan sindir-menyindir ataupun pantun remaja, tetap terdapat nilai-nilai luhur yang dijunjungi masyarakat, walaupun kebanyakannya tidak sesarat yang ada di dalam pantun tunjuk ajar atau pantun adat dan sejenisnya. Sudah difahami orang Melayu, dalam berpantun haruslah tetap menampilkan nilai-nilai luhurnya, menampilkan budi pekerti dan perilaku terpuji. Dalam ungkapan dikatakan di dalam berpantun, ingat sopan santun. Ungkapan lain menegaskan pantang Melayu membuang cakap, maksudnya dipantangkan bagi orang Melayu berkata yang tidak berfaedah, termasuk dalam pantun memantun. Dengan demikian, walaupun pantun itu bersifat pantun kelakar, misalnya, di dalamnya tetap terkandung nilai-nilai moral, setidak-tidaknya pantun itu tetaplah mengacu pada sopan santun Melayu. Acuan ini menyebabkan pantun semakin berperanan dalam kehidupan orang Melayu.

Dalam pantun “sindir-menyindir” misalnya, terdapat kritikan-kritikan dan “sindiran”, baik terhadap sesama anggota masyarakat mahupun terhadap penguasaannya. Namun, kritik dan sindiran dimaksud dilakukan secara halus dan penuh kesopanan, tidak mengghina dan menista, apalagi membuka aib malu orang, dan sebagainya yang dapat menimbulkan pertelingkahan atau perpecahan. Dalam ungkapan dikatakan menyindir jangan mencibir, maksudnya, menyindir ataupun mengkritik orang lain jangan menghina. Ungkapan lain menegaskan dalam menyindir gunakan fikir, maksudnya, menyindir atau mengkritik janganlah semena-mena, tetapi dilakukan secara arif dan benar, menggunakan akal dan fikiran, tidak memfitnah membabi buta dan sebagainya.

Acuan ini semakin menunjukkan betapa besarnya peranan pantun dalam kehidupan orang Melayu, kerana melalui pantun “aspirasi” masyarakat dapat disalurkan dengan baik tanpa menimbulkan perpecahan ataupun perselisihan antara sesamanya.

Peranan lain dari pantun adalah untuk “ajuk mengajuk” antara bujang dan dara. Lazimnya acara dilakukan dalam kesempatan tertentu di mana bujang dan dara berpeluang berbalas pantun. Dalam kesempatan itulah mereka “ajuk mengajuk” hati masing-masing yang sering berlanjut menjadi ikatan batin, pertunangan dan perkahwinan.

Pantun remaja (bujang dan dara) ini pun hendaknya dilakukan secara sopan dan santun serta halus, penuh dengan ungkapan-ungkapan. Orang tua-tua mengatakan dalam berbalas pantun, ingat sopan santun. Ungkapan lain mengatakan tanda orang baik hati, dalam berpantun ia berbudi atau bila hendak tahu orang berbudi, pantunnya mengandung budi pekerti.

Dalam mendendangkan anak atau menidurkan anak (dahulu lazimnya di dalam ayunan), orang tuanya membawakan lagu-lagu yang bait-bait pantunnya mengandung doa, petuah amanah, sebagai cerminan menanamkan nilai-nilai luhur mereka kepada anaknya sejak dini.

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/pantun-dalam-kehidupan-orang-melayu.html
BACA SELANJUTNYA di - Pantun Dalam Kehidupan Orang Melayu

Selasa, 10 Mei 2011

Seni Budaya Kuansing: Seni Teater Tradisional Randai Kuantan Singingi Riau

Gesekan Piual—Biola, hentakan pukulan Gondang dan tiupan lapri (Serunai), diiringi langkah tari merupsakan ciri khas tersendiri dari Randai Kuantan. Salah satu bentuk kesenian rakyat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi. Randai Kuantan merupakan kesenian rakyat yang komunikatif, lahir dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Kuantan. Randai Kuantan membawakan suatu cedrita yang sudah disusun sedemikian rupa dengan dialog dan pantun logat Melayu Kuantan, disertai lagu-lagu Melayu Kuantan sebagai paningkah babak-babak cerita.

Memang suatu pertunjukan kesenian rakyat yang membuat kita pun ingin ikut bergoyang melihatnya, bahkan mengelitik hati. Tak urung gelak tawa pun akan keluar dengan seketika. Cerita yang dibawakan biasanya sudah melekat di hati orang Rantau Kuantan, sehingga randai sudah begitu akrab di tengah-tengah masyarakat.
Tak di ketahui secara pasti, kapan randai mulai ada di daerah ini. Tetapi apabila menilik dari sejarah, maka randai ini telah ada semenjak zaman penjajahan Belanda dulu. Randai di pergerlarkan dalam acara pesta perkawinan, sunatan, doa padang, kenduri kampung dan acara lainnya yang di anggap perlu untuk menampilkan Randai.

Seni Budaya Kuansing Randai Kuansing biasanya dilaksanakan pada malam hari, memakan waktu 2 hingga 4 jam. Disinilah orang sekampung mendapat hiburan dan bisa bertemu dengan kawan-kawan dari lain desa. Berhasilnya sebuah pertunjukan tidak terlepas dari peran serta pemain, pemusik dan penontonnya. Untuk sebuayh ceriata yang akan dibawakan biasanya memakan waktu latihan sekitar satu bulan atau lebih. Memang waktu latihannya tidak setiap hari, rutinnya hanya pada malam Ahad.

Tetapi apabila akan mengadakan pertunjukan maka waktu latihannya akan ditambah sesuai dengan kesepakatan bersama. Dengan jumlah anggota 15 sampai 30 orang untuk satu tim randai, terdiri dari penari, pemusik, dan tokoh dalam cerita. Jumlah tokoh tergantung cerita yang dibawakan. Biasanya jumlah pemusik tetap. Satu Piual, 2-3 gendang, satu peniup lapri.

Keunikan randai memang mempunyai daya tarik tersendiri dibandingkan denga kesenian rakyat lainnya yang hidup di Rantau Kuantan. Antara lain adalah, adanya tokoh wanita di perankan oleh laki-laki yang berpakaian wanita, dan sindiran-sindiran terhadap pejabat dalam bentuk pantun.

Tokoh wanita yang diperankan laki-laki ini dimaksudkan untuk menjaga adat dan norma-norma Agama. Karena latihan pada malam hari dan pertunjukan juga pada malam hari, sehingga kalau ada anak dara yang tampil ini merupakan suatu yang tabu bagi masyarakat. Selain itu juga untuk menjaga supaya hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi.

Sewaktu pementasan para Anak Randai membentuk lingkaran dan menari sambil mengelilingi lingkaran, sehingga pemain tidask berkesan berserakan dan terlihat rapi. Menyaksikan Randai Kuantan kita akan terbuai dan merasakan suasana kehidupan desa. Bermain, kebun karet, bergurau, bersorak sorai serta berbincang, tentu dengan lidah pelat Melayu Kuantan. Sehingga perantau yang pulang kampung ke Rantau Kuantan tak pernah melawatkan pertunjukan ini.

Untuk menyaksikan pertunjukan Randai Kuantan bukanlah hal yang sulit, karena Randai Kuantan sampai saat ini tetap banyak didapatkan di Rantau Kuantan, bahkan pada saat ini hampir setiap desa mempunyai kelompok randai.
Sebuah kelompok Randai juga mempunyai sutradara yang mengatur jalan cerita sebuah pertunjukan randai. Sutradara atau peramu cerita harus mempunyai wawasan yang luas terutama dalam hal pengembangan dialog dan pantun. Tidak hanya itu, dia sedikit banyak juga harus mengerti tentang peralatan alat musik yang digunakan. Disinilah sutradara dituntut untuk menampilkan yang terbaik. Sehingga penonton tidak merasa bosan dengan alur ceritanya.

Peran pemerintah untuk melastarikan kesenian tradisonal Kuantan ini memang ada. Terbukti dengan diperlombakannya kesenian ini pada setiap Festival Pacu Jalur di Teluk Kuantan. Disinilah mereka bisa menguji kemampuan kelompoknya untuk menjadi yang terbaik. selain itu pada Festival Budaya melayu (FBM) 1997 di Pekanbaru, randai juga diikutsertakan mewakili kontingen Inderagiri Hulu—sebelum mekar menjadi Kuantan Singngi.

Masyarakat Rantau kuantan sering kali mengadakan hajatan dengan mengundang sebuah kelompok Randai. dengan demikian mereka tidak merasa jenuh dengan latihan saja, mereka juga akan mandapat masukan berupa uang lelah sebagai ucapan terima kasih. peran masyarakat setempatlah yang sebenarnya paling dominan. sehingga Randai Kuantan tetap melekat dihati masyarakat.

Tinggi la Bukik si Batu Rijal
Tompek Batanam Si Sudu-sudu
Abang Kan Poi Adiak Kan Tinggal
Bajawek Solam Kito dahulu

Itulah sala satu pantun dalam Randai Kuantan yang bercerita tentang Ali Baba dan Fatimah Kayo. Cerita ini mengisahkan perjalanan hidup sepasang suami istri yang hidup di Kampung Kopah Teluk Kuantan.
Saat ini Randai Kuantan masih tetap eksis, malah telah samapai ke manca negara, dan punggawai oleh Fakhri Semekot dan kawan-kawan.Semoga Bermanfaat!!!

Post Original dari Postingan www.sungaikuantan.com : Randai Kuantan
http://www.sungaikuantan.com/2008/09/randai-kuantan.html
BACA SELANJUTNYA di - Seni Budaya Kuansing: Seni Teater Tradisional Randai Kuantan Singingi Riau

Sabtu, 07 Mei 2011

Sutan Nan Garang dalam Randai Taluk Kuantan

Sutan Nan Garang adalah sebuah Cerita Rakyat yang dibawakan dalam seni teater tradisional Kuantan Singingi, yaitu Randai Kuantan. Berikut ini adalah sebuah makalah tentang Cerita "Sutan Nan Garang" dalam Randai Kuantan, Kab. Kuantan Singingi yang ditulis oleh Yulita Fitriana


1.PENGANTAR
Cerita rakyat merupakan salah satu bentuk folklor. Cerita ini hidup dan tersebar di dalam masyarakat melalui penceritaan secara lisan dari generasi ke generasi. Menurut William R. Bascom (Danandjaja, 1984:50) cerita rakyat tersebut dapat berbentuk mite, legenda, atau cerita dongeng. Sementara tokohnya dapat berupa manusia dan juga binatang, seperti pada cerita fabel.

Di dalam penyampaiannya, cerita rakyat dapat diceritakan tanpa persyaratan tertentu. Cerita dapat disampaikan oleh siapapun yang mengetahui cerita tersebut, kepada siapapun, dalam situasi apapun tanpa diiringi oleh alat apapun. Akan tetapi, ada pula cerita rakyat yang ditampilkan ke hadapan penikmatnya dengan cara tertentu dan dengan dukungan alat-alat tertentu. Salah satu bentuk penyampaian cerita yang ada di Kuantan Singingi adalah randai.

Menurut Hamidy (1980:7) randai berasal dari kata berandai-andai, yang berarti ‘yang diumpamakan’ atau ‘yang dimisalkan’. Pendapat tersebut didasari pada bentuk permainan randai yang para pemainnya mengandaikan sebagai orang lain.
Randai adalah bentuk tradisi lisan yang berasal dari Minangkabau. Melalui daerah Kampar, randai ini berkembang sampai ke Kuantan Singingi, Provinsi Riau. Di daerah ini randai mengalami perkembangan yang kemudian memperlihatkan adanya perbedaan dengan randai di tempat asalnya, seperti penggantian unsur pakaian dan unsur tarian yang berasal dari silat ke tarian joget. Randai di Kuantan pun sudah mempunyai cerita yang berasal dari cerita rakyat setempat dan juga cerita yang dikarang kemudian.

Unsur utama di dalam randai adalah cerita. Pada randai Kuantan, cerita itu dapat berasal dari kaba yang ada dalam masyarakat Minangkabau (Cindur Mato, Bujang Paman), dari cerita rakyat masyarakat Kuantan Singingi (Sutan Nan Garang dan Pinang Baribuik), syair (Siti Zubaidah), novel (Tenggelamnya Kapal van der Wijk dan Salah Asuhan), dan ada pula cerita yang dibuat kemudian oleh pemain-pemain randai (Sikum dan Panjek-Panjek Tabilusuar). Beberapa cerita randai yang terkenal di Kuantan Singingi adalah Cindur Mato, Bujang Paman, Siti Zubaidah, Sikum, dan Sutan Nan Garang.

Sebagai sebuah tradisi lisan, suatu pertunjukan randai tidak pernah sama persis dengan pertunjukan lainnya walaupun dengan cerita yang sama dan dilakukan oleh kelompok yang sama. Walaupun demikian, randai menampakkan adanya suatu komposisi yang sama dan berulang dari setiap pertunjukan randai, walau dengan dibawakan terhadap peristiwa yang berbeda.

Finnegen (1992:94—120) mengemukakan tiga aspek penyajian dalam tradisi lisan, yaitu (1) komposisi, yaitu suatu proses penggubahan bentuk-bentuk lisan dengan pertimbangan hubungan-hubungan antara tradisi dengan kreasi individu yang mampu mengembangkannya dalam dimensi yang berbeda karena adanya budaya dan genre yang beragam, seperti gaya (bahasa), isi, musik, plot, ideologi, dan ciri penyajian,(2) transmisi yang merupakan proses regenerasi atau proses penyeleksian terhadap individual yang akan mewarisi tradisi lisan, dan (3) audiens yaitu unsur penikmat atau penonton yang dianggap dapat menentukan kesuksesan pertunjukan.

Danandjaja (melalui Yudiaryani) menganggap teater rakyat yang menjadi salah satu bentuk ungkap masyarakat yang memiliki fungsi sebagai pertama, sebagai alat pendidikan anggota masyarakat pemilik cerita lisan tersebut, kedua, sebagai alat penebal perasaan solidaritas kolektif, ketiga, sebagai alat seseorang menegur orang lain yang melakukan kesalahan, keempat, sebagai alat protes terhadap ketidakadilan, dan kelima, sebagai kesempatan seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia khayalan yang indah. Sementara Bascom (melalui Danadjaja, 1984: berpendapat bahwa fungsi folklor ada empat, yaitu (a) sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif; (b) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; (c) sebagai alat pendidikan anak; (d) sebagai alat pemaksa pengawas agar norma-norma masyarakat selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

2. CERITA “SUTAN NAN GARANG” DALAM RANDAI KUANTAN DAN FUNGSINYA DI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU KUANTAN SINGINGI

2.1 CERITA “SUTAN NAN GARANG”

Cerita “Sutan Nan Garang” merupakan cerita yang berasal dari cerita rakyat Kuantan Singingi. Cerita ini berkisah tentang seorang pemuda bernama Sutan Nan Garang yang mempunyai wajah yang sangat tampan dan juga sakti.

Ketampanan Sutan Nan Garang ini membuat para perempuan di kampung itu tergila-gila padanya. Hal tersebut tidak hanya terjadi pada gadis-gadis, tetapi juga pada perempuan-perempuan yang sudah berkeluarga. Jika Sutan Nan Garang berjalan-jalan di kampung, banyak perempuan yang tidak sadarkan diri. Seorang ibu yang sedang memandikan anaknya di sungai, terlena sehingga anaknya tenggelam di sungai. Para perempuan yang sedang menumbuk padi terpekik karena tangannya tertumbuk alu. Perempuan yang sedang menampi beras sampai membuang berasnya dari tempayan karena terpesonanya terhadap Sutan Nan Garang.

Keadaan yang demikian membuat masyarakat di kampung itu tidak menyukai Sutan Nan Garang, terutama kaum laki-laki. Mereka menanggap Sutan Nan Garang bertanggung jawab terhadap kekacauan di kampung itu. Akhirnya mereka bersepakat untuk melenyapkan Sutan Nan Garang dari kampung mereka.

Mereka meminta Sutan Nan Garang membunuh seekor babi yang buas dan sakti. Babi itu dijuluki manso barantai karena di lehernya terdapat rantai yang mempunyai kekuatan gaib. Lalu Sutan Nan Garang melaksanakan tugas itu.

Perkelahian antara Sutan Nan Garang dengan manso barantai berjalan dengan seru. Keduanya sama-sama sakti. Namun akhirnya Sutan Nan Garang dapat memperdaya manso barantai dan berhasil mengambil rantai yang ada di leher babi itu. Kekuatan babi yang terletak pada rantai itu hilang. Babi itu pun berhasil dibunuh oleh Sutan Nan Garang. Akan tetapi, Sutan Nan Garang juga terluka parah sehingga tidak berapa lama, dia pun meninggal.

Seperti sebagian besar teater rakyat, tidak ada skenario yang dibuat secara rinci, seperti halnya dalam drama atau film. Induk randai (semacam sutradara) hanya memberikan garis besar cerita yang hendak dimainkan. Kemudian pemain yang diminta berimprovisasi terhadap peran yang dimainkannya dalam pertunjukan itu. Biasanya hanya beberapa bagian saja dari dialog itu yang dihapal oleh pemain, misalnya dialog yang terdiri atas pantun-pantun. Dengan demikian, ketika tampil pemain randai adalah juga komposer cerita.

Pertunjukan randai mempunyai skema. Sebuah cerita akan dibagi atas beberapa episode. Setiap episode terdiri atas cerita dan lawakan. Setiap episode akan diselingi dengan nyanyian yang diiringi musik dan anak randai yang berjoget.

Pertunjukan randai diawali dengan nyanyian yang diiringi musik. Seorang penyanyi dan beberapa pemain musik akan mengiringi para anak randai yang berjoget. Setelah itu, episode pertama dari cerita itu dimulai. Setelah episode pertama berakhir, kembali ditampilkan lagu, musik, dan joget sebelum menampilkan episode kedua. Hal itu terus berulang sampai pertunjukan berakhir. Sementara unsur lawakan ada di dalam cerita pada episode-episode itu, walaupun tidak setiap episode mengandung unsur lawakan.

2.2 PEMAIN

Sebagaimana yang disampaikan oleh Yudiaryani dalam tulisannya “Pemanfaatan Tradisi Lisan di dalam Pertunjukan Teater Indonesia”, pemain teater rakyat adalah anggota masyarakat atau komunitas yang bersangkutan. Hal tersebut berlaku pula pada randai. Pemain randai adalah masyarakat Kuantan Singingi khususnya masyarakat yang ada di kampung yang mempunyai kelompok randai tersebut. Para pemain randai ini hanya kaum laki-laki. Namun, kadangkala secara spontan, penonton dapat terlibat dalam pertunjukan randai, misalnya sebagai penari dan penyanyi. Dalam keadaan demikian, sekarang ini kadangkala perempuan dapat ikut berjoget.

Organisasi randai dapat dibagi dua, yaitu para pengurus dan anak randai. Para pengurus ini mempunyai tugas mengurusi kebutuhan kelompok, misalnya memperbincangkan tawaran untuk bermain randai, membagi hasil, membeli perlengkapan randai, seperti lampu dan alat-alat musik. Sementara anak randai dapat dibagi lagi menjadi induk randai (pemimpin) dan anak randai. Induk randai ini dapat dianggap seperti sutradara dalam drama atau teater, walau kadang dia juga ikut menjadi pemain. Adapun anak randai adalah pemain-pemain di dalam randai yang jumlahnya bisa mencapai puluhan orang.

Di antara anak randai ini, ada beberapa orang yang mempunyai peran penting karena menjadi tokoh utama di dalam sebuah cerita. Jumlah tokoh utama ini tergantung pada cerita yang dimainkan. Di dalam cerita “Sutan Nan Garang” pemain utamanya adalah Sutan Nan Garang dan juga pemain yang memerankan tokoh manso barantai yang di dalam bahasa Melayu dialek Kuantan berarti ‘babi berantai’.

Sementara anak-anak randai lainnya bermain sebagai tokoh-tokoh tambahan, misalnya tokoh-tokoh perempuan yang terpesona kepada Sutan Nan Garang. Tokoh-tokoh perempuan ini diperankan oleh laki-laki yang berpakaian seperti perempuan. Anak randai lainnya, baik yang mendapat peran sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan, maupun yang tidak mendapat peran dalam cerita, akan menjadi penari (pejoget), penyanyi, atau pemain musik.

Seperti yang disampaikan sebelumnya, pemain randai tidak menghapal dialog yang akan diucapkannya ketika tampil. Dia hanya diberitahu atau mengetahui cerita dan cara penampilan secara garis besar. Selebihnya, tergantung pada kemampuan anak-anak randai tersebut.

Di Kuantan Singingi pemain randai bukan merupakan profesi utama. Randai lebih sering hanya sebagai tempat bersosialisasi dan juga bersenang-senang. Oleh karena itu, mereka tidak berlatih secara rutin dan tidak pula terlalu berharap dengan honor yang mereka terima.

2.3 WAKTU DAN TEMPAT

Biasanya randai dipentaskan pada malam hari, dimulai pada pukul 08.00 WIB dan berakhir pada pukul 01.00 WIB. Waktu ini dipilih tampaknya berkenaan dengan kegiatan anak-anak randai. Pada siang hari anak-anak randai bekerja sesuai dengan mata pencahariannya masing-masing, misalnya sebagai petani, penyadap karet, dan pencari ikan. Demikian pula dengan masyarakat yang menjadi penonton pertunjukan tersebut.

Dewasa ini, walaupun kerap dilaksanakan pada malam hari dengan waktu sekitar lima jam, pertunjukan ini juga dapat menyesuaikan diri dengan permintaan masyarakat yang mengundang mereka. Terkadang mereka menggelar pertunjukan randai pada siang dengan waktu hanya sekitar dua jam. Akan tetapi, pertunjukan pada malam hari tetap dominan.

Dengan jumlah pemain yang cukup banyak, randai memerlukan tempat yang luas. Biasanya randai digelar di sebuah lapangan dengan luas sekitar 20 x 30 meter. Para pemain membentuk lingkaran yang di tengah-tengahnya terdapat pemain-pemain musik dan lampu yang menerangi pertunjukan itu. Sekarang ini, pertunjukan randai sudah pula ditampilkan di dalam gedung dan atau di atas sebuah pentas.

2.4 BUSANA
Di Kuantan Singingi, pada awalnya pakaian yang dikenakan pemain randai adalah pakaian sehari-hari, yaitu kemeja atau baju kaos dengan celana panjang. Dalam perkembangan selanjutnya, pakaian yang dikenakan diseragamkan menjadi pakaian kemeja putih dengan celana hitam atau warna gelap. Dewasa ini pakaian yang dipakai biasanya pakaian teluk belanga dengan kain yang dikenakan sebatas atau sedikit di bawah lutut.

Pakaian yang demikian dipakai oleh anak-anak randai yang tidak mendapatkan peran tokoh tertentu di dalam cerita yang dilakonkan. Sementara bagi mereka yang menjadi tokoh tertentu akan mengenakan pakaian yang disesuaikan dengan tokoh yang dilakonkannya, misalnya tokoh raja akan menggunakan pakaian teluk belanga dan kain. Tokoh petani menggunakan pakaian petani, dan sebagainya.

Dalam pemakaian pakaian ini, yang istimewa adalah orang yang menjadi tokoh perempuan. Orang ini menggunakan pakaian perempuan, seperti kebaya, kain panjang, rok, gaun, selendang, dan sebagainya sesuai dengan peran yang dimainkannya. Keistimewan yang dimaksud karena tokoh yang memainkannya adalah laki-laki yang diberi pakaian perempuan atau yang biasa disebut bujang gadi.

2.5 NYANYIAN, ALAT-ALAT MUSIK, DAN JOGET

Unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pementasan randai adalah nyanyian, berbagai alat musik, dan joget. Setelah kata sambutan dari pimpinan randai dan juga kadang dari pemuka masyarakat atau tuan rumah yang mengundang, randai akan dimulai dengan menyanyikan sebuah lagu yang diiringi oleh alat musik, seperti biola, gendang, seruling, dan kadang juga harmonika, dan rebana. Lagu ini dapat berasal dari lagu-lagu daerah Melayu dan Minang. Lagu Melayu yang dibawakan di antaranya Hitam Manis, Sri Langkat, Serampang 12, dan Pulau Kampai. Sementara lagu-lagu Minang yang biasa dinyanyikan, misalnya Tabiang Malereng, Mudiak Arau, dan Singgalang Rayo. Terkadang para pemain juga menulis lagu yang disesuaikan dengan cerita, misalnya Tolak Jatua Corai Ndak Sudah, Cigak Bugial, dan Tadayuak (Hamidy, 1980:99).

Berbeda dengan randai Minang, randai di Kuantan Singingi tidak lagi menggunakan unsur silat dalam tarian yang dibawakannya. Sebagai gantinya, tarian silat itu diubah menjadi joget yang berasal dari daerah di Selat Malaka dan Medan. Untuk joget ini, tidak ada gerakan yang baku. Anak randai dapat menari sesuai dengan keinginannya. Gerakan kaki dan tangan dapat digerakkan sehendak hati, walaupun adakalanya suatu nyanyian diikuti gerakan tertentu yang diikuti semua anak randai. Adakalanya juga anak-anak randai menepukkan tangan ke pahanya sehingga menimbulkan bunyi. Untuk memandu gerakan ini atau perubahan ke gerakan yang lain, salah seorang anak randai akan meniupkan peluit. Hal yang perlu diperhatikan dalam berjoget adalah mereka harus tetap bergerak dalam lingkaran yang mereka bentuk. Pada umumnya anak randai bergerak ke samping kanan dengan badan tetap mengarah ke dalam lingkaran.

2.6 LAWAKAN

Di dalam pertunjukan randai, lawak merupakan bagian dari cerita, walaupun di dalam cerita yang menjadi rujukan, misalnya dalam cerita rakyat “Sutan Nan Garang” ini, unsur lawak ini tidak ada. Dewasa ini, unsur lawak menjadi unsur yang sangat penting. Bahkan, unsur ini menjadi bagian yang sangat disukai penonton sehingga seringkali unsur lawak ini menjadi alasan bagi pengundang untuk memilih kelompok randai yang hendak mereka undang.

Lawakan diimplementasikan di dalam bentuk pakaian (kostum) yang digunakan, tingkah laku, dan bahasa yang digunakan. Di dalam cerita “Sutan Nan Garang” penggunaan kostum manso ‘babi’ dapat menjadi bahan tertawaan karena kostum yang dipakai hanya selembar kain sarung yang menutupi tubuh tokoh tersebut. Ketika berkelahi kain sarung itu dapat saja terlepas atau sengaja dilepas oleh tokoh yang memerankan manso. Tokoh yang seharusnya berkarakter seram ini dapat saja melakukan tingkah-tingkah konyol, misalnya berpura-pura menyeruduk penonton yang sedang menonton. Unsur lucu dapat pula dihasilkan oleh bahasa atau dialek yang digunakan anak-anak randai, misalnya penggunaan bahasa yang seperti bahasa Cina (walaupun sesungguhnya tidak) atau penggunaan dialek daerah setempat, atau ungkapan-ungkapan yang kadang terasa kasar dengan maksud berolok-olok. Pada umumnya tidak ada yang merasa sakit hati karena bahasa atau dialeknya diperolok-olokkan seperti itu, termasuk orang-orang Cina yang juga berdiam di Kuantan Singingi. Menurut Hamidy (1980:92) unsur ini juga didapat dengan penyimpangi cerita yang sebenarnya. Sebagai penggantinya, dimasukkan cerita-cerita yang dekat atau hal-hal yang aktual dalam kehidupan masyarakat. Walaupun masalah yang diangkat merupakan masalah yang menyedihkan atau menyulitkan, tetapi semua itu disampaikan melalui lawakan, seperti harga karet turun atau kalau dalam situasi sekarang bisa saja masalah BBM yang melambung tinggi.

2.7 PENONTON

Sebagian besar masyarakat Kuantan Singingi suka menonton randai. Kalaupun ada sebagian masyarakat yang tidak menggemarinya dikarenakan pandangan bahwa randai dianggap tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam. Ketidaksesuaian ini disebabkan di dalam randai terdapat tokoh yang memakai pakaian perempuan padahal di dalam Islam hal itu tidak diperkenankan. Pandangan seperti ini biasanya berasal dari kaum ulama.

Ketika ada pertunjukan randai, penonton tidak mempunyai tempat khusus untuk menonton. Mereka menonton sambil berdiri atau duduk di rerumputan mengelilingi arena pertunjukan yang diterangi cahaya lampu petromaks. Karena tidak menggunakan panggung khusus untuk menampilkannya, tidak ada bagian depan atau belakang dari pertunjukan randai sehingga penonton dapat melihat dari segala penjuru, 360 derajat.

Jarak antara penonton dengan para pemain juga sangat dekat yang memungkinkan mereka berinteraksi. Kadang celetukan penonton akan ditanggapi oleh anak-anak randai yang sedang mengadakan pertunjukan. Selain itu, penonton dapat pula ikut dalam pertunjukan randai, misalnya sebagai penyanyi atau pejoget.

2.8 FUNGSI RANDAI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT MELAYU KUANTAN SINGINGI

Randai tidak hanya sekadar tradisi kesenian untuk bersenang-senang saja. Seperti juga folklor lainnya, randai mempunyai berbagai fungsi di dalam masyarakat, yaitu:

1.pemupuk kebersamaan

Randai adalah seni kolektif, di dalamnya terlibat sekumpulan orang. Keberhasilan pertunjukan sangat bergantung pada kerja sama individu-individu yang ada di dalam kelompok itu. Selain itu, pertunjukan randai yang ditonton orang banyak juga memungkinkan adanya interaksi anak randai dengan penonton dan antarpenonton sehingga terjalin kebersamaan. Ajang ini bahkan dapat menjadi kesempatan untuk mencari jodoh.

2. pencerminan masyarakat

Cerita randai sangat beragam. Cerita radai tidak hanya berisi cerita rakyat yang tidak terjadi, tetapi juga cerita mengenai keadaan yang terjadi di dalam masyarakat, misalnya cerita Sikum seorang mata-mata yang memberi tahu keberadaan pejuang-pejuang Indonesia kepada Belanda yang akhirnya dibunuh oleh masyarakat Kuantan. Di dalam randai juga “terekam” kesulitan-kesulitan hidup yang dialami masyarakat Kuantan Singingi sehari-hari.

3.pendidikan

Fungsi lain yang terkandung di dalam adalah fungsi pendidikan. Di dalam cerita randai tersirat nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat. Tema “kebaikan akan menang melawan kejahatan” sangat banyak sehingga secara tidak langsung memberikan pengajaran bagi masyarakat yang menonton pertunjukan randai. Kadangkala, di dalam cerita juga diselipkan penyuluhan terhadap program-program pemerintah.

4. hiburan
Unsur hiburan adalah fungsi yang sangat menonjol di dalam randai. Unsur musik, lagu, dan lawak, misalnya sangat mendukung keberadaan fungsi ini. Menonton, bahkan juga bermain randai dapat menghilangkan kejenuhan dari kesibukan sehari-hari.

3. PENUTUP
Randai Kuantan merupakan pertunjukan rakyat yang berasal dari Minangkabau. Di dalam perkembangannya, randai Kuantan ini memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Di dalam randai unsur utamanya adalah cerita. Unsur cerita ini didukung oleh unsur lainnya seperti lawak, musik, nyanyian, dan joget.

Sebagai bagian dari tradisi lisan, satu pertunjukan randai dengan pertunjukan yang lain tidak pernah benar-benar sama. Namun pada dasarnya randai mempunyai komposisi yang sama yang kemudian dikembangkan (dikomposisikan lagi) oleh masing-masing pemain ketika tampil.Randai juga mempunyai beberapa fungsi di dalam masyarakat Melayu Kuantan Singingi, yaitu pemupuk kebersamaan, pencerminan masyarakat, pendidikan, dan hiburan.


DAFTAR PUSTAKA

Danadjaja, James. 1984. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-Lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Finnegen, Ruth. 1992. Oral Traditions and the verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge.

Hamidy, U.U.. 1980. “Randai dalam Kehidupan Masyarakat Melayu Riau”. Tesis pada Universiti Malaya.

Yudiaryani. “Pemanfaatan Tradisi Lisan di dalam Pertunjukan Teater Indonesia”. dalam situs Tradisi_lisan_dalam_teater_Yudi.pdf

Article By : Datuk Bertuah
http://www.sungaikuantan.com/2010/02/sutan-nan-garang-dalam-randai-kuantan.html
BACA SELANJUTNYA di - Sutan Nan Garang dalam Randai Taluk Kuantan