Sosialisai Pengurus Forum Penyelamat Cagar Budaya Riau dilaksanakan di Hotel Resty Menara Jl. Sisingamangaraja Pekanbaru pada tanggal 15 Januari 2011. Acara ini dimulai dari pukul 9.00 sampai pukul 13.00 wib. Pada kesempatan ini, turut hadir sejarahwan, budayawan, yang dituakan, H. WAN GHALIB yang dalam usia senjanya tetap semangat meningkatkan budaya melayu khususnya di Riau.
Nasir Penyalai sebagai pembawa acara memulai acara ini dengan seksama yang diteruskan dengan pembacaan do'a sebagai maksud agar acara dan seluruh kegiatan forum ini diberkahi dan dilindungi Allah SWT. Kemudian secara ringkas Ketua Forum, bpk. Nazrin Aismana menyampaikan tujuan pendirian forum ini yang diikuti dengan penyampaian visi, misi dan program kerja jangka pendek, menengah dan panjang. Ketua Forum juga menyampaikan kegiatan khusus tentang sikap dan tindakan forum atas hancurnya mesjid tertua di Pekanbaru, mesjid bersejarah, mesjid budaya yaitu MESJID RAYA PEKANBARU. Sikap ini akan diteruskan kepada Badan Revitalisasi Kawasan Mesjid Raya Pekanbaru disertai dengan tindakan khusus kepada badan tersebut.
Pandangan umum tentang budaya sebagai pembuka disampaikan oleh DR. Yusmar Yusuf sebagai budayawan Riau. Yusmar mengingatkan kta semua bahwa saat ini orang hanya memikirkan tentang kebudayaan modern, paling sedikit hanya memikirkan tentang tatacara upacara adat, sedangkan orang-orang yang mau memikirkan tentang suatu tapak sejarah ataupun suatu tapak budaya bisa dibilang tidak ada, kalaupun ada hanya segelintir orang yang suaranya tertelan mesin budaya modern. Ditambahkannya bahwa warisan budaya ada dan terjadi karena adanya pemikiran bersama (kesamaan pikiran) bahwa sesuatu hal itu memiliki nilai sejarah dan budaya. Maka, jika suatu tapak sejarah dan budaya hancur, berarti orang tersebut tidaklah mempunyai pemikiran bahwa tapak itu bersejarah dan bernilai budaya.
Cagar Budaya Riau hendaknya dan seharusnya bukan hanya dipikirkan oleh orang Melayu saja, mengingat kawasan Riau bersinggungan dengan budaya lain apalagi mengingat Riau dialiri oleh 4 sungai besar yang memungkinkan masuknya orang dan budaya lain. Ini adalah maslah KE-RIAU-AN (RIAUNESE) bukan sekedar KE-MELAYU-AN (MALAYNESE), demikian ditambahkan Yusmar Yusuf.
Dari Tim Advokasi yang diwakili oleh Aswin Siregar menyampaikan langkah-langkah tindakan yang diambil sesuai dengan sikap forum dan saran dan pandangan umum serta khusus dari yang dituakan H. Wan Ghalib.
Dalam acara tanggap saran, turut berbicara Meiko Sofyan sebagai keturunan dari PAnglima Hitam Kesultanan Siak dan sebagai salah satu cucu dari 9 panitia pembangunan dan pengembangan Mesjid Raya Pekanbaru tahun 1928. Beliau begitu bangga ketika ada rencana pemerintah untuk merevitalisasi kawasan Mesjid Raya. Dalam pemikirannya, akan terbentuk suatu kawasan budaya dengan mempertahankan cagar budaya yang ada sehingga menjadi lebih bagus. Kejadian yang mengecewakannya dan keturunan Sultan Siak lainnya adalah hancurnya Mesjid Raya Pekanbaru yang dibangun oleh Kesultanan Siak. Beliau menganggap Badan Revitalisasi tidak dapat memandang, memperhatikan dan mempertahankan sejarah kawasan tersebut, khususnya Mesjid Raya. Badan Revitalisasi telah menghancurkan sebuah mesjid yang menjadi sentra (pusat) kebudayaan Pekanbaru khususnya kawasan Kampung Dalam tersebut, sehingga tidak ada lagi nilai sejarahnya.
Nasir Penyalai sebagai pembawa acara memulai acara ini dengan seksama yang diteruskan dengan pembacaan do'a sebagai maksud agar acara dan seluruh kegiatan forum ini diberkahi dan dilindungi Allah SWT. Kemudian secara ringkas Ketua Forum, bpk. Nazrin Aismana menyampaikan tujuan pendirian forum ini yang diikuti dengan penyampaian visi, misi dan program kerja jangka pendek, menengah dan panjang. Ketua Forum juga menyampaikan kegiatan khusus tentang sikap dan tindakan forum atas hancurnya mesjid tertua di Pekanbaru, mesjid bersejarah, mesjid budaya yaitu MESJID RAYA PEKANBARU. Sikap ini akan diteruskan kepada Badan Revitalisasi Kawasan Mesjid Raya Pekanbaru disertai dengan tindakan khusus kepada badan tersebut.
Pandangan umum tentang budaya sebagai pembuka disampaikan oleh DR. Yusmar Yusuf sebagai budayawan Riau. Yusmar mengingatkan kta semua bahwa saat ini orang hanya memikirkan tentang kebudayaan modern, paling sedikit hanya memikirkan tentang tatacara upacara adat, sedangkan orang-orang yang mau memikirkan tentang suatu tapak sejarah ataupun suatu tapak budaya bisa dibilang tidak ada, kalaupun ada hanya segelintir orang yang suaranya tertelan mesin budaya modern. Ditambahkannya bahwa warisan budaya ada dan terjadi karena adanya pemikiran bersama (kesamaan pikiran) bahwa sesuatu hal itu memiliki nilai sejarah dan budaya. Maka, jika suatu tapak sejarah dan budaya hancur, berarti orang tersebut tidaklah mempunyai pemikiran bahwa tapak itu bersejarah dan bernilai budaya.
Cagar Budaya Riau hendaknya dan seharusnya bukan hanya dipikirkan oleh orang Melayu saja, mengingat kawasan Riau bersinggungan dengan budaya lain apalagi mengingat Riau dialiri oleh 4 sungai besar yang memungkinkan masuknya orang dan budaya lain. Ini adalah maslah KE-RIAU-AN (RIAUNESE) bukan sekedar KE-MELAYU-AN (MALAYNESE), demikian ditambahkan Yusmar Yusuf.
Dari Tim Advokasi yang diwakili oleh Aswin Siregar menyampaikan langkah-langkah tindakan yang diambil sesuai dengan sikap forum dan saran dan pandangan umum serta khusus dari yang dituakan H. Wan Ghalib.
Dalam acara tanggap saran, turut berbicara Meiko Sofyan sebagai keturunan dari PAnglima Hitam Kesultanan Siak dan sebagai salah satu cucu dari 9 panitia pembangunan dan pengembangan Mesjid Raya Pekanbaru tahun 1928. Beliau begitu bangga ketika ada rencana pemerintah untuk merevitalisasi kawasan Mesjid Raya. Dalam pemikirannya, akan terbentuk suatu kawasan budaya dengan mempertahankan cagar budaya yang ada sehingga menjadi lebih bagus. Kejadian yang mengecewakannya dan keturunan Sultan Siak lainnya adalah hancurnya Mesjid Raya Pekanbaru yang dibangun oleh Kesultanan Siak. Beliau menganggap Badan Revitalisasi tidak dapat memandang, memperhatikan dan mempertahankan sejarah kawasan tersebut, khususnya Mesjid Raya. Badan Revitalisasi telah menghancurkan sebuah mesjid yang menjadi sentra (pusat) kebudayaan Pekanbaru khususnya kawasan Kampung Dalam tersebut, sehingga tidak ada lagi nilai sejarahnya.
Bukan hitam sembarang hitam,
walau sekarang bermuka merah.
Telah datang anak keturunan Panglima Hitam,
karena revitalisasi telah membuat gerah.